Oleh: Majaputera Karniawan, S.Pd.
Di akhir 2019 hingga memasuki 2020, dunia dikejutkan dengan hadirnya Pandemik (Wabah penyakit epidemik yang meluas, KBBI) Corona Virus Disease (COVID-19) dari Wuhan, Cina. Penyakit epidemik (penyakit menular yang menjangkit dengan cepat, KBBI) ini kini sudah memasuki Indonesia, sehingga pemerintah menerapkan Social Distance (penjarakan aktivitas sosial) seperti menghimbau masyarakat untuk tidak keluar rumah hingga keadaan membaik.
Namun begitu, penyebaran pandemik ini menimbulkan kepanikan masal, belum lagi adanya orang-orang yang mementingkan dirinya sendiri mengambil keuntungan dengan menimbun alat-alat kesehatan, sehingga keadaan semakin bertambah kacau. Sebagai seorang Buddhis, bagaimana seharusnya kita bersikap? Berikut adalah poin-poin sikap yang dianjurkan untuk dilakukan bagi seorang Buddhis sesuai dengan nasihat Buddha dalam Tipitaka:
- Prinsip utamanya “Melindungi diri sendiri berarti juga melindungi orang lain”
Ketika terjadi pandemik, hal pertama yang harus dilakukan seseorang adalah memastikan dirinya sendiri aman dan terlindungi dari penyakit epidemic, dengan demikian secara tidak langsung ia juga melindungi orang lain dari penyakit epidemic. Begitu sering Sang Buddha memberikan nasihat untuk melindungi diri sendiri, sebagaimana terdapat dalam Dīgha Nikāya 26 Cakkavatti-Sīhanāda Sutta, Buddha menyatakan jadilah pulau dan pelindung bagi dirimu sendiri, jadikan Dhamma sebagai pulau dan pelindungmu, jangan ada perlindungan lain. Demikian hendaknya saat pandemik, kita melindungi diri sendiri dan tetap berpegang pada Dhamma, karena kalau bukan diri sendiri, siapa lagi yang akan melindungi?
Bagaimana cara seseorang melindungi dirinya sendiri? Sebagai contoh, dalam pandemik Covid-19 yang menular lewat droplet cairan tubuh melalui batuk dan bersin, disarankan untuk: (1) Rutin cuci tangan dengan sabun atau hand-sanitizer, (2) Hindari kontak dengan orang sakit, (3) Hindari menyentuh wajah dengan tangan kotor, (4) Gunakan masker jika sakit atau merawat orang sakit yang tidak bisa memakai masker, (4) tutup dengan tisu atau sikut ketika batuk atau bersin, dan (5) Rutin disinfeksi pada permukaan yang sering disentuh (CDC, 2020). Namun dalam pandangan Buddhis, melindungi diri tidak hanya sekedar memakai perlindungan eksternal seperti alat perlindungan diri dari virus (APD, contoh: masker N95, hand sanitizer, dan lain-lain) tetapi juga dengan mengendalikan diri masing-masing dalam setiap perbuatan, baik melalui perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran. Dalam cara pandang Buddhisme, mereka yang melibatkan diri dalam perbuatan buruk melalui tindakan, ucapan, dan pikiran – sekalipun ia diiringi pasukan pengawal – tetap saja membiarkan diri mereka tanpa perlindungan, karena perlindungan jenis itu adalah eksternal, sedangkan mereka yang tidak melibatkan diri dalam perbuatan buruk melalui tindakan, ucapan, dan pikiran – meskipun tidak diiringi pasukan pengawal – mereka tetap terlindungi karena perlindungan itu internal, maka seseorang hendaknya mengendalikan setiap tindakan jasmani, ucapan, dan pikirannya, dengan demikian mereka dikatakan terlindungi (Saṃyutta Nikāya 3.5. Attharakkhita sutta). Bisa dibayangkan bagaimana jika seseorang berperilaku buruk, hidup dengan tidak higienis hingga terkena penyakit menular dan tidak mau menjalani pengobatan yang layak, karena tidak adanya pengendalian diri dan bertindak seenaknya, ia membahayakan dirinya sendiri dan orang lain!
