Oleh: Jo Priastana
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”
(Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI)
Dunia pendidikan Indonesia mengenal para sosok pahlawan perempuan. Ada Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan pribumi untuk mendapatkan kesetaraan dengan mendirikan Sekolah Wanita di Rembang. Dewi Sartika, yang memperjuangkan hak pendidikan wanita dan mendirikan Sekolah Istri pada tahun 1904. Ada Roehana Koedoes (1884-1972) wartawati pertama di Indonesia yang juga mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang.
Kiranya sejarah dunia pendidikan Buddhis di Indonesia juga mengenal sosok pahlawannya. Sosok berjasa yang telah membangun institusi pendidikan dan yang memungkinkan terjadinya keberadaan masyarakat pendidikan Buddhis Indonesia saat ini. Sosok perempuan bernama Suminah bisa disematkan sebagai pahlawan pendidikan Buddhis. Suminah berjasa dalam memperjuangkan hak pendidikan agama Buddha di sekolah serta dalam membangun institusi pendidikan Buddhis semasanya.
Betapa pentingnya sejarah peran Suminah dalam memajukan pendidikan Buddhis di tanah air serta kontribusinya dalam menciptakan generasi Buddhis terdidik dapat kita temui dalam proposal penelitian Puji Sulani, “Suminah dan Perannya dalam Pendidikan Guru Agama Buddha Era 1970-an hingga Tahun 1990-an: Kajian Biografi Sejarah dan Agensi.” Proposal penelitian individu Dosen Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang tahun 2014. Proposal tentang ketokohan Suminah dapat kita simak di bawah ini.
Peran Suminah dalam Sejarah Pendidikan Buddhis
Peran Suminah dalam pendidikan guru agama Buddha dan pendidikan agama Buddha berkaitan dengan kebijakan pendidikan agama sezaman, yakni era tahun 1970-an hingga 1990-an. Kebijakan pendidikan agama setelah kemerdekaan dan awal mula munculnya pendidikan agama Buddha setelah kemerdekaan menjadi latar belakang kiprah Suminah dalam pendidikan Buddhis. Suminah mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama Buddha (PGAB) Mpu Tantular di daerah Banyumas dalam posisinya sebagai guru sekolah dasar berkolaborasi dengan suaminya, Ciptowardoyo. Sebelumnya, suami istri yang berdedikasi ini mampu mendirikan dan mengelola Kursus Guru Agama Buddha (KGAB).
Agensi Suminah yang mencakup pendidikan dan pengajaran, administrasi, hingga penggalangan dana untuk para siswa dari komunitas Buddha dilatarbelakangi oleh kebutuhan guru agama Buddha yang muncul akibat tekanan sosial politik tahun 1965. Agensi Suminah dilakukan untuk memastikan keberlanjutan sekolah PGAB dalam menghadapi keterbatasan sumber daya dan tantangan sosial politik, serta mendistribusikan lulusannya yang berjumlah 450 orang, ke berbagai daerah di seluruh tanah air.
Kontribusi Suminah yang berkolaborasi dengan suaminya dalam mengisi kekosongan guru agama Buddha tidak terbatas pada lingkup lokal Banyumas atau Banyumasan, tetapi juga mendukung pengembangan pendidikan agama Buddha secara nasional. Di sisi lain, Suminah menjadi teladan sebagai pemimpin yang berdisiplin, dermawan, dan memiliki komitmen dalam membentuk karakter siswa secara akademis dan moralitas.
Pendidikan Agama Buddha dan Pendidikan Guru Agama Buddha Tahun 1960-an – 1970-an
Suminah menjawab kekosongan guru agama Buddha dan pendidikan guru agama Buddha. Kebijakan tentang pendidikan agama di sekolah umum, menjadi patokan baginya dalam penyelenggaraan pendidikan agama Buddha. Pendidikan agama Buddha di sekolah umum mulai diberlakukan di Indonesia pada tahun 1960-an. Hal tersebut ditandai dengan adanya kurikulum pendidikan agama Buddha dalam kurikulum nasional tahun 1968 (Sulani, 2023a). Sejak integrasi kurikulum pendidikan agama Buddha tersebut dalam kurikulum nasional, pendidikan agama dapat dirasakan oleh peserta didik di sekolah umum terutama di kota-kota besar atau perkotaan.
Keberadaan kurikulum pendidikan agama Buddha dalam Kurikulum 1968 menandai pendidikan agama Buddha pada sekolah umum telah diakomodasi. Akomodasi pendidikan agama tersebut dapat dilihat pada mata pelajaran kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila bagi peserta didik Sekolah Dasar kelas I sampai dengan kelas VI (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1968). Telah diakomodasinya pendidikan agama Buddha pada sekolah umum menjadi tantangan bagi agama Buddha, terutama pada ketersediaan guru pendidikan agama Buddha.
