Syair-Syair Dhammapada Dalam Studi Semiotika dan Hermeneutika

Home » Artikel » Syair-Syair Dhammapada Dalam Studi Semiotika dan Hermeneutika

Dilihat

Dilihat : 117 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 31
  • 271
  • 82,534
Pic 2 Dhammapada

Oleh: Jo Priastana

 

“Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai makna ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain, ia tak memperoleh manfaat kehidupan suci.” (Dhammapada 19)

 

Semarak Pembacaan 423 syair Kitab Suci Dhammapada dilakukan secara serentak dan nasional oleh 2569 peserta pada 15 Juni 2025. Dalam kegiatan yang diberi nama Vesakha Sananda 2025, dan diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama RI, syair Dhammapada tersiarkan oleh umat Buddha senusantara. Syair Dhammapada mengandung ajaran Buddha seperti: kebahagiaan, penderitaan, kebajikan, maupun jalan tengah.

Pembacaan keseluruhan ayat Dhammapada pastinya didasari oleh penghayatan mendalam akan maknanya. Diharapkan kegiatan pembacaan segenap syair dalam Dhammapada itu dapat menghantar umat Buddha untuk mengenali dan memahami kitab suci Dhammapada dan sekaligus sebagai sosialisasi kegiatan dharma bermutu dan bermakna. Para pembaca syair Dhammapada memperoleh kesempatan untuk merasakan keindahan dan keluhuran makna ajaran Buddha yang terkandung di dalamnya.

Ada pesan dan makna yang terkandung dalam teks Dhammapada yang merupakan tanda ajaran Sang Buddha. Untuk ini, ada relevansi pembelajaran Dhammapada secara semiotika (ilmu tanda) dan hermeneutika (ilmu interpretasi, menemukan makna pesan). Kitab Dhammapada mencerminkan bahasa yang termasuk dalam kebenaran yang bersifat konvensional (samvrti satya/sammuti sacca) dan mengandung pesan kebenaran absolut (paramartha satya/paramattha sacca). Makna luhur ajaran Buddha ini patut dipetik dan diaktualisasikan atau diwujudkan dalam perbuatan yang bermanfaat dalam  kehidupan bersama saat ini.  

 

Kitab Suci Dhammapada

Kitab Dhammapada (Pali untuk “Bait Kebenaran”) adalah sebuah kitab suci Buddhisme sebagai bagian dari Khuddhaka Nikaya dalam Sutta Pitaka, yang merupakan bagian dari Tripitaka Pali sebagaimana dilestarikan oleh Buddhisme Theravada. Kitab ini dikatakan sebagai kitab suci Buddhis yang populer (Busswell, 2003, “rank(s) among the best-known Buddhist texts.” Hlm.11).

Sutta Pitaka dianggap sebagai bagian terpenting dari Tripitaka. Sutta Pitaka berisi lebih dari 10.000 ajaran yang diyakini berasal langsung dari Buddha, dan Dhammapada adalah salah teks yang dihormati. Dhammapada terdiri 423 bait atau syair yang dikelompokkan sesuai dengan topik-topiknya dalam 26 vagga (bab).

Dalam suatu kesempatan pembelajaran semiotika dan hermeneutika, diperlihatkan sebuah analisis secara semiotika dan hermeneutika terhadap bab Citta Vagga (Pikiran) syair Dhammapada 33 dan 34. Kajian ini dilakukan oleh mahasiswa semester 2, Institut Nalanda prodi Pendidikan Keagamaan Buddha, Kusmi dan Santoso Japar (31/5/25). Kajian memperlihatkan citta atau pikiran sebagai simbol atau tanda yang terdapat dalam teks Dhammapada tersebut, yaitu sebagai pemanah (meluruskan pikiran) maupun ikan yang terlempar ke darat (keliaran pikiran).

Citta adalah pikiran atau kesadaran mental yang menjadi dasar semua tindakan dan pengalaman. Vagga adalah “Bab” atau bagian dalam Dhammapada yang berisi ajaran Buddha tentang pentingnya mengendalikan pikiran dimanapun berada untuk mencapai kebahagiaan dan pembebasan. Aktualisasi pemahaman kebenaran dari kisah dalam syair itu mengajarkan kita bahwa pikiran manusia cenderung tidak stabil dan mudah terganggu oleh berbagai hal. Namun, dengan latihan meditasi yang tekun dan bimbingan yang tepat, seseorang dapat mengendalikan dan menenangkan pikirannya. Hal ini penting dalam perjalanan spiritual untuk mencapai pencerahan.