Hendaknya seseorang mengawasi indria-indrianya agar tetap berperilaku positif, terlebih saat terjadi pandemik penyakit epidemik. Karena indria-indria manusia dapat mengarah pada kesejahteraan ataupun celaka; Jika tidak terjaga maka mengarah pada celaka, jika terjaga maka mengarah pada kesejahteraan, dengan melindungi dan menjaga indria-indria, siapapun dapat melakukan apa yang harus dilakukan untuk dirinya sendiri tanpa mencelakai siapapun (Theragāthā 16.2. Pārāpariyattheragāthā) dan setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, seseorang memperoleh perlindungan yang amat sukar dicari (Dhammapada 160). Ketika suatu daerah terkena wabah penyakit, hal yang bijaksana adalah menghindar dari tempat tersebut, sebagaimana Bodhisatta yang mengungsi dari Sāvatthi karena terjadi wabah “penyakit napas ular” (ahivātaroga, snake-wind sickness, Jātaka Aṭṭhakathā 178. Kacchapa-Jātaka) dan berhasil selamat karena menghindari wabah tersebut dengan keluar dari kota Sāvatthi.
Dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain; dengan melindungi orang lain, ia melindungi diri sendiri (Saṃyutta Nikāya 47.19. Sedaka Sutta). Ketika seseorang melindungi dirinya sendiri, maka orang lain juga terlindungi, oleh karena itu seseorang harus melindungi dirinya sendiri (Aṅguttara Nikāya 6.54 Dhammika Sutta). Konsep Buddhis tentang perbuatan (kamma) sangat berperan penting di sini. Makhluk-makhluk adalah pemilik, pewaris, berasal-mula, dan terikat dengan perbuatan mereka, serta memiliki perbuatan mereka sebagai perlindungan mereka, perbuatan yang membedakan makhluk-makhluk sebagai hina dan mulia (Majjhima Nikāya 135. Cūḷakammavibhanga Sutta). Jika seseorang berbuat baik dengan menaati perintah petugas medis, minum obat dan menjalani pengobatan secara benar dan teratur, menjalani isolasi dengan baik, serta berupaya sebaik mungkin sesuai arahan dokter, itulah perbuatan baik (kusala kamma) yang akan membawanya pada kesembuhan dan juga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Demikian juga sebaliknya.
- Bertindaklah dengan bijaksana, penuh cinta kasih, jangan egois dan serakah!
Beberapa waktu lalu, saat COVID-19 sampai di Singapura, dunia dikejutkan dengan adanya panic buying berbagai kebutuhan pokok oleh masyarakat Singapura, dan di Indonesia juga banyak upaya menimbun masker, hand sanitizer, dan antiseptik. Sehingga harga barang-barang tersebut naik berkali-kali lipat karena langkanya stok dipasaran. Belum lagi ada masyarakat yang susah dinasihati untuk menjauhi keramaian (sosial distancing). Kita bisa melihat bagaimana ketidak-bijaksanaan manusia malah membuat situasi menjadi bertambah buruk. Dalam pandangan Buddhisme, bahaya apa pun, bencana apa pun, dan kemalangan apa pun yang muncul, semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana, si dungu membawa bahaya, bencana, dan kemalangan; Sedangkan orang bijaksana tidak membawa bahaya, bencana, maupun kemalangan (Aṅguttara Nikāya 3.1 Bhaya Sutta). Maka dari itu, hendaknya harus bijaksana dalam setiap langkah! Juga hendaknya seseorang berlatih untuk melenyapkan nafsu (rāga), kebencian (dosa), dan delusi (moha) bagi dirinya sendiri sekaligus mendorong orang lain juga melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi, dengan cara ini seseorang berlatih demi kesejahteraannya sendiri juga demi kesejahteraan orang lain (Aṅguttara Nikāya 4.96. Rāgavinaya Sutta).
Dengan cara demikian maka sinergi bisa tercipta untuk bersama-sama memerangi wabah pandemik, bukannya saling mementingkan ego masing-masing. Pikirkanlah nasib orang-orang yang membutuhkan, penuhi pikiran anda dengan cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna). Landasi dengan rasa malu dan takut berbuat salah (Hiri–Ottapa, Aṅguttara Nikāya 2.9). Pola pikir “semoga semua makhluk hidup berbahagia” hendaknya benar-benar diwujudkan dengan aksi nyata pada semua makhluk, seperti seorang ibu yang mempertaruhkan jiwa demi putra tunggalnya (Sutta Nipāta 1.8. Karaṇīyamettā Sutta). Sekali lagi, dalam cara pandang Buddhisme menekankan bahwa bagi setiap orang, dirinya sendiri adalah yang paling disayangi; Oleh karena itu, ia yang menyayangi dirinya sendiri seharusnya tidak mencelakai orang lain (Saṃyutta Nikāya 3.8. Mallikā Sutta). Maka dari itu, hendaknya setiap perbuatan kita jangan sampai meresahkan apalagi mencelakai mahluk lain, tidak perlu menimbun masker, antiseptik, dan hand-sanitizer untuk dijual dengan harga tinggi, karena itu cermin dari nafsu keserakahan diri sendiri!
