Oleh: Majaputera Karniawan
Rupang/pratima/Kimsin (Jinshen 金神, Lit: Emas Dewa) secara harfiah berarti perwujudan tokoh suci atau dalam bahasa yang agak kasar namun mudah dimengerti adalah Patung/figurasi dewa dewi. Keberadaan kimsin sebagai objek pujaan menjadi satu kebutuhan spiritual bagi salutasi-afeksi umat kepada tokoh pujaan dalam Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, maupun agama tradisional Tionghoa. Sebelum adanya patung, masyarakat tionghoa menggunakan Sinci 神主/Sincupan 神主牌 (Lit: Papan nama dewa) sebagai objek penghormatan.
Adapun rupang/kimsin/sinci tersebut sebelum menjadi objek pemujaan (Puja [Pali] disini merujuk pada penghormatan, tanda/simbolisasi daripada sosok/figur yang dihormati) akan dilakukan semacam upacara inisiasi pengukuhan yang biasa disebut Kai Guang 開光 (Lit: Membuka cahaya) ataupun ada yang menyebutnya Khai Kuang, Kai Kong, dan sebagainya.
Inisiasi diperlukan sebab orang tionghoa memiliki keyakinan bahwa berlaksa benda memiliki kesadaran, maksudnya apapun bendanya menyimpan energi hasil kesadaran pembuatnya. Seperti tembok rumah sakit dengan tembok sekolah, meskipun dibuat sama-sama dengan semen dan teknik sipil yang sama, tetap saja akan terasa beda karena yang satu terus mendapatkan ratapan dan tangisan dari pasien dan keluarganya, sementara yang lain penuh keceriaan akan siswa-siswi belajar.
Demikian juga rupang dewa-dewi dibuat oleh pengrajin yang berbeda-beda dengan emosi dan kematangan batin berbeda, jika mereka membuat dalam keadaan emosi tidak menutup kemungkinan energi kebencian dapat turut tersimpan dalam rupang tersebut sehingga perlu dilakukan inisiasi. Di India kuno berdasarkan catatan It Tsing (Yi Jing) yang ditulis antara tahun 710-712 Masehi, tidak dikenal upacara inisiasi untuk objek pujaan seperti rupang atau lukisan Buddha, kala itu mereka memilih memasukan 2 jenis benda (sarira) ke dalam rupang, kalau tidak relik Buddha, gantinya sebuah gatha ajaran Buddha yang ditulis di kertas, dinamakan Gatha Paticcasamuppada, yang isinya:
‘Ye dharma hetuprabhavastesham hetum tathagata uvaca /Tesham ca yo nirodha evamvadi mahasramanah’ – Semua keberadaan mempunyai sebab. Tathagata telah menjelaskan sebab-sebabnya. Hilangnya sebab-sebab tersebut Juga telah diterangkan oleh Mahasramana (Buddha).’ (Dalam Takakusu, 2014: 296-297).
Dikatakan oleh It Tsing, dengan kita menaruh kedua sarira tersebut di dalam rupang, potensi-potensi positif yang diperoleh akan berlimpah, dalam sutra-sutra dikatakan bahwa potensi-potensi positif yang dihasilkan dari membuat patung atau cetiya adalah tak terkatakan, sekalipun seseorang membuat sebuah patung sekecil butiran jali, atau sebuah cetiya (sarana pemujaan) kecil seukuran jujube, dan meletakkan sebuah gambar yang bulat, atau sebuah tongkat seukuran peniti kecil, dia menciptakan sebab khusus untuk terlahir di alam yang baik! Dikatakan potensi positifnya tak terbatas bagaikan tujuh lautan, dan potensi positifnya tetap ada selama empat kelahiran mendatang (Takakusu, 2014: 297-298). Pada masa itu semua orang bisa membuat benda pujaan/cetiya selama memiliki bahan bahan sekalipun terbuat dari batu atau bahkan permata.
Dalam perkembangannya muncul istilah pengukuhan (Abhiseka) yang mana tujuannya bukan pada klenik tetapi pengukuhan atau inisiasi kepada masyarakat atau umat di sekitar bahwa patung/lukisan tersebut telah dinyatakan sebagai objek/benda pujaan, seringkali ritual Buddhabhiseka (pengukuhan rupang Buddha) sebagai bentuk salutasi agar umat lebih menghayati sifat luhur Tiratana, Buddha-Dhamma-dan Sangha (Dhammadhiro, 2012: 40-43).
