Oleh: Jo Priastana
“Dengan melakukan lebih sedikit kita mecapai lebih banyak,
alam tidak pernah terburu-buru tetapi segala sesuatunya tercapai”
(Lao Tzu)
Kehidupan modern dimana kita kini berada tumbuh dalam kecepatan. Kecepatan menjadi sebuah kebajikan dan semboyan hidup memperlihatkan bahwa semakin cepat kita menjalani hidup, semakin baik pula kualitas hidup kita. Kita didorong untuk melakukan banyak hal dalam waktu yang singkat, lebih cepat dan semakin singkat. Lihatlah, ketika rasa lapar datang tidak lagi perlu bersusah payah menyiapkan makanan di dapur, karena hanya dengan satu sentuhan di layar smartphone, makanan dari berbagai restoran sekejap tersedia.
Selain kecepatan, kehidupan modern menawarkan kemudahan yang tak terbatas. Hiburan dapat diakses dalam hitungan detik melalui layanan streaming. Percakapan dengan orang-orang di seluruh dunia bisa terjadi dalam waktu sekejap, dan informasi apapun yang dibutuhkan tersedia melimpah dapat diakses dalam beberapa klik. Kecepatan dan kemudahan menandai gaya hidup modern, dimana waktu adalah uang dan juga banyak produktifitas. Namun begitu, benarkah kecepatan dan kemudahan ini memberikan kehidupan lebih baik dan lebih mendatangkan kebahagiaan yang lebih besar?
Ataukah justru sebaliknya, dimana kita justru kehilangan makna dari apa yang kita lakukan, karena dalam kecepatan itu kita tidak benar-benar hadir dalam setiap momen yang kita jalani. Kehidupan yang serba cepat memang menawarkan berbagai kemudahan, efisiensi dan produktivitas, tetapi ia juga membawa dampak yang tidak dapat diabaikan. Ketika terus menerus bergerak dengan kecepatan tinggi dan banyak hal dilakukan, kita cenderung melewati hal-hal penting dalam hidup tanpa memberikan perhatian yang cukup apalagi mendalam.
Paradoks Kecepatan Hidup
Dalam kebebasan yang ditawarkan oleh kecepatan, nyatanya terdapat sebuah paradoks. Semakin cepat kita bergerak, justru semakin sedikit kita benar-benar menikmati. Dalam perjalanan cepat misalnya, banyak momen-momen yang terlewatkan seperti pepohonan dan bunga-bunga warna warni di jalan. Dalam ketergesaan menyiapkan pekerjaan di pagi hari, ada yang terlewati, seperti menikmati aroma secangkir kopi. Tidak lagi menikmati hangatnya sinar matahari karena sibuk melakukan banyak hal dalam waktu yang secepatnya dengan semboyan lebih cepat lebih bagus.
Makan malam yang seharusnya menjadi momen terindah untuk berkumpul bersama keluarga berubah menjadi ritual cepat yang dilalui tanpa percakapan bermakna. Percakapan dengan teman menjadi singkat dan dangkal karena kita terlalu sibuk mengejar pekerjaan berikutnya. Waktu yang seharusnya kita habiskan untuk diri sendiri, untuk merenung dan beristirahat seringkali dikorbankan demi produktivitas dan target yang tiada henti. Kita terbiasa hidup dengan cepat, melakukan banyak hal dan kita kehilangan kemampuan untuk benar-benar meresapi momen-momen yang mengesankan.
Kita tidak mampu lagi menghargai hal-hal kecil yang sebenarnya merupakan sumber kebahagiaan sejati. Kita terjebak dalam pola pikir bahwa semakin banyak pengalaman yang kita miliki, semakin baik hidup kita. Apakah benar kita menjadi lebih bahagia dengan memiliki lebih banyak, dengan waktu yang cepat dan singkat tetapi tanpa kedalaman? Pada akhirnya kecepatan yang kita kejar mungkin membuat kita merasa produktif dan sukses, tetapi seringkali justru mengorbankan kedamaian dan kepuasan batin. Dalam kecepatan yang seringkali hanya simulakris sukses tampaknya artifisial.
Kehidupan yang cepat mungkin menarik dan penuh petualangan tetapi ia tidak selalu memberikan kebahagiaan. Sudah saatnya kita merenungkan kembali kecepatan hidup kita dan bertanya apakah dengan melakukan lebih banyak dan dengan waktu yang lebih sedikit, kita benar-benar hidup lebih baik atau justru kita semakin jauh dari kebahagiaan yang sesungguhnya? Nah, dalam konteks paradoks kecepatan kehidupan modern yang tak membahagiakan ini, muncullah sebuah gagasan tentang melambatkan hidup atau yang dikenal dengan slow living.
