Spiritualisme Ibarat Pakaian Dalam Kita dan Kepunahan Agama

Home » Artikel » Spiritualisme Ibarat Pakaian Dalam Kita dan Kepunahan Agama

Dilihat

Dilihat : 169 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 0
  • 89
  • 23,130
Spiritual Pakaian Dlm Picture1

Ditulis oleh: Gifari Andika Ferisqo (方诸德)

 

Peradaban manusia modern telah mengalami kemajuan yang pesat, namun secara mental dan spiritual, manusia modern justru hidup di masa yang suram. Krisis makna hidup pada masyarakat dunia turut menyumbang atas semaraknya pertumbuhan kultus atau penghayatan spiritual tanpa ikatan agama formal, karena agama dinilai tak lagi mampu menjadi pencegah kerusakan di muka bumi. Di dunia modern saat ini terjadi berbagai krisis, di antaranya yang paling nyata adalah krisis moral dan krisis spiritual, terlebih belakangan ini masih hangat berita mengenai giro (bagi loro atau bagi dua) yang didalangi oleh orang-orang bermental rusak dengan menggunakan cover organisasi keagamaan resmi yang semakin menipiskan tingkat kepercayaan masyarakat pada bentuk-bentuk agama formal.

Kedua krisis ini saling berhubungan dan terikat. Krisis ini sebenarnya berasal dan bermuara pada krisis spiritual. Krisis tersebut ditandai dengan semakin banyaknya orang yang mengalami kecemasan, kegelisahan, dan kehampaan eksistensial. Akibatnya adalah timbulnya berbagai penyakit jiwa dan penyakit spiritual yang berujung pada sikap temperamental, stress, frustrasi, yang tidak baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Di tengah laju kehidupan modern yang semakin tak terkendali saat ini, masalah spiritual manusia merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dipecahkan secara ilmiah. Walaupun manusia modern masih tetap percaya adanya metode ilmiah, tetapi mulai muncul ketidakpuasan berkenaan dengan cara-cara pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Bersamaan dengan ini, pupus pula kepercayaan pada sains sebagai problem solver bagi masalah-masalah manusia. Karena era modern saat ini telah menyebabkan munculnya alienisasi pada diri manusia.

Masyarakat modern kini menginginkan serta mendambakan sesuatu yang lebih dari sekedar agama formal yang hanya menjalankan ritus keagamaan yang kering penghayatan. Kegagalan sains dalam memberikan jawaban terhadap masyarakat modern, juga diikuti dengan sejumlah kegagalan yang sama dari pendekatan agama formal yang terorganisir oleh berbagai lembaga. Tampaknya ini menumbuhkan harapan baru pada aktivitas yang selama ini nyaris ditinggalkan karena dianggap menyebabkan kemunduran, yaitu fenomena spiritualisme.

Dalam menyikapi persoalan krisis spiritual yang dialami manusia modern saat ini, sebagian pakar menengok kembali nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama yang diyakini mampu mengatasi permasalahan krisis itu adalah nilai agama yang berdimensi spiritualisme. Kehadiran spiritualisme dalam kehidupan manusia modern tidak terlepas dari upaya penyucian jiwa dan penjernihan hati yang bertujuan untuk memahami makna hidup dalam semua aktivitasnya dengan kesadaran penuh dan menandakan keterbatasan manusia dalam melakukan sesuatu.

 

Hubungan Spiritualisme dengan Kehidupan Manusia Modern

Hakikatnya, spiritualisme merupakan suatu bentuk ikatan batin diantara manusia dengan lingkungan atau alam semesta. Kehadiran spiritualisme adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia dalam menyikapi berbagai pergeseran nilai dari berbagai masalah sosial budaya, rasa takut akan kematian, pengucilan sosial dan filsafat hidup. Kebutuhan akan spiritualisme sebagai upaya untuk menyelaraskan dimensi kehidupan dalam kebutuhan akan makna, tujuan, penderitaan, kematian dan harapan serta keyakinan akan kehidupan, dan kebutuhan untuk percaya pada diri sendiri. Spiritualisme memungkinkan manusia untuk menjaga keselarasan antara diri pribadi dengan dunia luar dalam memperjuangkan jawaban atau memperoleh semangat pada saat berhadapan berbagai masalah dalam hidup.

Kembalinya masyarakat modern melalui pendekatan spiritualisme sebagai upaya dalam mengisi kembali kekosongan batin atau jiwa supaya tidak terombang-ambing dengan ketidakpastian dalam memaknai kehidupan. Kebutuhan untuk kembali ke dalam gerakan spiritualisme ditandai dengan semakin maraknya kemunculan kelompok-kelompok keagamaan serta spiritualitas. Seperti yang pernah terjadi di dunia Barat dengan maraknya bermunculan gerakan fundamentalisme agama dan spiritual yang memiliki pola berbeda dengan agama-agama formal (mainstream).

