Oleh: Jo Priastana
“Sulak dan Gus Dur, keduanya menyatu untuk kemanusiaan dan keadilan.
Perjuangan mereka menukik pada inti kehidupan sosial dan spiritual, yakni
bagaimana kita memuliakan harkat dan martabat kemanusiaan,siapa pun dia,
dari latar belakang apa pun,terkhusus bagi mereka yang miskin dan termaginalkan.”
(Daniel Johan, Aktivis, Politisi, Anggota DPR RI)
Pernyataan Daniel Johan itu tertera dalam buku Sulak Sivaraksa, “Pembangunan untuk Manusia Ekonomi Buddhis Abad 21, The Wisdom of Sustainability Buddhis Economic for the 21st Century.” Jakarta, Hikmabudhi-Institut Nagarjuna, 2013. Dalam bukunya itu, Ajarn Sulak, seorang praktisi terhormat penggiat tipologi Buddhisme “Engaged Buddhism”, selalu bersikap optimis dan terus melakukan usaha untuk menyelamatkan dunia berdasarkan ajaran Buddha. (dalam bahasa Thai, Ajarn adalah panggilan hormat terhadap seseorang yang dikagumi dan dijadikan teladan).
Bagi Ajarn Sulak Sivaraksa, ajaran Buddha atau Buddhadharma yang menjadi basis bagi pembangunan ekonomi, bertujuan tidak hanya untuk kesejahteraan manusia namun juga menjaga kelestarian lingkungan. Bahwa apapun tujuan kehidupan manusia seperti untuk kesejahteraannnya tetap harus memperhatikan keseimbangan lingkungan alam. Contoh keutuhan ekologis yang selalu terjaga dalam kebijakan pemerintahan negara Bhutan. Pembangunan ekonomi yang menekankan keseimbangan kesejahteraan manusia dan keutuhan lingkungan.
“Suatu keseimbangan pembangunan ekonomi yang berdasar pada mata pencaharian benar, masyarakat yang damai melalui pemerintahan bermoral, dan pembangunan dari bawah ke atas (Sarvodaya) merupakan sebagian dari pemulihan fundamental dan alternatif yang ia tawarkan demi membalikkan situasi sekarang (Samdhong Rinpoche, Perdana Menteri Pemerintah Tibet dalam Pengasingan, Dharamsala, India, 2009).
Kritik Pembangunan Kapitalis
Pembangunan ekonomi harus mencerminkan keseimbangan, wujud dari ajaran jalan tengah Buddha, keseimbangan manusia dan alam dan mencerminkan nilai-nilai moral. Pembangunan yang berbasis pada keseimbangan kesejahteraan manusia dan kelestarian alam adalah cermin dari aspek ajaran Buddha tentang ekonomi yang diawali dengan dengan mata pencaharian benar.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks makro ekonomi, mata pencaharian benar dapat menjadi prinsip etis yang terwujud dalam pembangunan ekonomi yang seimbang. Keseimbangan kemajuan kesejahteraan manusia, kelestarian alam dan lingkungan. Begitulah kira-kira pemikiran otentik seorang Ajarn Sulak Sivaraksa. Pemikiran yang muncul dari pemikiran bernas bersumber hati dan kedalaman spiritualitas Buddhisnya.
Baginya pembangunan harus membawa kebahagiaan dan keadilan untuk manusia dan alam. Ajarn Sulak Sivaraksa (lahir 1933) sangat kritis terhadap pembangunan ekonomi yang cenderung kapitalisme dan liberalisme. Menurutnya, pembangunan yang berlandasakan pada sistem kapitalisme dan liberalisme banyak menimbulkan kekerasan dan ketidakadilan sosial. Sulak mengkritik kapitalisme dimana keserakahan menjadi sekutunya, dan tidak mencerminkan jalan tengah Buddha yang juga bisa berlaku untuk pembangunan ekonomi.