Informasi perekrutan terhadap guru pendidikan agama Buddha pada masa itu masih terbatas, demikian juga dengan lembaga penyedia guru pendidikan agama Buddha. Sebuah majalah Buddhis lokal Bandung, Berita Vimala: Siaran Perhimpunan Buddhis Indonesia Tjabang Bandung, memuat pengumuman tentang adanya Perguruan Tinggi Agama Buddha (PTAB) “Buddhakirti” yang akan menyelenggarakan perkuliahan pada bulan September 1964. Informasi dari majalah tersebut menyatakan bahwa lulusan PTAB “Buddhakirti” dapat mengisi lapangan pekerjaan di SLA, universitas sebagai guru agama Buddha, di Departemen Agama, Djawatan Agama atau di AD, AURI, dan ALRI sebagai tentara (Berita Vimala, 1964).
Berita tersebut menunjukkan bahwa sebelum diakui sebagai agama resmi oleh negara, tokoh agama Buddha di Bandung pada masa itu telah memikirkan tentang pendidikan agama Buddha. Di sisi lain, pada tahun 1967, di Jakarta juga diselenggarakan kursus kilat bagi guru agama Buddha atas inisiatif Oka Diputhera dan S. Widya Dharma (Sulani, 2023b). Pada akhir tahun 1970-an, tepatnya pada tahun 1979, Akademi Buddhis Nalanda menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru agama Buddha (Nalanda, 2016).
Sementara itu pada tahun 1974 sampai dengan tahun 1977 diselenggarakan Kursus Guru Agama Buddha (KGAB) oleh Ciptowardoyo bersama Suminah di Buntu-Sidamulya, Kabupaten Banyumas. Lulusan KGAB mendapat kesempatan menjadi Guru Tidak Tetap yang mengajar Pendidikan Agama Buddha hingga kemudian mengikuti ujian negara ketika sekolah PGAB menyelenggarakannya pada tahun 1981 (Sulani, 2023b).
Berawal dari KGAB, Ciptowardoyo bersama Suminah dan agen-agen lain kemudian membangun PGAB Mpu Tantular yang mampu berdiri hingga tahun 1994. Dari akhir tahun 1970-an hingga 1994 tersebut PGAB Mpu Tantular berhasil mendidik 615 calon guru agama Buddha, meskipun tidak semua mengikuti dan tidak lulus ujian negara (Sulani, 2023b). Keberlangsungan KGAB dan PGAB serta keberhasilannya dalam mendidik dan meluluskan calon guru Pendidikan Agama Buddha, tidak lepas dari peran dan agensi Suminah, perempuan terdidik, sekaligus istri Ciptowardoyo yang turut andil dalam proses tersebut.
Agensi Suminah dalam Pendidikan Guru Agama Buddha
Suminah merupakan perempuan Jawa yang lahir di Sidamulya, Banyumas dari keluarga sederhana. Beliau keturunan lurah dan berlatar belakang penghayat kepercayaan lokal, Kawula Warga Naluri. Berbagai tantangan dihadapi Suminah dalam menempuh pendidikan, dampak perubahan sosial politik dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga setelah masa republik. Namun, atas dukungan utama dari guru dan keluarganya, Suminah mampu menyelesaikan pendidikan guru sekolah dasar di sekolah guru untuk perempuan di Blitar, Jawa Timur, dan memulai kariernya sebagai guru sekolah dasar setelah masa kemerdekaan hingga tahun 1978.
Suminah menjalani karier sebagai guru dari tahun 1946 sampai dengan tahun 1978. Di antara masa-masa tersebut, yakni pada rentang waktu 1950-an sampai dengan tahun 1970-an, terjadi pertentangan antara penghayat aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan pemerintah juga konflik sosial politik. Aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau aliran kebatinan atau kejawen merupakan religi yang dianut oleh keluarga Suminah.
Ketika konflik yang mempermasalahkan antara agama dengan bukan agama pada tahun 1950-an hingga dikeluarkannya Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang mana konflik tersebut memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September 1965, Suminah dan keluarganya terdampak dianggap sebagai “tidak beragama” karena KWN dianggap sebagai “bukan agama” (Sulani, 2023b).