Gerakan spiritualisme saat ini atau post-spiritualism merupakan suatu model spiritualisme yang menciptakan aktivitas kebiasaan beragama yang mendasarkan pada diri pribadinya sendiri sebagai rujukan, tidak mengikuti pola, contoh atau referensi yang sudah ada sebelumnya. Dalam post-spiritualism, nilai-nilai spiritualisme bisa diperoleh dari mana pun seperti pada pengalaman pribadi, seminar-seminar, siaran televisi, mendengarkan musik di Spotify, mendengarkan podcast, menonton YouTube atau sosial media lainnya, dan sebagainya. Spiritualisme tidak lagi didapatkan melalui kegiatan ibadah atau kebaktian yang semula hanya dilakukan dengan pergi ke tempat ibadah, membaca kitab suci dan mendengarkan ceramah/khotbah.

 

Konklusi

Munculnya post-spiritualism menawarkan kemudahan dalam beribadah dan memahami nilai-nilai spritualisme melalui penyampaian berbagai gagasan yang tidak terjebak oleh ritual dan simbol-simbol agama. Masyarakat dunia modern kembali mencari solusi melalui penggalian nilai-nilai spiritualisme, dan post-spiritualism menawarkan pencarian kembali makna kehidupan melalui nilai-nilai spiritualisme dengan menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan batin.

Karena pada kenyataannya yang terjadi adalah agama formal yang kita kenal saat ini adalah ilusi, sumber penghiburan, rasa bersalah, dan kepercayaan yang ditimbulkan oleh keinginan dan kebutuhan yang jauh dari kenyataan, yang sangat berbeda dengan spiritualisme. Dogma agama formal adalah ide delusi, mirip dengan delusi psikotik, produk dari keinginan untuk menciptakan dunia yang ramah tetapi nyatanya tidak dan itu semua di luar realita atau kenyataan yang ada. Agama hanyalah sebagai ‘pelarian’ dari kenyataan, dan kemungkinan masyarakat dewasa di masa depan akan lebih bebas dan non-religious karena mungkin esensi dari post-spiritualism akan lebih menarik dibandingkan dengan dogma atau tata ritual agama formal.

Umumnya orang beragama karena membutuhkan penghiburan, atau karena perlu lari dari kenyataan, atau juga karena perlu ‘berpegang teguh pada sesuatu’ dalam hidup. Agama dalam bentuk formal yang dilembagakan seperti yang kita kenal saat ini dapat menawarkan nilai-nilai fundamental untuk kehidupan yang memanusiakan, tetapi juga dapat menciptakan kurangnya kebebasan dan penaklukkan pada diri sendiri, sekaligus dapat menawarkan harapan dan keyakinan dalam hidup tetapi juga dapat menciptakan fanatisme dalam fundamentalisme serta kehancuran.

Kenyataannya, religious experiences yang authentic itu dinamis dan tidak memberikan rasa aman yang mutlak, selalu menimbulkan pencarian, ketegangan, dan penegasan yang terus-menerus dan akan bermuara pada kedewasaan spiritualisme. Itulah yang dimaksud dengan spiritualisme ibarat Pakaian dalam yang kita pakai, saat ke tempat ibadah semisal seperti ke vihara, boleh saja kita menggunakan pakaian yang sama secara serempak menggunakan baju warna putih sebagai simbol kesucian dan seolah seperti seragam. Akan tetapi, kita tidak akan benar-benar mengetahui Pakaian dalam warna apa yang dipakai oleh para umat, merk apa yang dipakai, dan berapa harganya, jawabannya pasti berbeda-beda dan kita tidak akan benar-benar tahu, kecuali orang yang mengenakannya. Itulah spiritualisme yang lebih dari sekedar beragama, spiritualisme yang diibaratkan dengan Pakaian dalam yang terkesan ‘jorok’ tetapi sangat intim dan bersifat sangat personal, karena tingkat spiritualisme setiap orang berbeda-beda dan sangat bersifat personal yang tidak dapat diseragamkan dengan lembaga agama yang formal.

Sebagai contoh, kita bisa melihat gambar di atas, bahwasanya Guru Milarepa menunjukkan isi pakaian dalam hingga pantatnya sebagai bagian dari ‘Instruksi pengajaran terakhir yang sangat rahasia’ kepada Gampopa. Ini menunjukkan bahwa meskipun berpakaian sama-sama dari kain dan seragam sesuai ketentuan lembaga keagamaan sekalipun, tetap saja kedalaman praktik, pengalaman, dan jam terbang spiritual setiap orang berbeda-beda. Atribut dari luar tidak bisa digunakan untuk menilai pencapaian personal yang sangat intim. Jangan-jangan mereka yang berseragam kalah pencapaian dengan mereka yang berpakaian biasa-biasa saja? Bisa jadi!

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Daftar Pustaka

  • Rachman, Budhy Munawar. 2001. Spiritualitas: Pendekatan Baru dalam Beragama, dalam Komaruddin Hidayat (et.al), Agama di Tengah Kemelut, Jakarta: Mediacita.
  • Endin Nasrudin, Ujam Jaenudin. 2001. Psikologi Agama dan Spiritualitas: Memahami Perilaku Beragama Dalam Prespektif Psikologi. Bandung: Lagood’s Publishing.
  • Hendropuspito, OC. 1990. Sosiologi Agama. BPK. Jakarta: Gunung Mulia.
Butuh bantuan?