 

Pemanah dan Ikan Yang Terdampar

Dalam bab Citta Vagga (Pikiran) Dhammapada juga terdapat catatan komentar dan penjelasan (atthakatha) mengenai latar belakang terjadinya syair tersebut. Dikatakan bahwa cerita syair ini berasal dari “Kisah Meghiya Thera”. Pada suatu waktu, ketika Meghiya Thera menghadap kepada Sang Buddha dan tinggal beberapa waktu di sana.

Pada suatu kesempatan, dalam perjalanan pulang setelah menerima dana makanan, Meghiya Thera tertarik pada hutan mangga yang menyenangkan.  “Hutan ini demikian indah dan tenang, cocok untuk berlatih meditasi,” demikian pikirannya. Setibanya di vihara, ia segera menghadap Sang Buddha dan menerima izin agar diperbolehkan pergi ke sana.

Mulanya, Sang Buddha meminta dia agar menundanya untuk beberapa waktu, karena dengan hanya menyenangi tempat saja tidak akan menolong memajukan meditasi. Tetapi Meghiya Thera tetap pergi ke hutan mangga, duduk di bawah pohon dan berlatih meditasi. Namun dalam meditasi pikirannya berkeliaran terus tanpa tujuan dan sukar berkonsentrasi. Sore harinya, dia kembali dan melapor kepada Sang Buddha kemudian bertanya mengapa sepanjang waktu pikirannya dipenuhi nafsu indria, pikiran jahat dan pikiran kejam (kama vitakkam, byapada vitakka, dan vihimsa vitakka). Atas pertanyaan ini, Sang Buddha kemudian membabarkan syair 33 dan 34.

Citta Vagga Syair 33 berbunyi: “Phandanam capalam cittam. Durakkham dunnivarayam. Ujum karoti medhavi. Usukaro va tejanam.” yang artinya: “Pikiran itu mudah bergetar dan tidak stabil. Sulit dijaga dan sulit dikendalikan. Tetapi orang bijaksana dapat meluruskannya. Seperti tukang panah yang meluruskan anak panah.”  Pikiran, meskipun secara alami gelisah, bisa dilatih dan dijinakkan.

Seorang bijaksana atau seseorang yang memiliki kebijaksanaan, disiplin, dan ketekunan akan mampu mengarahkan pikiran menjadi lurus dan stabil, seperti tukang panah yang meluruskan kayu untuk membuat anak panah. Ini adalah ajaran penting dalam Budhadharma tentang pengendalian dan pelatihan pikiran untuk mencapai kebijaksanaan dan pembebasan.

Citta Vagga Syair 34 berbunyi “Varijo va thale khitto, okamokata ubbhato. Pariphandatidam cittam. Maradheyyam pahatave.” yang artinya: “Seperti ikan yang dilempar ke daratan menggeliat ketika keluar dari air. Demikian pula pikiran ini menggeliat, hendaknya ditinggalkanlah kekuasaan Mara.” Bait ini menggambarkan betapa gelisah dan tidak tenangnya pikiran, seperti ikan yang terlempar ke daratan, ia terus menggeliat karena kehilangan tempat asalnya (air).

Dalam analogi ini, “pikiran” keduniawian (seperti ikan lepas dari air) akan bergolak, sulit dikendalikan. Oleh karena itu, untuk mencapai ketenangan batin, seseorang harus melepaskan diri dari pengaruh mara (simbol atau tanda dari kekotoran batin, nafsu, dan kemelekatan duniawi). Ini merupakan ajakan atau makna pesan (hermes) untuk melatih pengendalian diri dan meninggalkan kekuasaan mara agar bisa menuju pencerahan.

 

Semiotika dan Hermeneutika  

Hermeneutika (hermes: dewa pembawa pesan dalam mitologi Yunani) adalah ilmu interpretasi tentang upaya menangkap pesan yang terkandung dalam teks. Teks Dhammapada bisa diberlakukan sebagai tanda (semeion). Semiotika dan hermeneutika sebagai studi filsafat bahasa juga memperlihatkan adanya hubungan Buddhadharma dengan bahasa. Bahasa menjadi bagian yang penting dalam ajaran Buddha dimana bahasa seperti dalam teks Dhammapada yang merupakan kebenaran berdasarkan kesepakatan (samvrti satya/sammuti sacca) merupakan tanda- yang mengandung makna kebenaran yang sesungguhnya (paramartha satya/paramattha sacca).

