Tak Ada Pendidikan Yang Sebatas Marketing

Home » Artikel » Tak Ada Pendidikan Yang Sebatas Marketing

Dilihat

Dilihat : 61 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 1
  • 89
  • 23,131

Oleh: Jo Priastana

 

“Pendidikan dan pengajaran di dalam Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan hidup batin serta kesejahteraan hidup lahir” (Ki Hajar Dewantara, 1889-1959, Bapak Pendidikan Nasional)

 

Tengah terjadi suatu antithesis kebudayaan dimana spiritualisme telah digantikan materialisme, semesta yang bersifat organik digantikan yang mekanik; kesadaran (consciousness) digantikan rasionalitas; komunalisme digantikan individualitas. Dunia berjalan dalam kebalikannya dimana idealisme tergadai, dan dunia pendidikan sekedar menjadi kemasan komoditi yang hanya bagaimana dapat menjual, sekedar marketing yang mengabaikan filosofi pendidikan tentang bagaimana membangun proses pendidikan itu sendiri.

Joseph Heath dan Andrew Potter dalam “The Rebel Sell” (Capstone Publishing Limited, 2006), meguraikan bagaimana militansi kebudayaan perlahan-lahan pudar, perlawanan melunak, idealisme tergadai. Yang membuat kebudayaan luntur tidak lain adalah konsumerisme-hedonisme. Konsumerisme dan hedonisme yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalisme hanya menciptakan konformisme demi kekayaaan material, demi popularitas dan kebahagiaan semu.

Hampir segala lini kehidupan telah didagangkan dalam keseragaman, menjadi komoditi. Cita-cita kerakyatan, hukum dan keadilan, pendidikan tidak lebih telah menjadi dagangan laris manis, juga yang bernama agama, dan pendidikan, karena semua telah dipaketkan dalam bahasa marketing. Uang menjadi ukuran segala hal. Tak ada guru, tak ada statesmanship, tak ada romo, tidak ada leader, yang ada hanya dealer dan para sales marketing.

 

Ancaman Fondasi Sistem Pendidikan

Media menciptakan dewa yang mereka sembah-sembah yakni “crazy rich”, dan mencari kesempatan untuk keuntungan dan kekayaan semata. Tiada hari tanpa pemberitaan kekayaan, dan kekuasaan, komoditi berbagai segi kehidupan dan konformisme gaya hidup. Iklan tawaran kehidupan materialistis hedonis menghantui masyarakat dewasa ini termasuk meresak dalam cita-cita pendidikan.

Dunia pendidikan tidak lagi menjadi kebudayaan untuk menciptakan orang terdidik dan terpelajar dengan budi pekerti dan karakter bangsa, dan tekun dalam marwah berilmu pengetahuan tapi bagaimana menjadikan pendidikan sekedar kemasan untuk laku di pasaran. Fondasi sistem pendidikan tengah menjalani keruntuhannya.

Sistem pendidikan seharusnya, idealnya mengutamakan kemanusiaan, menjaga kesadaran berbudaya sekalipun berada di jalan sunyi sang intelektual. Bila sistem pendidikan nyatanya dewasa ini telah keluar jauh dari koridor kebudayaan dan sekedar menjadi komoditi dagangan, maka sistem pendidikan Indonesia seperti itu harus dikembalikan kepada fondasi awalnya seperti:  mengusung semangat keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan, idealisme, karakter bangsa, kecerdasan spiritual.

Sayangnya sistem pendidikan yang diterapkan saat ini justru lebih mengarah pada kepentingan individu, cenderung kompetitif, dan berkiblat pada kepentingan ekonomi serta industri. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, maka kaum marjinal akan kian terpinggirkan. Hal itu mengemuka dalam diskusi yang digelar Dewantara Institute, Senin (28/3/2022), dengan tema “Dari Pendidikan Multikultur sampai Merdeka, Di Mana Pendidikan Inklusif?”.

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo Sitepu memulai diskusi dengan kutipan Ki Hajar Dewantara: “Ketika kita bicara tentang kebangsaan, kita bicara tentang kemanusiaan”. Dari pernyataan tersebut ada tiga hal penting yang tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan di Indonesia, yakni keberagaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Nyatanya, sistem pendidikan Indonesia saat ini seakan sudah berbalik arah dan tidak lagi mengedepankan ketiga hal itu, tetapi berkiblat pada kepentingan ekonomi semata yang merendahkan martabat dan aspek kemanusiaan. Padahal, dalam mendidik seorang anak, kemandirian adalah salah satu hal yang penting, kemanusiaan adalah yang utama. Arahnya bagaimana menjadikan mereka sebagai insan yang mandiri sekaligus tetap berwawasan kebangsaan dan peka terhadap kemanusiaan.