Antara akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an, upaya membangun komunitas Buddha dilakukan oleh Ciptowardoyo, hingga muncul kebutuhan akan layanan pendidikan agama Buddha bagi anak turunan penghayat KWN dan lainnya. Suminah menceritakan bahwa: “… tadinya semua yang ada ajaran Islam, sekarang setelah muncul Buddha, anaknya tidak mau mengikuti guru Islam. Jadi kita kemudian kita lapor ke Dinas … Lalu, ya sudah Dinas mengajak memberikan supaya anak-anak yang dari Buddha … diajari, nanti saya buatkan surat tugas untuk mereka” (wawancara, 21 September 2019).
Komunikasi tersebut menjadi awal peristiwa dibukanya pendidikan bagi guru agama Buddha melalui Kursus Guru Agama Buddha (KGAB) oleh Ciptowardoyo dan Suminah. Dengan bantuan berbagai pihak, pada tahun 1977 didirikan sekolah Pendidikan Guru Agama Buddha (PGAB) bernama “Mpu Tantular” dan mampu bertahan hingga tahun 1994.
Dari tahun 1974 hingga tahun 1994, sejak menjadi KGAB hingga menjadi PGAB tercatat siswa yang terdaftar di buku induk sekolah tersebut berjumlah 615 orang dan berasal dari berbagai daerah. Namun, tidak semua lulus sebagai calon guru dengan mengikuti ujian negara, sehingga hanya 450 siswa yang lulus dan tersebar di berbagai pelosok tanah air (Sulani, 2023b).
Pada tahun 1976, Sunaryo Agus ditunjuk menjadi kepala sekolah PGAB Mpu Tantular, tetapi tampaknya hanya berlangsung sampai dengan bulan Desember 1977. Setelahnya, Suminah alias Gandawati Dewi berperan sebagai kepala sekolah hingga PGAB tersebut beralih menjadi Sekolah Menengah Ekonomi Atas [SMEA] (Hermawan, wawancara individual, 16 November 2024, dan Suharko, wawancara individual, 16 November 2024). Tampaknya setelah pensiun menjadi kepala sekolah di SD Adisana, Suminah fokus menjadi kepala sekolah dan mengelola PGAB Mpu Tantular.
Sebagai Guru dan Pendidik
Pada masa Ciptowardoyo dan Suminah mengelola KGAB, Suminah tidak hanya membantu suaminya secara teknis, tetapi juga berperan sebagai pengajar. Demikian juga ketika menjadi kepala sekolah PGAB, Suminah juga bertindak sebagai guru atau pengajar bagi para calon guru agama Buddha di sekolah tersebut.
Ketika masih menjadi KGAB, Suminah mengajar tentang Hukum Karma. Dalam mengajar, Suminah menjelaskan bahwa “kalau ibu keterangan itu lah, Karma apa-apa itu, perbuatan baik, ya menurut buku itu saya ngajarnya, ya cara sendiri, misalnya jangka hidup itu dari tahun ke-1 ya buat tongkat 1, 2, 3, 4. Kalau di sini perbuatannya baik, nanti kembali pada ini akan menerima kebaikan begitu …” (wawancara individual, 9 November 2019). Dalam mengajar Suminah tampak melibatkan siswa dalam pembelajaran.
Selain mengajar tentang Hukum Karma, Suminah juga mengajar siswa untuk menyanyikan lagu-lagu kebangsaan (wawancara individual, 9 November 2019). Menurut Kayun (wawancara melalui aplikasi zoom, 24 Desember 2024), siswa PGAB tahun 1983, Suminah mengajar Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha, terutama mata pelajaran Sila, dengan menggunakan panduan buku kecil sebagaimana juga diceritakan oleh Suminah. Mata pelajaran yang disebut diajarkan Suminah tersebut selaras dengan daftar mata pelajaran yang diajarkan di PGAB Mpu Tantular pada semester genap tahun 1988/1989, yakni Saddha dan Sila. Mata pelajaran tersebut menjadi bagian dari Pokok-Pokok Dasar Agama Buddha.
Suminah, sosok perempuan terdidik yang menjadi guru dan kepala sekolah bagi calon guru agama Buddha tersebut, tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendidik. Kayun, siswa PGAB yang lulus tahun 1986 tersebut masih mengingat kesan positif dari Suminah sebagai guru dan kepala sekolah yang menanamkan sikap disiplin dan ketat dari segi waktu dan pakaian kepada siswa-siswanya. Kedisiplinan tersebut ditanamkan Suminah dengan mengarahkan agar siswa datang tepat waktu ketika masuk sekolah dan ketika melakukan ibadah pagi dan sore di vihara. Demikian juga ketika berpakaian, siswa wajib memasukkan baju secara rapi (wawancara melalui aplikasi zoom, 24 Desember 2024).