Teori semiotika Ferdinand de Saussure (lahir di Jenewa tahun 1857) tentang tanda bahasa mengemukakan dua segi tanda, yaitu siginifier dan signified. Signifier merupakan suatu bentuk penanda, sedangkan signified adalah sebuah ide atau petanda. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda. Petanda dan penanda merupakan suatu faktor linguistis (Kaelan: 2009).

Teks-teks Dhammapada sebagai tanda bahasa merupakan konsep (signifier) yang tidak bisa dipisahkan dari maknanya (signified). Untuk menangkap makna atau pesan yang terkandung dalam teks Dhammapada, diperlukan pendekatan hermeneutika yang memiliki karakter sebagai paradigma interpretatif. Hermeneutika merupakan salah satu metode dalam filsafat bahasa dan secara etimologis kata hermeneutic berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos dari kata “hermeneuo” yang berarti interpretasi.

Kata hermeneutic itu sendiri diartikan sebagai usaha mengalihkan dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa yang maknanya lebih jelas (Sumaryono, 1993: 23-24). Dalam The Concise Oxford Dictionary of Current English (1954: 562), hermeneutika yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris hermeneutic memiliki arti interpretasi dari sesuatu (of interpretation).

Hermeneutika dalam sejarahnya juga berkenaan dengan interpretasi terhadap teks kitab suci (interpretation especially of Scripture), yang dipelopori oleh Friedrich Schlemaicher (1768-1834), tokoh penting dalam sejarah hermeneutika modern, terutama dalam konteks dan pemahaman teks agama dan tulisan. Schlemaicher dikenal sebagai “Bapak Hermeneutika” yang menekankan hermeneutika sebagai “seni memahami” (the art of understanding).

Hermeneutika juga dikenal dalam Buddhadharma. Hermeneutika Buddhis adalah interpretasi teks ajaran Buddha yang mencakup kegiatan menguraikan langkah-langkah dalam menginterpretasikan, memahami serta melaksanakan ajaran Buddha secara bertahap dan berkesinambungan. Mulai dari hal-hal mendasar dan bersifat konkret konvensional (samvrti/sammuti) sampai hal-hal tertinggi dan bersifat abstrak transenden (paramartha/paramattha).

Hermeneutika (hermeneutic) dalam bahasa Pali adalah anuvada atau anuvadayatta (Buddhadatta Mahathera, 1979: 245). Anuvada (berasal dari kata kerja anuvadati) yang artinya menyalahkan (blaming), mencela (censure), memberi peringatan (admonition), sedangkan kata vadanuvada diartikan sebagai percakapan (talk), dan percakapan kecil atau tambahan (lesser or additional talk) (Davids & Stede, 1986:42). Hermeneutika merupakan suatu percakapan dalam bentuk catatan tambahan yang diberikan (komentar atau tafsir) terhadap suatu teks atau kalimat yang terdapat dalam kitab suci (Tipitaka) (P.33-34) juga dalam kitab Dhammapada.

 

Makna Pesan dan Aktualisasi

Analisis semiotika dan hermeneutika berkenaan dengan tanda dan makna. Pikiran dalam Dhammapada syair 33-dan 34 adalah sebagai tanda. Dalam semiotika, pikiran dapat dianggap sebagai tanda yang memiliki makna tertentu. Dalam simbolisme pikiran itu, pikiran yang tidak terkendali diibaratkan seperti ikan yang dilempar ke darat. Ikan yang dilempar ke darat ini pun adalah sebagai simbol pikiran yakni ketidakstabilan pikiran, dan mengandung makna tersembunyi yakni ajakan untuk mengendalikan pikiran.

Pengendalian pikiran merupakan kebutuhan untuk mencapai kedamaian batin dan kebahagiaan. Konstruksi makna itu melibatkan interaksi tanda yang mengandung makna. Kesimpulan yang bisa didapatkan dalam pembelajaran syair Dhammapada tersebut, menyatakan bahwa pikiran memiliki makna dapat berubah seiring dengan latihan dan pemahaman yang mendalam.

