Oleh: Jo Priastana
“Alam adalah ibu. Bila engkau menyakitinya.
Engkau akan kehilangan pelukan terhangat dalam hidupmu.”
(W.S. Rendra, 1935-2009, Penyair, Dramawan Besar Indonesia)
Kisah mangkuk Sidharta mengalir melawan arus sungai Neranjara sungguh bermakna sangat dalam. Ia mencerminkan jalan pulang meski harus melawan arus, melawan segala kemustahilan. Ia mencerminkan pemutarbalikan cara hidup untuk sebuah keberhasilan, pemutarbalikan dari bertapa ekstrim menjadi melalui jalan tengah. Pengalaman Siddharta di tepi sungai Neranjara ini menunjukkan sebuah tekad luar biasa yang memastikan keberhasilan, mengalir balik ke hulu, pulang tiba di rumah kedamaian.
Mangkuk yang berbalik melawan arus sungai Neranjara mencerminkan pengalaman spiritualitas Siddharta yang meninggalkan kehidupan duniawi, melepas keakuan yang mengikat kekotoran batin dalam keinginan, keserakahan. Sungai-sungai dan pulau-pulau di sekelilingnya maupun tanah, batu pepohonan di mana Siddharta berpijak dan bersamadi di pohon Bodhi adalah cermin keindahan alam, ekosistem kehidupan yang menawarkan spiritualitas melepaskan kekotoran batin seperti keinginan, keserakahan.
Alam dengan bagian-bagian kecil dari keluasan yang menyertainya, merestui, memberkati keberhasilan Siddharta menjadi Buddha. Alam di sekitar Siddharta, pepohonan, sungai Neranjara dan ekosistem yang menyatukan kehidupan di air, di darat maupun di udara adalah percikan-percikan keindahan alam yang pantas dihormati dan dijaga seperti kini kita semua menjaga surga kecil yang masih ada di bumi, keindahan pulau-pulau di Raja Ampat dari ancaman arus duniawi keserakahan ekonomi ekstratif, industri pertambangan cermin kemarukan kapitalisme. Ashley Dawson mengingatkan kepunahan alam tidak dapat dipisahkan dari sistem kapitalisme.
Pencemaran Alam dan Kekotoran Batin
Siddharta yang melawan arus dengan meninggalkan jalan dunia dan menjadi Buddha. Tapi bagaimana dengan jalan hidup manusia di zaman kini dalam memandang sungai, masihkah sebagai representasi dari keindahan alam? Ataukah sumber daya alam yang perlu dieksploitasi? Apakah masih mampu memetik pelajaran spiritual dari sebuah sungai kalau sungai banyak yang diperlakukan sebagai komoditas dan dicemari dengan sampah kekotoran batin manusia, layaknya kini yang mengancam pulau-pulau dan laut yang menciptakan surgawi di Raja Ampat?
Menggejalanya kekotoran batin seperti keserakahan, kebodohan dan ketidaksukaan hidup intim bersama alam seperti bersama sungai telah merusak ekosistem kehidupan. Apakah sungai dan ekosistem alam telah dipandang tidak berpenghuni? Apakah arus sungai hanya dipandang duniawi dimana kekayaaan alam harus dikeruk sehabisnya tanpa menyisakan untuk kehidupan anak cucu di masa depan?
Menyelami lebih dalam, akan menemukan bahwa justru di sungai itulah tempat hening bertemunya manusia dengan spirit alam. Dalam kepercayaan animisme atau lokal jenius, sungai diyakini dihuni roh atau penunggu. Ia bukan sekedar air, tapi makhluk hidup yang patut dihormati. Dalam hal ini, sungai atau bagian alam lainnya yang mencerminkan ekosistem kehidupan adalah perantara antara dunia fisik dan dunia spiritual. Di setiap tempat ada kearifan lokal yang mengingatkan manusia untuk mematuhi tradisi setempat, menjaga dan merawat, menghormati alam seperti sungai, sebagaimana Siddharta terberkati oleh sungai Neranjara.
Namun begitu, bagaimana dengan keadaan dan kondisi sungai-sungai kini. Tepi-tepi sungai yang banyak ditempati pabrik industri, simbol kapitalisme, yang membuang limbahnya ke sungai, menjadikan sungai tercemar hasil dari keserakahan manusia duniawi. Sungai tidak lagi memiliki makna filosofis atau spiritual, namun dipandang sebagai komoditi dari sistem ekonomi yang pragmatis dan kemaruk.