- Biasakan Salam Añjali, Baca Paritta, dan Meditasi.
Tidak dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak terlepas dari berinteraksi dengan sesama manusia, ketika terjadi sosial distance di kala pandemic, maka kita perlu menjaga jarak dan meminimalkan kontak dengan orang lain. Salam yang berkontak langsung dengan kulit orang lain seperti handshake (salam berjabat tangan) rentan menularkan bakteri atau virus epidemik, maka salam Añjali (penghormatan dengan merangkapkan kedua tangan di dada, DUBD) atau yang populer disebut salam Namaste (Hormat pada Anda) bisa menjadi pilihan bijak untuk tetap aman dan santun di tengah masalah pandemik.
Paritta (Pāli), Pirit/Pirith (Sinhala), atau paritrana (Sansekerta) bermakna “Perlindungan”, adalah khotbah-khotbah Sang Buddha yang kuat bilamana bisa dihafal, mengulang paritta dapat mempercepat masak dan berbuahnya akibat perbuatan baik (kusala kamma vipāka) dan membuat akibat perbuatan buruk (akusala kamma vipāka) terhambat masaknya (Yayasan Sangha Theravada Indonesia, dalam Dhammadhīro 2011:XV). Namun membaca paritta saja tidak cukup! Seseorang harus juga berusaha secara aktif agar memperoleh apa yang diharapkan, bukan hanya dengan membaca paritta atau doa-doa saja, karena apabila bisa mendapatkan apa yang diinginkan dengan hanya membaca doa, maka siapa yang akan kekurangan sesuatu? (Aṅguttara Nikāya 5.43. Iṭṭha Sutta). Maka dari itu, bekerja dan berusaha dengan cara yang benar juga tidak dapat dikesampingkan sebagai penentu keberhasilan yang utama. Selain itu, penting memahami arti dari paritta yang dibacakan. Paritta-paritta yang bisa dibacakan dalam keadaan pandemik adalah:
- Ratana Sutta (Khuddakapāṭha 6), asal mula sutta ini karena terjadi wabah penyakit di Vesali, Buddha meminta YM. Ananda membacakan sutta ini sambil memercikkan air keliling kota Vesali (DUBD). Sutta ini berisi sifat-sifat baik dari Buddha, Dhamma, dan Sangha.
- Bojjhaṅga Paritta. Merupakan intisari dari 3 (tiga) sutta di Bojjhaṅga Saṃyutta (Saṃyutta Nikāya14-16). Berisi pengalaman YA. Mahākassapa, YA. Mahāmoggallāna, dan Sang Buddha sendiri ketika sakit, dan sembuh setelah mendengar uraian tentang 7 (tujuh) faktor pencerahan (Bojjhaṅga). Pada intinya, paritta ini mengingatkan kembali terhadap 7 (tujuh) faktor pencerahan, yakni: perhatian (sati), penyelidikan fenomena-fenomena batin (dhammavicaya), semangat (vīriya), kegiuran batin (pīti), ketenangan batin (passadhi), konsentrasi (samādhi), dan keseimbangan (upekkhā).
- Girimānanda Sutta (Aṅguttara Nikāya60) berisi pengalaman YA. Girimānanda yang jatuh sakit, kemudian sembuh setelah mendengar uraian dari YM. Ānanda tentang 10 (sepuluh) jenis persepsi (saññā). Pada intinya sutta ini mengingatkan kembali pada 10 (sepuluh) jenis persepsi yaitu: Persepsi ketidak kekalan (aniccasaññā), persepsi tanpa diri (anattasaññā), persepsi ketidak-menarikan (asubhasaññā), persepsi bahaya dalam tubuh (ādīnavasaññā), persepsi meninggalkan sifat buruk (pahānasaññā), persepsi kebosanan akan keduniawian (virāgasaññā), persepsi lenyapnya nafsu (nirodhasaññā), persepsi ketidak-senangan (tanpa kemelekatan) pada seluruh dunia (sabbaloke anabhiratasaññā), persepsi ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi (sabbasaṅkhāresu anicchāsaññā), dan perhatian pada pernafasan (ānāpānassati).