Setiap agama tradisi Tionghoa memiliki cara khaikuang nya tersendiri dan biasanya dipimpin oleh Bhikkhu, suhu, Daozhang, Taosu, bahkan Kitong/Tangsin. Namun tidak semua tempat ada pemuka agama dan tidak semuanya mengetahui tata cara inisiasi/khai kuang, terlebih banyak cara yang bisa digunakan pun berbeda-beda. Cara ini untuk rupang/kimsin baru yang bisa dilakukan umat awam tanpa perlu menghubungi Tatung/suhu karena tidak semua daerah memiliki tatung/suhu). Caranya sebagai berikut:
- Sebuah patung/rupang (kimsin)/sinci baru, setelah dibeli dari toko sebaiknya dengan cepat tutup bagian mata (atau kalau mau bagus bagian wajahnya juga) dengan kertas/kain/pita warna merah sebelum dibawa ke wihara terdekat. Mengapa? Agar meminimalisir kimsin terkena hawa/energi negatif selama perjalanan.
- Beberapa orang cenderung memandikan kimsin dengan cahaya matahari dengan pantulan kaca patkua atau merendam kimsin dengan air garam selama sehari semalam (ini saran dari seorang Bhikkhu) semuanya sah sah saja dilakukan selama yakin, tujuannya untuk menetralkan hawa negatif yang terlanjur bersemayam di dalam kimsin, jika tidak memungkinkan untuk dilakukan lanjut saja ke langkah nomor 3.
- Cari wihara/kelenteng terdekat, gunakan pak pwee/sinpoi untuk menanyakan pada dewa di kelenteng bahwa saya mau Thiam Khai Guang kimsin dewa (sebut nama dewanya, kalau bisa kimsin yang mau di Khai Kuang sama dengan dewa yang ada di altar wihara) dengan cara menyemayamkan (ditaruh menginap) dialtar ini, jika dewa setuju tolong kasih siopwee.
- Setelah siopwee mintalah Thiam air di botol untuk campuran air saat memandikan kimsin. Kemudian tanyakan pada dewa berapa lama kimsin harus disemayamkan memakai pak pwee lagi (biasanya sih siopwee selama ½ atau 1 bulan) dan tentukan tanggalnya juga kapan kimsin bisa ditaruh untuk thiam Khai Kuang (dengan pak pwee juga)
- Saat tanggal yang ditentukan, siapkan nampan dengan bedong kain dan hiolo/tempat tancap hio untuk membawa kimsin ke wihara/kelenteng. Bawa juga bunga wangi untuk memandikan rupang/kimsin (Pilih salah satu, biasanya: Bunga 7 rupa, bunga setaman, melati, mawar, bebas apa saja asal layak). Jika ada campurkan daun Miyana hijau (daun machoi). Pinjam baskom sama wihara, campurkan air yang sudah di thiam, cukup separuh saja, dengan daun machoi, bunga, dan minyak wangi, gunakan untuk memandikan kimsin baru, setelahnya gunakan handuk bersih untuk menyeka sisa air yang tertinggal di kimsin. Thiam hio kepada dewa lalu letakkan kimsin di altar wihara selama waktu yang telah di tentukan.
- Sehari sebelum pengangkatan kimsin, air Thiam yang masih tersisa dicampur dengan bunga, minyak wangi dan daun machoi bila ada, gunakan untuk membersihkan altar yang akan digunakan untuk penempatan kimsin baru. Tujuannya agar altar bebas dari hawa negatif.
- Saat hari pengangkatan kimsin, Thiam hio sama dewa wihara, ambil sedikit abu dari altar dewa dan campurkan dengan abu di hiolo rupang dewa yang sudah di thiam Khai Kuang (ini namanya turun abu) setelah itu berikan dana wisit (besarnya sukarela) kepada wihara juga biokong yang sudah merawat kimsin selama disemayamkan di wihara, tujuannya agar semuanya lancar dan peng an. Kemudian alasi nampan dengan kertas emas toa Kim, letakkan hiolo dan kimsin di nampan, bedong dan bawa kerumah altar baru dengan hio yang tetap menyala (usahakan jangan sampai putus).
- Setelah tiba di altar baru, alasi kimsin dan hiolo dengan kertas emas toa Kim, kaki altar dengan kertas siu Kim, dan berikan persembahan air, buah, atau kue semampunya saja. Mulailah melakukan sembahyang pada Thian baru kepada dewa yang baru tiba di rumah. Jika ada mantra/kengnya boleh dipanjatkan. Selamat, mulai sekarang anda punya altar baru di rumah, jangan lupa rutin sembahyang dan liamkeng/baca paritta/baca mantra.
Catatan:
- Kertas toa kim 大金 (emas besar) atau siu Kim 小金 (emas kecil) untuk alas sebaiknya nomor ganjil, biasanya paling sedikit 3.
- Ini prosedur sederhana, jika mau tambah persembahan lain seperti Jinhua/kimfa/kimhua 金花 (Bunga emas), bola merah/Ang Kiu 红球, dll dipersilahkan sesuai kemampuan.
Daftar Pustaka
Dhammadhiro, Bhikkhu. 2012. BUDDHARÛPA, “Bagaimana Buddhis Menyikapi Objek Pujaan”. Sammasayambhu.
Tokusasu, J. 2014. Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma Dari Lautan Selatan. Jakarta. Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.