Lihatlah, yang terjadi dengan penebangan hutan yang mengikat air yang menjalar di pepohonan dan mencegah longsor. Deforestasi yang terjadi secara masif bahkan sudah mencapai titik maksimum telah mengakibatkan pencemaran sungai dan semakin merongrong kehidupan yang selaras dengan alam. Kearifal lokal telah disepelekan oleh kerja sistem ekonomi kepitalisme yang membawa arus kekotoran batin dalam sampah keserakahan yang mencemari sungai, alam dengan kehidupan biotiknya.
Ditebangnya pohon-pohon dan tercemarnya sungai-sungai, akibat industri ekstratif mendatangkan kemerosotan ekologis, wujud dari degradasi batin banyak orang yang terbawa arus keserakahan, jalan duniawi yang merusak ekosistem. Sungai-sungai kini telah tidak lagi mengalir, namun menjadi kolam berlumpur yang penuh dengan kekotoran batin dari kebodohan, keserakahan dan jauh dari keintiman hidup bersama alam.
Sungai Neranjara dan alam sekitarnya telah menjadi cermin jalan spiritual bagi munculnya Buddha. Masih adakah calon-calon Buddha kini yang membersihkan batinnya dengan menjaga dan merawat sungai, alam dan lingkungan? Pengalaman spiritualitas Siddharta di tepi Sungai Neranjara memberikan kita pelajaran bahwa Buddhadharma itu menyatu dengan alam.
Mari kembangkan pembelajaran Buddhadharma kontekstual. Buddhadharma kontekstual yang akrab dengan alam dan lingkungan, dan sebagai Buddhadharma ekologis yang berinspirasi pada pengalaman Buddha dengan Sungai Neranjara. Buddhadharma ekologis wujud menjaga lingkungan alam dari intrusi kapitalisme yang menggerus sumber daya alam, merusak keindahan alam, sejalan dengan seruan “Save Raja Ampat,” surga terakhir yang masih tersisa di bumi.
“Save Raja Ampat” Global GeoPark
“SaveRajaAmpat.” surga terakhir yang masih tersisa di bumi. Keindahan alam dengan gugusan pulau-pulau, warna warni biota laut, dan pantai pasirnya yang putih menjadi alasan Raja Ampat dijuluki banyak orang surga kecil yang masih tersedia di bumi. Raja Ampat memiliki kekayaan budaya dan adat masyarakat yang menarik untuk disimak. Raja Ampat terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya yang luar biasa, keanekaragaman hayati yang kaya, serta pemandangan pulau-pulau karst menakjubkan, memiliki potensi wisata budaya alam yang unik dan menarik.
Raja Ampat dikenal sebagai surga bagi penyelam dan penggemar snorkeling karena kekayaan biota lautanya yang luar biasa. Di perairan Raja Ampat terdapat lebih dari 1.500 spesies ikan, 537 jenis karang, dan 699 jenis moluska yang hidup. Kepulauan Raja Ampat dijuluki surga terakhir di dunia. Surga itu terdapat dalam kepulauan Nusantara, berada di ujung barat laut semenanjung Kepala Burung Papua Barat. Raja Ampat dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut, dengan sekitar 75% jenis terumbu karang di dunia di perairannya. Keindahan alam ini juga menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat.
Hasil penelitian para pakar nasional dan internasional menunjukkan kawasan Raja Ampat memiliki keunikan yang tak dimiliki kawasan lain di belahan dunia mana pun. UNESCO menyebut kawasan ini sebagai Global GeoPark dan pakar kelautan menjulukinya pusat keanekaragaman hayati dunia. Ukuran keunikannya itu adalah adanya 70% persen jenis karang, lebih dari 1.500 jenis ikan, 699 jenis moluska, 5 jenis penyu, 16 jenis mamalia, dan sekitar 100 diving spot dunia di kawanan ini. (Alex Retraubun, “Kasus Raja Ampat, Kita Mempermalukan Diri sendiri,” Kompas, 17/6/2025)
Gemuruh slogan “SaveRaja Ampat,” menunjukkan adanya ancaman yang datang kepada surga terakhir di dunia itu. Aktivitas pertambangan nikel, terutama di lima pulau Raja Ampat, menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Pertambangan dapat merusak eksosistem terumbu karang, menyebabkan polusi air, dan mengancam kehidupan biota laut serta masyarakat yang tergantung pada kelestarian alam.
“SaveRajaAmpat” menjadi gerakan untuk menolak praktik pertambangan yang merusak dan menyerukan perlindungan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat. “SaveRaja Ampat” menyuarakan kekhawatiran tentang dampak ekonomi dan sosial dari pertambangan, serta pentingnya memastikan bahwa keuntungan dari pariwisata benar-benar dinikmati oleh masyarakat adat.
