Oleh: Jo Priastana
“Education is the transmission of civilization”
(Will Durant, Sejarahwan dan Penulis)
Kerajaan Sriwijaya dikenal juga sebagai pusat bagi pendidikan agama Buddha di Nusantara. Sebagai pusat atau tempat pendidikan Buddha di Nusantara, Sriwijaya terpengaruh dari pusat pendidikan agama Buddha yang terdapat di India. Namun begitu, Sriwijaya juga membangun tempat pendidikan di India. (Risa Herdahita Putri, 24 Nov 2017,20:38, HISTORIA. (https://historia.id)
Tak semua tinggalan masa Hindu-Buddha di Indonesia berupa candi pemujaan. Seperti Situs Nalanda di India, yang merupakan pusat pendidikan agama Buddha terkenal di dunia, Indonesia juga punya bangunan kuno sebagai tempat belajar ajaran Buddha dan asrama para pendeta. Pusat belajar ini terdapat di Sriwijaya.
Arkeolog Agus Widiatmoko menguraikan bahwa pusat-pusat pendidikan Buddha di India muncul sejak awal Masehi. Ditandai dengan adanya Situs Piprahwa dari abad 1 dan 2 M, Situs Nagarjunakonda abad 3 M, Situs Ganwaria dari abad 4 M, dan Situs Nalanda yang didirikan masa pemerintahan Gupta pada abad 5 M.
Hubungan Sriwijaya dengan Nalanda
Agus Widiatmoko mengungkapkan tentang Nalanda. Masa Gupta ditandai dengan pendirian tempat pendidikan Nalanda yang membawa ajaran Buddha memasuki era sumber ilmu pengetahuan. Memasuki abad 6 M, tak hanya dikenal dengan institusi Buddha yang menghasilkan karya seni, Nalanda juga menjadi pusat ajaran Mahayana.
Memasuki periode Pala pada akhir abad 8 M hingga akhir abad 11 M, tradisi di Nalanda memainkan peranan penting. Di masa jaya Pala yang memerintah di Bengal dan Bihar itu, Buddha menjadi ajaran dan praktik resmi di kerajaan. Pada masa ini pula, pertumbuhan dan perkembangan Buddha Mahayana sangat pesat, khususnya aliran Tantrayana.
Pada periode Pala banyak didirikan vihara sebagai bagian dari universitas dan pusat pendidikan Buddha, antara lain vihara Vikramasila, Odantapuri, Somapura, dan Jagaddala. Di antara Universitas itu, Nalanda menjadi unggulan dan acuan.
“Pusat-pusat pendidikan itu telah mempengaruhi ajaran Buddha di Nusantara,” kata Agus dalam pidato kebudayaan yang berjudul “Hubungan Muaro Jambi, Nalanda, Vikramasila dan Candi Borobudur” pada acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, Kamis malam (23/11/2017).
Dari hasil penelitian arkeolog di Situs Batujaya, Karawang juga dapat diketahui telah ada pembangunan candi bercorak Buddha pada abad 6-7 M dan pembangunan tahap kedua abad 8-10 M. Bukti awal kemampuan penduduk Nusantara membangun candi sebenarnya sudah sejak milenium pertama.
Keberadaan Nalanda yang memiliki hubungan dengan pusat pendidikan agama Buddha di Sriwijaya itu juga diketahui melalui kesaksian para peziarah Cina. Selain Nalanda, para peziarah juga melaporkan tentang keberadaan pusat-pusat pendidikan agama Buddha lainnya yang ada di India.
Para Peziarah dan Pusat Pendidikan
Tercatat peziarah Cina yang mengunjungi India dalam abad ke 5, 6 dan 7 Masehi. Diantaranya adalah Fa-Hien (405-411), Huan-Tsang (629-646) dan I-Tsing (671-695). Reportase perjalanan mereka merupakan kesaksian sejarah yang mengungkapkan lembaga pendidikan dan pengajaran agama Buddha dalam kurun tiga abad.
Fa-Hien mengunjungi dua vihara di Pataliputra yang sudah memiliki bentuk sebagai mahavihara. Fa-Hien menuliskan pendapat pribadinya bahwa salah satu vihara Mahayana adalah “sangat besar dan indah”, sedangkan vihara lain di Pataliputra adalah vihara Hinayana.
