Oleh: Jo Priastana
“Welas asih untuk hewan sangat erat hubungannya dengan kebaikan dan karakter;
dan dapat dengan yakin ditegaskan bahwa dia yang kejam terhadap binatang,
tidak bisa menjadi orang yang baik.” (Arthur Schopenhauer, Filsuf)
Kini dikenal adanya Hak Asasi Hewan yang diperingati setiap tanggal 15 Oktober setiap tahunnya. Hak Asasi Hewan yang dikenal juga sebagai kebebasan hewan merupakan ide bahwa hak-hak dasar hewan non-manusia harus dianggap sederajat sebagaimana hak-hak dasar manusia (Wise, Steven M. “Animal Rights”, Encyclopaedia Britanica, 2007).
Binatang adalah makhluk hidup sebagaimana juga manusia, binatang juga menjadi bagian penting dalam khasanah ajaran Buddha. Dalam kitab suci Tipitaka berbagai macam nama binatang juga kerap tersebutkan. Dalam Kitab Puggala Paññatti sekurangnya ada disebut 15 jenis binatang, begitu pula dalam Sutta Pitaka, Suttanipata ada 26 jenis binatang.
Binatang menjadi bagian penting dalam menumbuhkan kesadaran akan lingkungan hidup, ekosistem dan keberadaan makhluk hidup. Hak Asasi Hewan juga kerap dihubungkan dengan sila pertama Pancasila Buddhis mengenai “tidak membunuh makhluk hidup”. Raja Asoka di abad ke tiga, mengintegrasikan sila pertama Pancasila “tidak membunuh” menjadi hukum. Ia melarang kegiatan keagamaan seperti upacara ritual dengan mengorbankan binatang.
Samsara Manusia dan Binatang
Dalam kosmologis Buddhis, binatang merupakan salah satu bagian dari alam kehidupan, yakni, alam binatang (tiracchana). Alam-alam kehidupan yang merupakan tempat singgah perjalanan karma makhluk hidup, samsara atau tumimbal lahir makhluk hidup. Manusia yang juga berada dalam siklus samsara kerap digambarkan secara hirarkis lebih tinggi dari alam binatang (pandangan antroposentrisme), namun begitu, jika karma kehidupannya buruk, manusia pun bisa terlahir sebagai binatang.
Manusia dan Binatang adalah satu dan sama, sama-sama bagian dari kosmologis dan alam kehidupan. Samsara manusia atau perjalanan karma makhluk hidup dalam tumimbal lahir yang bersifat siklus atau berulang itu mengandaikan dimungkinkan terjadinya pergantian alam kehidupan. Dalam samsara kehidupan itu, tidak selamanya manusia menempati posisinya yang lebih tinggi dari binatang.
Diperlukan kekuatan dari moralitas, kesadaran (mindfulness) dan kebijaksanaan (wisdom) untuk dapat dikatakan sebagai manusia, personalitas, dan individu yang mengandung kompleksitas mental.
Gotama explains that while there is diversity in the many kinds of living things, each of which has its distinctive mark, humans alone are qualitatively different. After listing many different kinds of living beings (pana), Gotama notes that they each share in a basic trait of quality of their group, species or kind: Humans. Unique. Only have mental, social and intelligence-related complexity. To development, individuality, personality. That humans have distinct kinds of intelligence and individuality does not simply that other animals cannot have these traits. (Keown, Damien, 2000: 91)
Dalam kacamata hukum karma, hukum sebab akibat perbuatan, maka karma buruk yang dilakukan manusia semasa hidupnya seperti membunuh binatang akan dimungkinkan terlahir di dalam alam binatang. Begitu pula dengan binatang, secara potensial, binatang-binatang tertentu dapat melakukan kebaikan, seperti sikap kepahlawanan menolong manusia sehingga memungkinkan terlahir di alam manusia.
“The product bad conduct is existence as an (other) animal. Those who act immorality risk birth in the animal realm. A telling example is the fate of the hunter who kills animals; his fate, ironically, is to reborn in an animal womb”. (Keown, Damien, 2000: 98).
Memang sangat muskil dan rumit dalam menjelaskan bahwa binatang pun merupakan bagian dari mata rantai alam kehidupan sebagai makhluk hidup yang turut bertumimbal lahir. Karena dengan begitu, bisa dikatakan bahwa dalam alam-alam kehidupan itu, binatang merupakan juga makhluk hidup yang memiliki potensial untuk bermetamorphosis atau bertransmutasi menjadi manusia.