Dalam pandangan Sulak Sivaraksa, pembangunan menurut Buddhis berlawanan dengan kapitalisme. Dalam rumusan Buddhis, “manusia tidak mengeksploitasi di atas penderitaan manusia lain”. Sebaliknya Kapitalisme berdiri di atas pengeksploitasian manusia, manusia yang menderita. Kapitalisme tampaknya menimpakan penderitaan kepada manusia yang memang pada dasarnya secara eksistensinya sudah menderita (dukkha). Kapitalisme mewujud dalam kolonialisme seperti terjadi dalam sejarah dan juga dalam wujud baru di masa kini.
Dengan begitu, dengan beranjak dari ajaran Buddha atau Buddhadharma, Sulak Sivaraksa sepertinya menawarkan konsep pembangunan alternatif, pembangunan alternatif dari kapitalisme yang cenderung eksploitatif. Konsep pembangunan alternatif dimana pembangunan lebih humanis berdasarkan prinsip ajaran Buddha. Ajarn Sulak Sivaraksa tidak henti-hentinya mengajukan dan memperjuangkan konsep pembangunan ekonomi yang diyakininya itu dan sekaligus menjadi guru untuk melahirkan para aktivis, seperti Daniel Johan dari Indonesia salah satunya.
Dalam keseluruhan masa hidup dan kepenuhan dirinya, sepertinya Sulak Sivaraksa melakukan perjuangan tanpa akhir untuk mewujudkan pembangunan yang humanis berdasarkan Buddhadharma. Tampaknya perjuangan dan pencaharian memang tidak mudah karena yang dihadapi adalah sisi terburuk dari manusia, yaitu keserakahan yang mendasari sistem pembangunan kapitalis. Kapitalisme yang begitu menggejala dan dilakukan banyak negara dewasa ini, terutama setelah kemenangan atas keruntuhan Uni Soviet di pertengahan 1990-an.
Persoalan utama perjuangan Sulak Sivaraksa adalah bagaimana mewujudkan pembangunan yang mampu mengurangi keserakahan dan kebencian yang bergelora di dalam diri manusia, akibat menggejalanya sistem kapitalisme. Keserakahan begitu melekat di dalam praktik pembangunan kapitalisme itu. Sulak berprinsip terhadal hal ini karena dalam keyakinan Buddhisnya keserakahan (lobha) adalah akar penderitaan manusia sebagaimana bunyi tesis pertama kesunyataan mulia Buddha.
Bagi penganut Buddhis yang saleh itu, keserakahan adalah akar dari penderitaan. Pembangunan yang didasari oleh keserakahan hanya akan menambah derita manusia beserta kerusakan alam lingkungan. Keserakahan yang memikat materialisme dan sikap hidup hedonis.
Sepertinya, Ajarn Sulak mengingatkan bagaimana akibatnya bila sisi buruk manusia itu menjadi dasar bagi pembangunan yang bersifat kolektif, keseluruhan bagi rakyat. Bahaya keserakahan yang juga diingatkan oleh pejuang kemerdekaan India Mahatma Gandhi. “Bumi dapat memuaskan setiap makhluk hidup yang hidup di dalamnya, namun takkan pernah memuaskan keserakahan satu orang” (Mahatma Gandhi, Pejuang Kemerdekaan India).
Alam terbatas dan keserakahan tidak terbatas. Tantangan sumber daya alam semakin terbatas, sementara jumlah penduduk dan persaingan semakin besar. Kehidupan masyarakat dunia semakin pragmatis, dan akibatnya pembangunan alternatif yang humanis dibutuhkan dan perlu terus diupayakan. Perjuangan melawan kapitalisme tak akan pernah usai, termasuk juga untuk Indonesia kini.
Kapitalisme mengeksploitasi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Janji kapitalisme untuk mewujudkan emansipasi melalui pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, seperti yang dikatakan Jerry Mander, tidaklah masuk akal. Tidak ada yang bisa tumbuh selamanya. Semua ada batasnya (limits to growth).