Interpretasi secara hermeneutika adalah upaya pemahaman terhadap teks, dalam hal ini interpretasi ayat Dhammapada syair 33-34. Syair dalam Dhammapada itu dapat diinterpretasikan untuk memahami ajaran Buddha tentang pikiran. Patut juga diperhatikan konteks historis dan konteks masa kini berkenaan dengan aktualisasi. Pemahaman teks juga memerlukan pengetahuan tentang konteks historis dan budaya pada masa ajaran tersebut diberikan, serta konteks masa kini sebagai aktualisasi relevansi makna untuk dunia atau audiens masa kini.

Proses hermeneutika merupakan aktivitas dalam dialog teks dengan konteks, baik konteks historis maupun konteks masa kini. Proses hermeneutika melibatkan dialog antara pembaca dengan teks untuk menggali makna yang lebih dalam, dimana pembaca akan melakukan refleksi diri, yakni merenungkan ajaran dalam teks dan mengaitkannya dengan pengalaman pribadi untuk pemahaman yang lebih kaya dan relevansi di masa kini berkenaan aktualitasnya dalam realitas yang mengandung kebenaran.

Ada dua tingkatan realitas, yaitu kebenaran umum atau kebenaran relatif yang bersifat konvensional (samvrti satya/sammuti sacca) dan Kebenaran Mutlak (paramartha satya/paramattha sacca). Istilah samvrti (meliputi dan menghalang) atau sammuti (sesuatu yang meliputi). Suatu konsep dipandang menyerupai kulit luar yang meliputi suatu inti, keadaan yang sebenarnya. Kebenaran Mutlak adalah sesuatu yang ditutupi oleh konsep konvensional (Kalupahana, 1986: 112).

Bahasa pada dasarnya adalah konvensi (samvrti satya/sammuti sacca), namun mengandung kebenaran esensial (paramartha satya/paramattha sacca). Dalam konteks inilah, pembelajaran Dhammapada secara semiotika dan hermeneutika itu menemui relevansinya, yakni bagaimana teks-teks Dhammapada yang terumuskan melalui bahasa dengan segala hukum dan tata bahasa yang bersifat konvensi (samvrti satya/sammuti sacca), hendak diungkap maknanya atau pesan yang dikandungnya, pesan makna luhur esensial dan absolut (paramartha satya/paramattha sacca).

Kegiatan mengenali kandungan makna yang sesungguhnya atau pesan esensial yang terdapat teks (semiotika) itu memerlukan hermeneutika (interpretasi, penfasiran). Semiotika sebagai ilmu tanda dan hermeneutika sebagai ilmu interpretasi merupakan peralatan metodis yang terdapat dalam filsafat bahasa untuk dapat mengungkapkan pesan esensial, seperti kebenaran sejati dalam syair-syair Dhammapada.

Studi semiotika dan hermeneutika menyebutkan segi tiga tanda yang terdiri dari representasi atau tanda itu sendiri dalam hal ini teks Dhammapada, kemudian konteks historis seperti dalam keterangan tambahan sebagai konteks historis dimana teks Dhammapada itu muncul (atthakatha) dan juga menegaskan pentingnya konteks masa kini dimana pesan dan makna berfungsi untuk diaktualisasikan dalam perbuatan, realitas kehidupan masa kini.

Pesan kebenaran dhamma yang terkandung dalam teks-teks Dhammapada dapat kita nikmati dalam Vesakha Sananda 2025. Pemahaman yang menyentuh kebenaran esensial syair Dhammapada yang dicapai oleh sang pembaca Dhammapada akan terdengar merdu dan menyentuh hati-sanubari pendengarnya.

Suara merdu yang mungkin dengan irama dan nada tersendiri, hasil dari penghayatan mendalam dan terjadinya transformasi batin pembaca. Nada merdu yang keluar dari suara hati, hati Buddha, kebenaran dhamma sehingga mampu menyentuh hati pendengar dan mengajaknya pendengar mengaktualisasikan pesan kebenaran (paramartha/paramattha) dalam konteks kekinian. Pesan atau makna dhamma yang mewujud dalam realitas kehidupan, dalam perbuatan yang bermanfaat bagi dunia kehidupan bersama. (JP) *** 

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber gambar: Meta AI

 

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?