Dalam tradisi Mahayana, binatang dikaitkan dengan sikap altruis Bodhisattva yakni kasih sayang-compassion terhadap makhluk hidup. Binatang sebagai makhluk hidup adalah sama dengan manusia, memiliki hak untuk hidup. Bisa dipahami bila dalam tradisi Buddha Mahayana adanya kewajiban untuk bervegetarian, suatu gaya hidup yang memungkinkan terjaminnya hak hidup binatang, terhindari sebagai komoditas dan dari pembunuhan.
Kasih Sayang terhadap Binatang
Perhatian dan kepedulian terhadap binatang merupakan bagian integral dari etika Buddhadharma. Ajaran Buddha menitik-beratkan pada etika kehidupan yakni mempromosikan kehidupan dan melindungi makhluk hidup seperti binatang.
“Buddhism takes into full account the anima’s latent capacity for affection, heroism and self-sacrifice. There is in Buddhism more sense of kinship with the animal world, a more intimate feeling of community with all that lives, than is found in Western religious thought. So in Buddhists text animals are always treated with great sympathy and understanding.” (Francis Story. The Place of Animals in Buddhism. Ceylon-Kandy: Buddhist Publication Society, 1964, p.6-7).
Bahwa kasih sayang atau compassion merupakan dasar dari ajaran Buddha. Moralitas kasih sayang sebagai dasar ajaran Buddha ini juga dikatakan oleh praktisi Buddhis A.T. Ariyaratne dan Joanna Macy.
“The healthy rapport between plants, animals and humans, underlined by boundless compassion, was the basis of Buddhist life.” (A.T. Ariyaratne and Joanna Macy, “The Island of Temple and Tank: Sarvodaya: self-help in Sri Lanka,” in Buddhism and Ecology, ed. By Martine Batchelor and Kerry Brown (London and New York: Cassel, 1992), pp.78-86. P.80).
Senada dengan itu adalah pendapat Martine Batchelor, a Buddhist nun, says ‘Buddhists … have never believed humanity superior to the rest of the natural world’. (Martine Batchelor, ‘Even the Stone Smile,’ in Batchelor and Brown 1992, pp.2-17, p.12.). Begitu pula dengan pendapat Damien Keown: “refers to the ‘wider moral horizon’ of Buddhism such that ‘respect for animal life is a prominent feature of Buddhist ethics’ (28).
Terdapat beberapa istilah atau konsep yang sekiranya mau memperlihatkan atau merujuk akan keberadaan binatang sebagai makhluk hidup. Konsep atau istilah itu adalah: satto, bhuto, jiva dan pano.
“These are intended to be highly inclusive; they are strictly designed, but are used rather loosely, overlapping in many ways. Satto (45) is sometimes translated as ‘beings’ and ‘living things’ but most often as ‘creatures’ (46) and this broad terms clearly includes other animals. Bhuto os another generic terms often translated as ‘creatures’ or ‘beings’ (47). Like satto, it can include other animals (48), but it also covers more than just ‘living things’ in the modern sense. The term can also more specific referents, such as ‘ghost’ or ‘goblins’. (49). Jivo. Though far less often than satta and bhuta. Jiva can be translated ‘living things, all that lives, or souls (in plants), or all souls (50). Pano. This is related to the word for ‘breath’ or ‘breathing’., as ‘breathers’. Living thing (pano) means: it is called a living thing that is an animal (tirracchanagatapano). Living creature, life, or living things”.(Keown, Damien: 2000,p.89).
Sebagai makhluk hidup maka binatang pun pantas memperoleh sikap altruis Bodhisattva yakni kasih sayang-compassion terhadap makhluk hidup. Kita ingat akan Raja Asoka di abad ke tiga yang mengintegrasikan sila pertama Pancasila “tidak membunuh” menjadi hukum. Ia melarang kegiatan keagamaan seperti upacara ritual dengan mengorbankan binatang. Mari kita hormati Hak Asasi Hewan, setidaknya dengan bervegetarian di hari peringatannya pada setiap 15 Oktober! (JP) **
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://www.kalderanews.com/2021/10/ternyata-ada-lho-hari-hak-asasi-binatang-setiap-15-oktober-begini-sejarahnya/