Sebelum kita semua kelewat batas menggerogoti segala hasil bumi, kita harus mengubah haluan dan membangun masa depan yang berlandaskan pada kebijaksanaan dan welas asih. Sumber daya yang tersedia tidak akan cukup bagi semua orang untuk menjaga Gaya Hidup Dunia Pertama (Sulak Sivaraksa 2013; 12).
Sahabat Aktivis dan Pejuang Buddhis
Sulak Sivaraksa, tokoh Buddhis yang sederhana dan saleh. Perjuangannya untuk perdamaian menghantar Beliau sebagai nominasi hadiah Nobel Perdamaian. Sulak Sivaraksa adalah guru, pendidik, penulis, pemikir Buddhis dan mentor bagi para aktivis, pejuang perdamaian, pejuang kemanusiaan dan keadilan. Sulak Sivaraksa (91 tahun) adalah sahabat bagi para aktivis, pejuang untuk pembebasan kaum terpinggirkan dari penderitaannya.
Sulak Sivaraksa adalah tokoh “Engaged Buddhism”. Engaged Buddhism bisa diterjemahkan sebagai “Buddhadharma yang Terlibat” adalah sebuah tipologi Buddhisme yang menekankan penerapan Buddhadharma untuk pembebasan bagi mereka yang menderita, terutama dalam konteks pembangunan ekonomi, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi manusia dan alam.
Pembebasan adalah spirit Buddhadharma, dan oleh karenanya keterlibatan untuk mengatasi penderitaan seperti kemiskinan, kekerasan, dan mereka yang terpinggirkan adalah menjadi keharusan bagi setiap aktivis dan pejuang Buddhadharma. Termasuk untuk keadilan alam, karena setiap pohon yang tumbuh, tanah dan air adalah nafas dan kehidupan bagi manusia dan semesta.
Dalam penghayatan menyelami kedalaman Buddhaharma, akan diketemukan bahwa agama dan perubahan sosial tidak terpisahkan. Buddhadharma yang Terlibat memperlihatkan substansi Buddhadharma sebagai sarana untuk perubahan menuju kebaikan manusia. Buddhadharma adalah jantung dari perubahan sosial, dan perubahan sosial adalah esensi dari Buddhadharma.
“Socially Engaged Buddhism advocates religion as a means of reform. He (Sulak Sivaraksa) states, “Religion is at the heart of social change, and social change is the essence of religion” (wikipedia).
Sulak Sivaraksa adalah tokoh terkemuka dari organisasi INEB (International Network of Engaged Buddhism), yang mendasari perjuangannya pada prinsip Buddhadharma. Ia mendirikan Ashram di luar kota Bangkok, tempat bagi para aktivis untuk melatih diri. Tempat bagi para aktivis untuk dapat berhenti sejenak dan mengisi ulang tenaga mereka dalam kedamaian dan keheningan mengikuti ajaran kebijaksanaan dan praktik meditasi Buddhis. Praktik ajaran Buddha yang sederhana dalam pernafasan dan meditasi, serta mempercayai tanpa kekerasan (ahimsa) adalah inti dari Buddhisme.
Sulak Sivaraksa, Sang Guru bagi para aktivis Buddhis, pejuang keadilan, kemanusiaan dan perdamaian. Beliau membantu banyak kaum muda menjejakkan langkahnya dalam dunia aktivis sosial dan politik berbasis spiritualitas. Berjuang terus tanpa henti, dan selalu memberikan dukungan moral kepada mereka, kepada para aktivis ketika keluar dari arah yang mereka tempuh sendiri.
Bagi para pejuang Buddhis, kaum Buddhis humanis yang melakukan keterlibatan sosial-politik dan lingkungan perlu melakukan aktivitas perjuangannya dengan kejernihan berpikir. Sadar harus menyertai keterlibatan dalam perjuangannya. Studi dan aksi harus disertai meditasi. Dalam pandangan Sulak Sivaraksa, Buddhisme dapat berperan dalam pembangunan untuk kemajuan masa depan negara.