Ilmu hanyalah alat, tetapi pada akhirnya yang dibutuhkan adalah kepekaan untuk mengedepankan nilai kebangsaan dan kemanusiaan dan menyadari bahwa setiap individu memiliki kemampuan, fungsi, dan peran masing-masing untuk berkontribusi dalam kehidupan berbangsa. Terasa banyak tenaga pendidik telah melupakan hal itu. Kondisi itu muncul karena desakan materi ajar, cara ajar dalam kontrol teknologis yang tak ada lagi kebebasan, kreativitas dan kehidupan materialisme yang melupakan konsep penting dari filosofi dan sistem pendidikan di Indonesia.

Namun begitu, kita juga masih optimistis ada guru-guru yang masih memiliki pola pikir kebangsaan, keberagamam, dan kemanusiaan. Tugas pemerintah untuk mencari dan mendorong mereka untuk terus mengasah kemampuan dan menerapkannya pada peserta didik. Peserta didik adalah garda masa depan bangsa, penjaga martabat bangsa dan kebudayaan, karakter bangsa dengan menjunjung nilai-nilai ideal kemanusiaan dan jauh dari sikap-sikap dangkal yang bersifat semu, materialistik, kepentingan jangka pendek.

 

Dalam Ancaman Tekno-Kapitalisme

Ancaman terhadap dunia pendidikan juga disadari oleh para pemikir Buddhis, diantaranya Sulak Sivaraksa. Sulak Sivaraksa, nominasi nobel prize ini menilai pembangunan di negara-negara berkembang didominasi oleh sistem kapitalisme yang membiarkan tumbuhnya materialisme dan keserakahan. Sistem kapitalisme ini yang sejalan dengan ilmu pengetahuan material yang telah merasuki berbagai bidang kebudayaan dan sendi-sendi kehidupan. (Sulak Sivaraksa: 2013:93-94)

Menurut pemikir Buddhis dari Thailand ini, teknologi dan kapital itu sangat terkait. Kemajuan teknologi menentukan arah kompetisi dan pertumbuhan kaum kapitalis. Proses mekanisasi dan komoditasi bergerak maju secara bersamaan. Ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan mandiri menjadi rapuh rusak karena masyarakat lokal didorong untuk memproduksi demi kebutuhan pasar internasional ketimbang untuk kebutuhan komunitas mereka sendiri, dan pendidikan masuk perangkap memproduksi SDM untuk sistem seperti itu.

Tidak hanya di dunia pendidikan yang hanya menghasilkan manusia serakah, materialistis dan koruptif, sistem pembangunan yang bersifat materialisme dan eksploitatif itu juga mengancam kerusakan alam dan lingkungan. Hutan tropis dan terumbu karang dirusak atas nama pembangunan. Usaha agribisnis, manufaktur industri, persenjataan nuklir, dan pembuangan beracun mencemari tanah, udara, dan air. Pembendungan sungai merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat, termasuk budaya dan kearifan lokal tradisional mereka.

Modernisasi membuat masyarakat mudah untuk dimanipulasi dan dikontrol. Tekno-kapitalisme pada akhirnya menjadi sesuatu yang tidak logis. Ia merusak keutuhan alamiah dari kehidupan planet ini dan mengancam kelangsungan hidup kita sendiri. (Sulak Sivaraksa: 2013:93-94).

Sistem kapitalisme juga membangkitkan keterasingan, ketidakpercayaan, keserakahan serta ketakutan di dalam masyarakat. Dunia pendidikan seharusnya menyadari fenomena yang sedang terjadi ini dan dapat mengembalikannya sesuai dengan hakekat, filosofi dan fondasi sistem pendidikan yang bersumber pada kearifan bangsa. Dunia pendidikan nyatanya tak lepas dari ancaman tekno-kapitalisme yang justru sangat jauh dan berkebalikan dari sistem pendidikan Buddhis.

 

Filosofi Pendidikan Buddhis

Filosofi pendidikan Buddhis menurut Sulak Sivaraksa (Sulak Sivaraksa, 2013: 57), berakar pada keutuhan manusia dimana kecerdasan dan emosi harus berkembang secara bersamaan, dan praktiknya harus sejalan selaras dengan kehidupan masyarakat, serta memfasilitasi pemahaman tentang kehidupan dan dunia yang tidak ternoda oleh prasangka ataupun keegoisan. Pendidikan juga mengandaikan kebebasan, baik kebebasan fisik, sosial maupun kebebasan batin.

Untuk itu, filosofi pendidikan pendidikan Buddhis dimulai dengan pertanyaan tentang hakikat kemanusiaan. Apa makna manusia? Apa makna kehidupan? Apa sifat dasar dari diri manusia? Apa tanggung jawab manusia dalam kehidupan dan terhadap sesama? Buddhisme tidak memisahkan kehidupan dari pendidikan dan justru kehidupan adalah sebuah pendidikan. (Sulak Sivaraksa, 2013:53). Pendidikan mengusir akar keserakahan yang bersarang di dalam diri manusia, Keserakahan yang nyatanya dipupuk dalam sistem kapitalisme dan bersarang dalam pendidikan saat ini.