Jika diamati, secara tidak langsung, Buddha menginstruksikan melalui paritta-paritta ini agar ketika sakit sebaiknya memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan menenangkan perbuatan, ucapan, dan pikiran melalui meditasi (samādhi). Ambil contoh dalam Girimananda Sutta disebutkan tentang ānāpānassati yang merupakan melatih meditasi dengan memperhatikan keluar masuknya nafas. Saat terjadi pandemik, sosial distance bahkan isolasi akan diberlakukan, dan saat itu terjadi (terlebih jika sakit) maka tidak banyak yang bisa dilakukan, manusia mencari kebahagiaan di luar dirinya tetapi kurang mengembangkan kebahagiaan di dalam dirinya sehingga ia menderita. Melalui meditasi, Buddha berusaha membuat batin kita tidak menderita dan tetap bahagia. Bahkan Buddha menegaskan ketika seseorang sakit ia harus berpikir ‘Walaupun tubuhku menderita, namun batinku tidak akan menderita.’ (Saṃyutta Nikāya 22.1 Nakulapitu Sutta).
- Berlatih tabah menerima keadaan.
Ketika sudah maksimal dalam berupaya, seorang Buddhis juga perlu bersiap dengan segala kemungkinan, termasuk kemungkinan terburuk dalam menghadapi penyakit pandemik, yaitu kehilangan orang yang dikasihi maupun nyawa sendiri. Hendaknya seorang Buddhis sadar bahwa tidak ada siapapun di dunia yang dapat menjamin atas apapun yang tunduk pada penyakit agar tidak jatuh sakit, yang tunduk pada kematian agar tidak mati, dan atas akibat perbuatan buruk seseorang agar tidak akan berbuah di masa depan (Aṅguttara Nikāya 4.182. Pāṭibhoga Sutta).
Hendaknya seseorang menyadari dan merefleksikan bahwa apa yang tunduk pada sakit dan kematian akan menjadi sakit dan mati, itu adalah suatu kewajaran, dan ia bukanlah satu-satunya makhluk yang mengalami hal tersebut, semua makhluk juga dan akan mengalaminya. Ia harus sadar bahwa jika ia berdukacita, meratap, dan menjadi kebingungan ketika mengalami sakit dan kematian (orang yang dikasihi), maka ia akan kehilangan selera makan, berpenampilan buruk, dan tidak akan mampu melakukan pekerjaan sehingga teman-temannya juga akan menjadi sedih; Di mana pun seseorang dapat memperoleh kebaikannya (dalam cara apa pun) ia harus mengerahkan usaha dengan cara itu, tetapi jika telah berusaha semaksimal mungkin tetapi baik ia atau siapapun tidak bisa mendapatkan kebaikan tersebut, Ia harus menerima situasi tersebut tanpa berdukacita, dengan berpikir: ‘Kamma adalah kuat; apakah yang dapat kulakukan sekarang?’ (Aṅguttara Nikāya 5.48. Alabbhanīyaṭhāna Sutta)
Demikianlah semua ini hendaknya dilaksanakan bagi seorang Buddhis. Bahkan dengan sikap ini, seorang Buddhis harus siap dengan segala kemungkinan terburuk yang mungkin saja timbul. Namun meski begitu, dalam berupaya hendaknya tidak merugikan diri sendiri, juga makhluk lain. Dengan cara ini seorang Buddhis bersikap dengan bijaksana menghadapi pandemik, jika tidak bisa membantu di lini terdepan, minimal tidak turut menjadi kontributor penyebaran wabah penyakit. Sehingga tujuan mulia agar semua makhluk berbahagia bebas dari wabah penyakit bisa sama-sama tercapai.
Daftar Pustaka
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. KBBI V 0.2.1 Beta (21). Diakses 23 Maret 2020.
Center of Disease Control and Prevention, 2020. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Steps To Prevent Illness. https://cvc.gov/coronavirus/2019-ncov/about/prevention-treatment.html Diakses 18 maret 2020.
Dhammadhīro Mahāthera, Bhikkhu. 2011. PARITTA SUCI Kumpulan Wacana Pāli untuk Upacara
dan Pūjā. Jakarta. Penerbit Yayasan Saṅgha Theravāda IndonesiaVihāra Jakarta Dhammacakka Jaya.
Indonesia Tipitaka Center. 2019. SUTTA-PIṬAKA KHUDDAKANIKĀYA JĀTAKA Volume II. Medan. Yayasan Vicayo Indonesia, Indonesia Tipitaka Center.
Lion of Bluesky. 2015, Digital Universal Buddhist Dictionary (DUBD), Android Version (1.0.0). Diakses 22 Maret 2020.
Supandi, Cunda Jugiarta. 2004. Dhammapada Pali. Bogor. Vidyavardhana Samuha (Grup Pengembangan Pengetahuan).
SuttaCentral (Offline Legacy Version). 2005. Dīgha Nikāya, Majjhima Nikāya, Saṃyutta Nikāya, Aṅguttara Nikāya, Khuddakapāṭha, Sutta Nipāta, Theragāthā. Diakses 22-23 Maret 2020.