Menurutnya, dewasa ini di berbagai penjuru Asia, Buddhisme sedang berkompetisi dengan agama baru yang bernama konsumerisme, anak kandung kapitalisme. Dengan kritis ia mengungkapkan, jumlah pelacur telah melebihi jumlah biksu di negaranya (Thailand), dan mal-mal pusat perbelanjaan telah menggantikan posisi vihara sebagai pusat kegiatan masyarakat.
Pembangunan Kebahagiaan Manusia
Hanya di tempat tertentu, konsumerisme dan globalisasi tidak meluas pengaruhnya, seperti di Bhutan dan penduduk Tibet di pengasingan, dimana praktik Buddhis tradisional masih tetap berkembang dan tumbuh dalam masyarakat akar rumput. Bhutan sendiri tidak mengukur kemajuan negaranya dengan GNP (Gross National Product) yang bersifat kuantitatif-materialisme-ekonomis. Bhutan menerapkan Gross National Happiness (GNH) yang menunjukkan indikator bagi kualitas hidup manusia sejahtera dan bahagia serta menjaga kelestarian alam.
Dalam buku “Pembangunan untuk Manusia” ini, Sulak mengajukan pergantian konsep GNP dengan konsep yang begitu jelas namun penting, yakni Gross National Happiness (GNH). Untuk itu, tujuan utama perjuangannya adalah bagaimana Buddhisme menjawab tantangan yang dibawa kapitalisme yang telah mengglobal, meredam laju globalisasi kapitalisme bagi kebaikan pertumbuhan jiwa umat manusia.
Globalisasi yang sebenarnya lebih tepat disebut fundamentalisme pasar bebas adalah sebuah aliran sesat yang memaksakan nilai-nilai materialistik pada negara-negara berkembang dan negara industri maju. Globalisasi kapitalisme yang mendorong orang-orang untuk berusaha menghasilkan lebih, mendapatkan lebih dalam sebuah siklus keserakahan dan ketidakamanan yang tak pernah berakhir.
Dampak pembangunan kapitalis yang materialistis hanya melahirkan keserakahan manusia dan kerusakan lingkungan. Sebuah tantangan bersejarah yang perlu dijawab dengan antitesa pembangunan yang humanis, pembangunan ekonomi alternatif yang sesuai prinsip-prinsip dasar Buddhadharma dalam mengatasi keserakahan sebagai akar penderitaan.
Perjuangan Sulak Sivaraksa adalah perjuangan mewujudkan cita-cita Buddhadharma. Sebuah perjuangan yang sesuai prinsip dasar ajaran Buddha, tentang dukkha dan melenyapkan dukkha. Dunia tengah menderita sakit dan dibutuhkan sejumlah upaya untuk menyembuhkannya, sebelum semuanya terlambat.
Perdamaian diperlukan untuk menggantikan peperangan. Sikap tanpa kekerasan diperlukan untuk menggantikan kekerasan. Kemurahan hati diperlukan untuk menggantikan keserakahan, cinta kasih diperlukan untuk menggantikan kebencian, dan pengertian diperlukan untuk menggantikan ketidaktahuan.
Melalui Sulak Sivaraksa, kita mengenali esensi Buddhadharma bagi dunia kehidupan, pembangunan ekonomi yang memberi pelajaran bahwa kita semua harus belajar untuk mencintai lingkungan dan hidup serasi dengan alam dan menjadi pejuang aktivis kemanusiaan dan lingkungan. Sahabat para aktivis muda yang berusia panjang ini (91 th) masih tetap berjuang sepanjang kesejahteraan dan kebahagiaan orang banyak belum terwujud. Appamadena Sampadettha, Sabbe satta bhavantu sukhitatta! (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
(Foto: Penulis bersama Sulak Sivaraka, dalam kesempatan Seminar International, “Interreligious Interfacing in Search of Life, Justice and Peace”, World Council of Churches, Bangkok Christian Guest House, Bangkok- Thailand, 27-31 2013)