Dua abad kemudian ketika Huan-Tsang menuliskan kesaksiannya melihat perkembangan pada lembaga pendidikan tersebut. Para Bhikkhu datang dari seluruh pelosok daerah dan sebagian dari mereka menulis kitab-kitab, belajar dan menjadikan vihara atau mahavihara itu sebagai pusat pendidikan dan pengajaran yang keharumannya memancar luas keluar wilayah India termasuk ke Sriwijaya di Sumatera.
I-Tsing, pengelana asal Tiongkok yang datang ke Nusantara pada abad 7 M, dalam Nanhai ji Gui Neifa Zhuan (kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan), menyebut di wilayah kekuasaan Foshi ada pusat pendidikan Buddha, tepatnya di daerah yang oleh orang India Selatan disebut Suvarnadvipa atau kini bernama Sumatera.
Sumber lain, prasasti di India, Nalanda copperpalate dari abad 9 M yang ditemukan di Vihara I Nalanda, menyebut hubungan bilateral Raja Pala dengan keturunan Dinasti Syailendra bernama Balaputradewa dari Sumatra. Sriwijaya membangun vihara di Nalanda demi kepentingan pengembangan pusat pendidikan di Nusantara dan pusat studi ilmu filsafat Mahayana di Nalanda menjadi rujukan Buddha di Sriwijaya.
“I-Tsing bilang ada pusat pendidikan di Sumatra. Ini menarik. Kalau memang ada, di mana ?” kata Agus. Agus kemudian menjelaskan Situs Muorajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Kawasan ini sudah ada sejak abad 7-12 M seiring keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan Melayu Kuno yang berpusat di Sumatera. Secara umum ada dua kompleks bangunan, yaitu vihara dan tempat pemujaan. Ada pembagian ruang di bagian vihara di antaranya ruang tinggal, halaman, tempat ritual (cetiyagraha), pendopo (mandapa), dan fasilitas lain sebagai kelengkapan bangunan, kolam dan sumur.
Sementara kuil pemujaan hanya terdiri dari satu satuan ruang. Dalam satu satuan ruang berpagar keliling terdapat pusat ritual atau candi induk, mandala, struktur stupa. Dengan adanya situs ini, kata Agus, menunjukkan sejak awal perkembangan Buddha di Nusantara, telah ada lokasi untuk mendidik para penganutnya.
“Penemuan Prasasti Karangberahi di Jambi, setidaknya dimaknai kekuasaan Sriwijaya pada abad 7 M ikut mendorong kemajuan pendidikan Buddha khususnya di Muara Jambi,” jelasnya.
Menurut Agus, terkait hubungannya dengan India, ada kesamaan antara Muara Jambi dengan Situs Nalanda dan Situs Vikramasila di India. Dua situs Buddha di India punya kronologi masa perkembangan yang saling berkesinambungan. Situs Nalanda dari abad 5-12 M. Situs Vikramasila dari sejak abad 8-13 M. Sedangkan Situs Muara Jambi dari abad 7-12 M.
Dari sisi arsitektur dan teknologi bangunan, ketiganya pun nampak mirip. Sama-sama memakai bata sebagai bahan utama. Pun soal pola dan bangunan, meski ada beberapa penyesuaian dengan kondisi geografi lokal. Masing-masing situs mempunyai kompleks bangunan vihara dan kuil pemujaan.
“Kesamaan ini menunjukkan, lokasi yang dipakai sebagai pusat pendidikan Buddha pada dasarnya tempat tinggal para biksu dalam menjalankan pendidikan Buddha,” kata Agus.
Ketiganya juga memilih pola lokasi yang sama. Bangunan-bangunan itu tak jauh dari aliran sungai besar. Sumber daya air di sekitar ketiga situs itu pun melimpah.
Meski mirip dengan di India, pusat pendidikan di Sumatra sebenarnya sudah berkembang sebelum pendirian vihara di Nalanda oleh Sriwijaya. Ini terkait berita I-Tsing pada abad 7 M yang sempat tinggal dua bulan di wilayah Sriwijaya untuk memperdalam sabdavidya sebelum ke Nalanda.