Seni Melambatkan Hidup
Slow living dimaksudkan untuk mengatasi tuntutan kehidupan modern yang serba cepat yang tidak menghadirkan kebahagiaan dan kenyamanan hidup. Di tengah dunia yang sibuk dan penuh tuntutan, slow living mengajak kita untuk memperoleh ruang dan untuk menikmati hidup dengan lebih penuh kesadaran. Seni melambatkan hidup atau slow living merupakan sebuah alternatif gaya hidup yang mengajak kita untuk lebih bijak dalam memilih dan selektif menjalani hidup dengan lebih sadar sehingga dapat menikmati setiap momen kehidupan.
Seni melambatkan hidup dimulai dengan memahami bahwa tidak semua hal dalam hidup perlu dilakukan dengan cepat dan banyak. Dalam dunia yang seringkali mendesak kita untuk terus bergerak dan menghasilkan, diperlukan tumbuhnya kebijaksanaan dalam mengambil jeda, dalam menghargai momen-momen kecil dan dalam, serta dalam memberi waktu bagi diri kita sendiri untuk benar-benar hadir, sadar sepenuhnya, mindfulness.
Slow living mengajarkan bahwa kita tidak perlu mengisi setiap jam dengan aktivitas, namun sebaliknya perlu memberikan banyak ruang untuk diri kita sendiri tanpa silau oleh kesibukan. Biarkan waktu melambat tanpa ketergesaan, memberikan waktu untuk merenung, untuk beristirahat dan untuk benar-benar menikmati setiap aktivitas yang kita pilih dan kita lakukan dengan penuh kesadaran dalam setiap momennya, dalam setiap detilnya.
Slow living merupakan antitesa dari tuntutan kehidupan modern yang serba cepat. Slow living menjadi alternatif orang modern untuk menemukan hidup bahagia. Dalam sejarahnya, konsep Slow Living popular diperkenalkan sebagai gerakan sosial pada akhir abad ke-20 sebagai jawaban atau respons terhadap kehidupan modern yang serba cepat dan penuh dengan tekanan.
Latar belakang gerakan slow living terinspirasi dari gerakan “Slow Food” yang menentang kehidupan cepat saji dan industri makanan besar – mengajak orang untuk menikmati makanan lokal dan tradisional dengan cara yang lebih lambat dan penuh perhatian. Dalam ajaran Buddha, konsep “Mindfulness” yang berarti kesadaran penuh terhadap yang terjadi di sekitar. Dalam Taoisme, ada konsep “wu wei” yang berarti mengikuti aliran alam tanpa paksaan (Jewellius Kistom M., “Revolusi Industri 5.0,” Yogyakarta, 2024:187).
Kebijaksanaan Hidup Para Filsuf
Dibalik gerakan slow living yang tampak sederhana tersembunyi landasan filosofis. Para filsuf yang melihat kecepatan hidup sebagai ancaman terhadap kebahagiaan dan kesejahteraan batin. Dalam lensa filosofi para filsuf, slow living bukan hanya tentang mengubah gaya hidup tetapi tentang merangkul cara pandang yang lebih bijaksana terhadap kehidupan itu sendiri. Gagasan untuk melambat bukanlah sesuatu yang baru, dalam sepanjang sejarah ada kaum bijaksana yang berjalan dalam slow living, seperti Buddha, Lao Tzu, Epicurus, Marcus Aurelius, David Thoreau maupun Arthur Schopenhauer.
Epicurus, (341 SM – 270 SM), filsuf yang pertama kali mengangkat pentingnya kesederhanaan dan ketenangan dalam hidup. Pemikir Yunani Kuno ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kepuasan yang sederhana bukan pada pengejaran kesenangan yang berlebihan. Dalam pandangannya kebahagiaan yang bertahan lama tidak ditemukan dalam kenikmatan yang berlimpah melainkan di dalam ketenangan batin yang muncul dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Epicurus yang terkenal dengan mashabnya, epikurianisme menulis, “kekayaan terbesar adalah hidup dengan sedikit keinginan.” Kutipan ini mencerminkan inti dari slow living yang mendorong kita untuk mengurangi keinginan yang berlebihan dan fokus pada apa yang benar-benar penting. Epicurus mengingatkan kita bahwa kepuasan sejati itu sering kali datang dari hal-hal yang paling sederhana, seperti makanan sederhana, tempat tinggal yang nyaman dan hubungan yang bermakna dengan orang lain.
Marcus Aurelius (121 M – 180 M), dikenal sebagai seorang filsuf Stoa dan Kaisar Romawi. Ia mengingatkan pentingnya melakukan sedikit namun dengan lebih baik. Ia berkata “jika kamu mencari ketenangan, lakukanlah lebih sedikit atau lebih tepatnya, lakukanlah hanya hal-hal yang esensial.” Apa yang logis dari makhluk sosial butuhkan dan dilakukan dengan cara yang sesuai, akan membawa kepuasan ganda, melakukan lebih sedikit tapi dengan lebih baik.