Karakter positif tidak hanya ditanamkan kepada para siswa yang masih diingat hingga saat ini. Staf tata usaha yang membantunya dalam menyelesaikan administrasi juga menyampaikan bahwa Suminah merupakan guru dan kepala sekolah yang “supel”, tidak galak, dan senang bercanda termasuk dengan guru (Suharko, wawancara individual, 16 November 2024). Kedekatan Suminah dengan para siswa juga tampak dari foto kebersamaan dan keterlibatan Suminah dengan para siswa di kelas maupun di luar kelas.
Dalam mengelola sekolah dari ketika masih menjadi KGAB hingga menjadi PGAB, Suminah bersama suaminya tidak hanya memperhatikan kebutuhan pengetahuan dan keterampilan bagi para siswanya yang akan menjadi calon guru agama Buddha. Ketika telah menjadi PGAB dan atas keprihatinannya terhadap siswa-siswanya, Suminah bersama Citprowardoyo mencari bantuan “… jadi membantu mendirikan PGAB itu muridnya yang sekolah kita carikan bantuan ke sana jauh ke Bandung ke mana saja yang ada umat Buddha, saya mintai bantuannya untuk, untuk apa itu, lestari, jalan, ya lumayan, sana-sana ada yang dari Riau ada yang membantu”. Kesulitan yang dihadapi tidak hanya berasal dari para siswa, tetapi juga guru yang mengajar tanpa digaji, tetapi hanya mendapatkan pengganti biaya transportasi (Suminah, wawancara personal, 9 November 2019).
Kontribusi Nasional dan Penghargaan
Berbagai upaya dan cara Suminah bersama suaminya, Ciptowardoyo dalam membangun pendidikan guru agama Buddha tidaklah mudah. Hal tersebut tampak ketika sebelum menjadi PGAB, para siswa lulusan KGAB menunggu lama untuk mengikuti ujian negara pada tahun 1981 sembari mengajar di pelosok-pelosok daerah (Suminah, wawancara personal, 9 November 2019). Selain itu, dalam masa-masa pendidikan, para siswa juga dikirim ke daerah sekitar di Banyumas sendiri hingga Banjarnegara dan Kebumen untuk melakukan pembinaan kepada umat yang berada di pelosok (Kayun, wawancara melalui aplikasi zoom, 24 Desember 2024).
Berkat usaha tersebut, para siswa yang berasal dari berbagai daerah berhasil dikirim oleh Suminah dan Ciptowardoyo ke daerah lain hingga ke luar Jawa dan tersebar di berbagai provinsi di tanah air (Kayun, wawancara melalui aplikasi zoom, 24 Desember 2024; Suminah, wawancara personal, 9 November 2019).
Berdasarkan perjalanan Suminah dalam mendukung, membantu, dan berperan dalam membangun pendidikan bagi calon guru agama Buddha tersebut, tampak bahwa agensi Suminah, berkontribusi terhadap penyediaan guru agama Buddha. Kontribusi tersebut tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga nasional. Hal tersebut tidak terlepas dari identitas Suminah sebagai perempuan Jawa dari keluarga perangkat desa yang mendapat dukungan untuk mengenyam pendidikan.
Perjalanan hidup Suminah yang didukung penuh oleh gurunya membentuk karakter Suminah sebagai sosok guru yang dermawan. Suminah membantu para siswa untuk mendapatkan pendidikan. Dalam konteks ini, Suminah tidak hanya berperan sebagai seorang ibu dan pendidik, tetapi juga mampu berkolaborasi dengan Ciptowardoyo, suaminya, dalam membangun pendidikan guru agama Buddha dan pendidikan agama Buddha.
Sebagai kesimpulan, peneliti memberikan saran terkait, yaitu: perlunya penghargaan terhadap tokoh lokal yang mampu berkontribusi secara lolak dan nasional seperti Suminah, sehingga kisah perjalanan dan kontribusinya layak didokumentasikan untuk menjadi inspirasi. Perlunya diperbanyak pemberdayaan perempuan dalam pendidikan dan kepemimpinan dan perlunya penguatan pendidikan guru agama Buddha oleh pemerintah dan lembaga pendidikan agama atau keagamaan Buddha dalam mendukung anggaran, pengembangan kurikulum, dan peningkatan kualitas pendidikan guru agama Buddha. Perlunya pendidikan bersifat inklusif dalam kebijakan pendidikan agama sehingga keragaman agama dan kepercayaan tetap dihargai. (JP) ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Keterangan gambar:
Ibu Suminah (duduk), Usia 103 Tahun, (Foto: Juli 2024, oleh Puji Sulani)