“Sriwijaya mendirikan vihara di Nalanda dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan Svarnadvipa setara dengan pusat pendidikan di Nalanda,” ujar Agus.
Tak cuma di Sumatera, Agus menambahkan, di wilayah Yogyakarta pun ada bangunan yang diperkirakan menjadi pusat pendidikan Buddha, Candi Sewu dan Candi Sojiwan. Kedua candi itu difungsikan sebagai bangunan pemujaan.
“Di dekatnya ada Ratu Boko. Itu kalau menurut saya pribadi vihara besar,” katanya. Sebab, pola ruang yang ada di Ratu Boko punya kemiripan dengan bangunan vihara lainnya. Padahal, selama ini situs itu lebih sering dikaitkan dengan keraton. “ini harus dikritisi,” tegasnya.
Pertukaran Pelajar Nalanda dan Sriwijaya
Hassan Wirajuda saat menjadi salah satu pembicara dalam acara “Reviving the Sriwijaya-Nalanda Civilization Trail” di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta, 8 Agustus 2017 turut menceritakan tentang kebesaran Sriwijaya. (Laporan Risa Herdaguta Putri, 8 Agustus 2017, 19:55. Dalam Historia.id).
Sebelas abad lalu, Sriwijaya dan Nalanda membangun hubungan diplomasi budaya yang saling menguntungkan. Nalanda dikenal sebagai universitas kuno dan kota kuno di India. Ia pernah menjadi pusat pendidikan agama Buddha dari tahun 427-1197 M di bawah kerajaan Pala.
“Di mana ada hubungan langsung antara Sriwijaya dan Nalanda. Penting untuk diketahui, bahwa sebelum zaman modern, bangsa Indonesia sudah terhubung dengan hal yang sangat penting, yaitu pikiran,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dalam sambutan seminar.
Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan bahwa hubungan Sriwijaya-Nalanda lewat pendidikan, khususnya pertukaran pelajar, terbukti ampuh membangun hubungan antarbangsa.
“Karena pada akhirnya people to people penting meningkatkan hubungan antar dua Negara,” katanya. Menurut Hassan, Sriwijaya menampilkan diri tidak hanya sebagai pemberi, tapi juga penerima.
Kerajaan itu mengirimkan Pangeran Dharmakirti untuk belajar di Nalanda. Di sisi lain, Sriwijaya juga menerima seorang lulusan Nalanda, Atisha Dipankara untuk melanjutkan studi Buddhisme di Sriwijaya.
“Atisha pernah berkata, tidak lengkap belajar Buddhisme jika tidak pergi ke Sriwijaya,” ujar Hassan. Padahal, kata Hassan, Atisha bukan tokoh sembarangan. Tokoh besar dalam filsafat Buddha dan spiritual itu berpengaruh tidak hanya di India, tapi juga sampai ke Tibet.
Saking berpengaruhnya, Atisha sampai dibujuk empat kali oleh raja Tibet untuk datang ke negaranya. Setelah tiga kali menolak datang, dia pun setuju dan menjadi tokoh pembaru Buddhisme di Tibet.” Dan dia alumni Sriwijaya,” kata anggota Nalanda International Advisory Panel itu.
Pelajaran lainnya, kata Hassan, Sriwijaya sangat royal memberikan bantuan kepada kerajaan asing, Sriwijaya menyumbangkan sebuah bangunan biara kepada Nalanda.
“Saya datangkan ini seperti satu unit kesatuan lengkap. Isinya asrama mahasiswa, asrama profesor, perpustakaan, dan sebagainya,” terangnya.
Universitas kuno itu, kata Hassan, memiliki 10.000 pelajar dan 3.000 pengajar. “Di dunia sekarang ini, mungkin adanya hanya di Cambridge dan Oxford,” ujar Hassan.
Bukan hanya bangunan biara, Sriwijaya juga berhasil memperoleh konsensi tanah dari raja setempat yang disumbangkan kembali untuk perawatan biara dan beasiswa. “Sriwijaya, nenek moyang kita telah mengajarkan agar kita lebih banyak memberi,” kata Hassan.