Seruan ini didukung oleh berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan, mahasiswa, dan masyarakat umum, yang menyuarakan keprihatinan mereka melalui media sosial dan aksi nyata, terdengar di sekolah-sekolah Buddhis termasuk kaum muda Buddhis para aktivis yang terdidik dan terpelajar. “SaveRajaAmpat” seruan untuk menyelamatkan bagian indah kepulauan Nusantara di tanah dan air Papua yang kini tergerus oleh kerakusan ekonomi ekstratif.
Teknologi eksvakator peralatan keserakahan ekonomi kapitalis menggerus pepohonan-pepohonan hijau menjadi tumbang, mengorek tanah untuk diambil benih-benih tambang yang menyilaukan mata ambisi keserakahan duniawi dari segelintir orang. Surga kecil yang tersisa dan terakhir di bumi itu kini terkelupas disana-sini. Kehijauan pepohonan dan kebiruan laut yang menyatu kini terpisah oleh luka kecoklatan dan jerit para penghuni eksosistem biota laut yang terdengar ke mancanegara. “SaveRajaAmpat.”
Dunia menangis menyaksikan Raja Ampat yang terluka, arus kesadaran semesta dalam banyak manusia di segenap penjuru dunia pun tergerak, surga di bumi yang tersisa dan terakhir itu telah dicampakkan segelintir orang, teganya-teganya, dalam keserakahan menguras sumber daya alam milik anak cucu masa depan. Selamatkan Raja Ampat dari kerakusan segelintir orang yang mengorbankan banyak orang sampai ke anak cucu. “Ada kecukupan di dunia untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk keserakahan manusia” (Mohands K. Gandhi, Pejuang Kemerdekaan India).
Spiritualitas Siddharta Untuk Kelestarian Alam
“SaveRajaAmpat.” Bersama dengan arus kesadaran masyarakat dunia yang bergerak menjaga dan merawat bumi, melestarikan alam dan segenap kehidupannya, bersama kearifan lokal, dengan bercermin pada mangkuk spiritual Siddharta dan sungai Neranjara, mari bersama mencegah arus budaya materialisme hedonisme konsumerisme kini yang dibawa sistem kapitalisme dengan insting keserakahannya.
“SaveRajaAmpat” mengingatkan mangkuk spiritual Siddharta akan makna spiritual melawan arus keduniawian, kekotoran batin keserakahan. Makna spiritual mangkuk Siddharta yang sangat relevan untuk dunia saat ini. “SaveRajaAmpat” yang juga semakin diperdengarkan para tokoh, termasuk tokoh-tokoh dunia pergerakan dan pendidikan Buddhis yang berbondong-bondong melepas jas kefeodalan dan kepanditaannya dan menggantinya dengan kaus-oblong yang diproduksi aktivis muda Buddhis bertuliskan “SaveRajaAmpat.”
Kaus oblong cermin busana demokratis bertuliskan “SaveRajaAmpat” yang menjadi cermin aktivisme empatis, solidaritas orang terdidik dan beragama yang kesadarannya telah terhubung dengan semesta, dengan alam Nusantara dan bumi manusia. “SaveRajaAmpat” cermin dari tumbuhnya kesadaran ekologis sebagai aktivisme menyelamatkan lingkungan sejalan dengan kesadaran planetaris, kesadaran semesta dhyani Buddha yang membuahkan aktivisme menjaga kelestarian bumi.
Hadirnya pencerahan, kesadaran Buddha Siddharta di tepi Sungai Neranjara adalah juga cermin dari pembelajaran pada lingkungan alam. Sungai telah berjasa besar bagi pertapa Siddharta dalam perjalanannya menjadi Buddha. Sungai sebagai ekosistem kehidupan alam memberikan makna kehidupan yang sesungguhnya untuk kesejahteraan kebahagiaan manusia.
Sungai memberikan fungsi dan manfaat tak terhingga bagi kehidupan manusia. Di tepiannya, manusia membangun kebudayaan dan peradaban yang memanifestasikan keluhuran dan kemuliaannya sebagai manusia. Dalam makna spiritual, sungai adalah guru yang diam, mengalir tanpa protes, memberi tanpa meminta, membersihkan tanpa membedakan. Sungai mengajarkan manusia untuk hidup dengan kesadaran, kerendahan hati, dan koneksi yang dalam dengan alam.
Pertapa cerdas Siddharta pun berterima kasih, berguru pada sungai Neranjara yang telah menghantarnya memperoleh kebijaksanaan sempurna menjadi Buddha. Mari kita teruskan pencerahan Buddha dengan merawat alam, menjaga sungai kehidupan dan eksosistem alam lainnya seperti menjaga keindahan dan ekosistem Raja Ampat dengan turut menyerukan “Save Raja Ampat,” surga terakhir di dunia yang masih tersisa. “Ada di bumi Nusantara yang indah rumahku, kamu harus tahu,” demikian lagu Koes Plus turut mengingatkan! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).