Arthur Schopenhauer, (1788-1860), adalah seorang filsuf Jerman yang skeptis terhadap nilai-nilai modernitas dan kecepatan hidup. Dalam esainya “The Wisdom of Life”, ia memperingatkan kita tentang bahaya dari kehidupan yang terlalu cepat dan penuh tekanan. Ia menulis yang terpenting untuk kebahagiaan adalah menghindari kejahatan. Penyebab utama dari kejahatan ini adalah kesibukan dan hiruk pikuk yang menandai keberadaan kita akibat pergantian yang cepat antara kegembiraan dan kebosanan dan stimulasi terus menerus yang dihasilkan dari pengaturan sosial dan ekonomi yang kompleks.
Arthur Schopenhauer yang terpukau dengan ajaran Buddha, mengajak kita untuk mempertimbangkan kembali apa yang kita kejar dalam hidup ini. Ia memperingatkan bahwa kesibukan dan kecepatan hidup yang terus meningkat tidak akan membawa kebahagiaan sejati, melainkan hanya mendatangkan ilusi kebahagiaan yang semu. Menurutnya, kebahagiaan sejati ditemukan dalam kesederhanaan dan ketenangan, dalam menghindari distraksi, dan fokus pada apa yang benar-benar berarti.
Henry David Thoreu, (1817-1862), seorang filsuf dan penulis Amerika yang dikenal sebagai pelopor gaya hidup sederhana dan berkesadaran. David Thoreau menulis dalam bukunya yang terkenal “Walden; or, Life in the Woods” (1854), “aku pergi ke hutan karena ingin hidup dengan penuh kesadaran menghadapi hanya hal-hal penting dalam hidup dan melihat apakah aku bisa belajar dari apa yang hutan ajarkan dan tidak ketika saatnya untuk mati aku menyadari bahwa aku tidak benar-benar hidup.”
Kutipan David Thoreau ini memberikan kita pemahaman mendalam tentang esensi dari slow living. David Thoreau memilih untuk mundur dari hiruk pikuk kehidupan masyarakat dan kembali ke alam bukan untuk melarikan diri tetapi untuk hidup dengan sengaja, dan untuk menghadapi hanya hal-hal yang esensial dalam hidup. Ia khawatir bahwa tanpa hidup dengan kesadaran penuh ketika tiba saatnya meninggal ia akan menyadari bahwa ia tidak pernah benar-benar hidup.
Filosofi anggota dari kelompok penulis “New England Transcendentalist” ini menegaskan bahwa hidup yang terburu-buru seringkali membuat kita kehilangan kesempatan untuk menikmati hal-hal yang benar-benar penting. Dalam kecepatan mungkin kita merasa sibuk dan produktif tetapi itu juga berisiko kehilangan kedalaman, kehilangan makna dan pada akhirnya kehilangan kebahagiaan sejati.
Forest Bathing dan Hidup Bermakna
Seni melambatkan hidup mengajak kita terhubung dengan alam. Menghabiskan waktu di alam yang terbukti dapat mengurangi stress dan kecemasan, merasa lebih tenang dan terhubung dengan diri sendiri. Sebagaimana yang dilakukan David Thoreau, salah satu praktik yang dapat diadopsi dewasa kini adalah “forest bathing” atau mandi hutan. Forest Bathing, sebuah konsep dari Jepang yang mendorong kita untuk berjalan perlahan di tengah hutan menikmati keindahan alam tanpa tujuan tertentu selain menikmati momen tersebut, meresapi keindahan dan ketenangan alam dan membiarkan diri tenggelam dalam keheningan yang menyegarkan jiwa.
Pertapa Siddhartha bersenyap di hutan Uruvela selama enam tahun menggapai kesadaran penuh sebagai Buddha, dan sebagaimana Sang Buddha yang berjalan-jalan dalam keheningan hutan, menikmati kebahagiaan pencerahan, pandangan yang jernih terang benderang, begitu pula kaum bijaksana yang menawarkan pandangan yang mendalam tentang slow living. Cara hidup yang lebih lambat, lebih tenang dan lebih berkesadaran, bahwa dengan melambat kita tidak hanya menemukan lebih banyak kedamaian dan kebahagiaan, namun juga memperoleh makna dalam setiap momen.
Pada akhirnya, slow living bukan hanya tentang hidup yang lebih lambat tetapi juga tentang hidup yang lebih dalam. Slow Living menghargai setiap detik yang berlalu, menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan dan tentang hidup penuh kesadaran, sehingga ketika kita tiba di akhir perjalanan, kita bisa mengatakan bahwa kita benar-benar hidup. (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Sumber gambar: https://cdn.langit7.id/foto/750/langit7/berita/2024/12/19/1/41958/apa-itu-slow-living-mengenal-manfaat-dan-cara-memulainya-mha.png