Filosofi pendidikan Buddhis mengungkapkan tentang terbebasnya manusia dari ketidaktahuan yaitu ketidaktahuan tentang diri dalam kehidupan. Untuk itu, Buddha mengajarkan mengenai tiga ruas pelatihan (tisikkha), yaitu kebijaksanaan (pañña), etika dan moralitas (sila), dan konsentrasi (samadhi). (Sulak Sivaraksa, 2013: 57). Sila, samadhi dan pañña justru menjauhkan orang dari keserakahan, kebodohan dan kemelekatan terhadap materialisme dan hidup hedonis maupun popularitas keakuan yang semu.

 Filosofi pendidikan Buddhis menekankan pada kebijaksanaan yang terangkum dalam istilah pañña atau prajna yang mencerminkan pandangan benar. Kebijaksanaan sejati mengusir kebodohan batin, menggantikan keserakahan menjadi murah hati dan kebencian menjadi cinta kasih. Tercapainya pemahaman ini berbaur dengan kewelas-asihan dan menolong sesama makhluk menjadi tujuan pribadi yang tak pernah berhenti. (Sulak Sivaraksa 2013:15).

 

Fondasi Sistem Pendidikan Nasional

Kita simak pula bagaimana pendidikan nasional masa sekarang. Pendidikan menurut UU Sisdiknas Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Jelas bahwa pendidikan akan memerdekakan anak didik karena dapat mengembangkan potensi dirinya yang sangat diperlukan bagi dirinya, bangsa dan negara. Belum lama ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga meluncurkan Kurikulum Prototipe sebagai Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Belajar pada 11 Februari 2022.

Peluncuran kurikulum merdeka belajar ini sejalan dan diharapkan dapat mengisi apa yang menjadi cita-cita pendidikan dari tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Bagi bapak pendidikan nasional ini, tujuan Pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia Merdeka, selamat raganya sehat jiwanya. Selamat dan bahagia, survive dan happy, karena kita semua mencari keselamatan dan kebahagiaan dan pendidikan memerdekakan manusia, menghasilkan manusia yang selamat dan bahagia.

Pendidikan yang memerdekakan mencakup filosofi Tri Rahayu: memajukan dan menjaga diri, memelihara dan menjaga bangsa, memelihara dan menjaga dunia. Semua itu terhubung dan semuanya berkontribusi pada kepentingan yang lebih besar. Everything is connected. Semua itu terhubung dan dimulai dari kita masing-masing. Memerdekakan satu orang adalah langkah awal memerdekakan satu keluarga. Memerdekakan satu keluarga langkah awal memerdekakan daerah. Memerdekakan daerah langkah awal memerdekakan bangsa.

Pendidikan merdeka belajar ini juga jauh dari pengaruh sistem kapitalisme dan kontrol teknologis. Sistem pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan luhur menjauhkan anak didik untuk menjadi manusia yang serakah, bodoh batin dan miskin spiritual. Karenanya, sistem pendidikan yang menumbuhkan segenap aspek-aspek luhur manusia itu harus terus dijaga dan dipelihara. Dalam sistem pendidikan yang berbasis pada kebudayaan bangsa didalamnya terkandung proses pendidikan, proses humanisasi manusia yang berbudaya dan beradab.

 

Menjaga Proses Humanisasi

Manusia adalah subyek bukan obyek begitu pula anak didik. Pendidikan bukan sekedar barang dagangan, komoditi yang dikemas dan disilaukan oleh jargon-jargon marketing. Filsuf pendidikan Ivan Illich dalam buku berjudul Descholling Society (1971) juga mengingatkan bahwa dalam dominasi sistem kapitalisme, sekolah menjadi sarana pembodohan terselubung dan mengacaukan proses pendidikan yang substansial!

Akankah memang telah tidak ada lagi proses pendidikan yang substansial, yang telah berganti menjadi aktivtas marketing semata sebagai upaya transaki dagang yang hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditi dan kemasan? Kalau begitu celakalah bangsa ini. Benarlah peringatan dari para pendiri bangsa untuk: “jangan main-main dengan pendidikan”.

Untuk itu, selagi matahari bersinar dan rembulan bercahaya, selagi ibu bapak guru masih berdiri di depan kelas, biarkanlah cahaya pengabdian dan sinar dedikasi tetap terus menerangi ruang-ruang kelas. Teruslah berjalan dalam koridor memajukan pendidikan sebagai sebuah proses kebudayaan, pencerdasan akal sehat, pencerahan budi untuk pembangunan bangsa dan kemajuan peradaban dunia demi kelanjutan dan masa depan generasi bangsa yang berkualitas! (JP) ***

 

 

  • REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
  • REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH).
  • SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)

 

https://lancangkuning.com/post/35008/manajemen-pemasaran-pendidikan.html

Butuh bantuan?