Kejayaan Sriwijaya, Inspirasi dan Tantangan SDM Zaman NOW
Sampai saat ini kejayaan Sriwijaya terus menjadi inspirasi para penerus bangsa. Terutama Pusat Pendidikan Agama Buddha yang masih terus bergema dan memberi inspirasi bagi masa kini untuk membangun Indonesia Raya, khususnya dalam dunia pendidikan dan peningkatan mutu sumber daya manusia.
Kejayaan Sriwijaya nyatanya terus hidup di dalam sanubari orang Indonesia termasuk para pemimpin negeri saat ini yang sedang membangun negeri dan menggali inspirasi darinya.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani, dalam perayaan ulang tahun ke 50 Kamar Dagang dan Industri pada Senin, 24 Sepetember 2018, dalam sambutannya menyampaikan tentang pentingnya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).
Ia menukik ke sejarah masa silam untuk masa kini yang tengah dihadapi sehubungan dengan SDM. Dalam sambutannya itu, ia meringkas tentang perjalanan sejarah mulai ribuan tahun lalu, saat nenek moyang bangsa Indonesia sudah berlayar sampai ke Madagaskar. Dia memaparkan juga tentang kejayaan Sriwijaya dan Majapahit pada masanya. (Kompas 28/9/18).
Mengutip prasasti Nalanda di India pada 860 Masehi, Sriwijaya kala itu disebutkan sebagai kerajaan internasional yang menjdi pusat pendidikan di Asia. Pencapaian tersebut menumbuhkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia secara historis mempunyai peradaban, daya pikir, strategi dan imajinasi tinggi yang dapat diimplementasikan.
Namun, merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan, disampaikan juga tantangan terkini, yakni lebih dari separuh dari 133 juta orang tenaga kerja Indonesia berpendidikan sekolah dasar. Apabila dilihat lebih dalam, sebanyak 26 persen di antaranya tidak lulus SD. Lebih jauh, hanya 12-13 persen tenaga kerja berpendidikan diploma atau universutas.
Indeks pembangunan manusia Indonesia ada di peringkat ke-116. Peringkat daya saing SDM Indonesia tahun 2017 hanya nomor 90 dari 118 negara. Karena itu, tantangan bagi Indonesia pada masa sekarang adalah membangun SDM berkualitas demi menjayakan bangsa. Sulit untuk berkompetisi jika persoalan SDM tidak dibenahi.
Kejayaan Sriwijaya merupakan sebuah fenomena yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dengan segala keragamannya yang telah dimiliki sejak dahulu kala. Justru dengan keragamannya itulah bangsa Indonesia menjadi kuat dan besar, kuat karena bersatu, besar karena masing-masing saling mendukung satu sama lain dalam keragamannya. Sriwijaya yang pernah hadir dalam sejarah Indonesia senantiasa mengingatkan dan memberi kita inspirasi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar.
Pada kesempatan HUT Kadin ke-50 itu, Kadin memberikan penghargaan Tokoh Pemerataan Pembangunan bagi Presiden Joko Widodo. Presiden kala menerima penghargaan itu kembali mengingatkan, Indonesia adalah negara besar dengan warna-warni perbedaan. Penduduknya 263 juta jiwa yang tersebar di belasan ribu pulau, 34 provinsi, dan 514 kabupaten/kota. Indonesia memiliki 714 suku, 1.100 lebih bahasa daerah , dengan adat, tradisi, dan agama yang berbeda.
Mengelola negara sebesar Indonesia bukan hal gampang. Sebab, setiap daerah memiliki kasus, kebutuhan, dan permintaan yang berlainan. Menurut Presiden, kita bernegara, bukan hanya berbisnis atau berekonomi. Aset terbesar bangsa ini adalah persatuan, kerukunan, dan persaudaraan. Mudah menyelesaikan berbagai persoalan apabila kita memegang aset-aset yang bernilai tersebut. Sebagai warga negara sebesar Indonesia, janganlah kita meributkan hal-hal kecil, serta bersatu menjayakan Indonesia.
***
(Sumber: Jo Priastana., 2019. “Buddhist Backpacker: Jelajah Jejak Buddha Nusantara “Sriwijaya”., Jakarta: Yasodhara Puteri).