Oleh: Jo Priastana
“We are all in the gutter, but some of us are looking at the stars”
(Oscar Wilde 1854, 1900, Novelis, Dramawan, Penyair)
Sebulan sebelum Hari Musik Sedunia atau “World Music Day” yang jatuh pada 21 Juni, grup band ternama asal Inggris, Coldplay yang baru akan manggung di Stadion Bung Karno, Senayan, Jakarta pada 15 November 2023 telah membuat heboh masyarakat Indonesia. Selain karena adanya penolakan akan kedatangannya dari kalangan tertentu, grup musik dengan vokalis Chris Martin ini kabarnya akan ditonton oleh sekitar 70.000 penonton, dan bahkan tiketnya telah terjual dalam tempo singkat.
Sejak 15 Mei 2023, pukul 13.15, tiket sudah terjual habis, hanya tiga jam sejak dibuka penjualan termin kedua pada pukul 10.00. Tiket konser Coldplay dilego dari harga termurah Rp 800.000,- hingga termahal Rp 11 juta. Akun resmi Coldplay Indonesia di Twitter mengabarkan pada 17 Mei, lebih dari 1,5 juta orang ikut berburu tiket presale konser. (Neli Triana, Kompas, 21/5/23). Kedatangan Coldplay akan menjadikan Jakarta diserbu puluhan ribu penggemarnya yang datang dari segala kalangan.
Benarlah kata Henry W. Longfellow, “musik adalah bahasa universal umat manusia”. Konser musik Coldplay menjawab kebutuhan rohani, kehalusan rasa keindahan masyarakatnya. Adanya konser musik juga menjadikan kota-kota bangkit. Tidak hanya kota-kota besar, juga kota-kota di pinggiran dan itu terjadi merata di seluruh dunia. Di Indonesia, tak hanya Jakarta yang kian rutin menjadi lokasi konser musik kelas dunia. Kota-kota kecil, seperti Surakarta dan Boyolali di Jawa Tengah pun unjuk gigi. (Kompas, 21/5/23)
Musik dan Masyarakat
Lewat konser Coldplay menunjukkan bahwa musik berperan memenuhi kehausan dan kebutuhan masyarakat urban, rohani warganya, menghadirkan kebahagiaan, kesehatan, dan rasa kebersamaan. Musisi Once Mekel dalam kesempatan diskusi “Musik Menyentuh Jiwa” di Universitas Sebelas Maret, Surakarta pada hari Minggu 21/5/23, menyatakan, “musik selalu mempunyai kekuatan. Itu adalah seni yang paling dekat dengan manusia. Jenis seni yang mudah diproduksi, tetapi bisa menyentuh siapa saja,” (Kompas, 22/5/23)
Musik telah menjadi industri dan interaksi masyarakat dunia. Andrea Baker dalam risetnya “Music Cities and Urban Sociability” (Kompas, 21/5/23) mengatakan, bukan hanya penyelenggara konser, melainkan keseluruhan industri musik menemukan rumahnya di sana (sense of place). Warga yang bermusik untuk hobi melepas stres dan bersosialisasi pun terwadahi.
Meski memperlihatkan angka-angka ekonomi yang fantastis, namun konser musik juga tak semata untuk keuntungan ekonomi. Penelitian Patrick Fagan, ahli ilmu perilaku dan dosen Universitas Goldsmith, London, Inggris, menunjukkan, orang yang rutin menonton konser 2 minggu sekali dan berbahagia berpotensi hidup 9 tahun lebih lama. Mendengarkan musik, bernyanyi dan memainkan alat musik menjadi bagian dari pengobatan alternatif berbagai penyakit, antara lain demensia atau kepikunan. (Kompas, 21/5/23).
Musik menyehatkan dan menurunkan tensi agresivitas masyarakat kota. Sebagaimana diungkap Kompas (21/5/23), laporan New York dan The Times menyebutkan, insiden kekerasan verbal dan fisik berkurang saat musik menenangkan dilantunkan lewat sistem audio di 40 stasiun kereta bawa tanah London di 2017. Upaya serupa ada 2003 dan hasilnya kriminalitas di stasiun ataupun kereta komuter turun hingga 33 persen.
Musik menyehatkan masyarakat dan menjadi pemersatu. Di Indonesia baru Kota Ambon di Maluku menjadi salah satu dari 66 kota musik di dunia sejak 2019. Ambon juga masuk jajaran 246 Jaringan Organisasi Kota Kreatif yang dikelola Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Kota Ambon memenuhi syarat karena musik menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Musik, terutama yang mengakar pada budaya lokal, menjadi pemersatu antar kelompok masyarakat yang pernah berseteru. (Kompas, 21/5/23).
Musik dan kehidupan masyarakatnya tak terpisahkan dan memperlihatkan faktor lokal jenius. Dalam masyarakat Dayak Kanayatan, musik memperlihatkan beberapa fungsi antara lain: sarana hiburan, komodifikasi wisata, pengesahan lembaga sosial, integrasi kelompok sosial, media propaganda, identitas budaya lokal, sarana pendidikan formal. (Amir Razak dan Ferdinand, “Fungsi Musik Dayak Kanayatan”, Selonding, Jurnal Etnomusikologi, Volume 15, No.1, Maret 2019).
Musik dan Filsafat
Musik kini telah menjadi bagian dari industri budaya masyarakat kapitalis maju. Musik menggugah minat segala kalangan masyarakat dan menjawab kebutuhan jiwa manusia dan erat dengan filsafat. Istilah musik dikenal dari bahasa Yunani yaitu “musike”. Musike berasal dari perkataan muse-muse, yaitu sembilan dewa-dewa Yunani di bawah dewa Apollo yang melindungi seni dan ilmu pengetahuan.
Ahli filsafat Yunani Aristoteles (384-322 SM) mengungkapkan, musik mempunyai kemampuan mendamaikan hati saat sedang gundah, memiliki terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Bagi Plato (422-347), musik merupakan karya seni yang baik, mempunyai kedudukan yang mutlak dalam pemerintahan, sebab berpengaruh dalam bidang moral dan politik. Ungkap Plato, “Music gives a soul to the universe, wings to the mind, flight to the imagination, and life to everything.”
Musik menghantar jiwa pada kesadaran semesta. Lao Tzu mengungkapkan, “musik di dalam jiwa dapat didengar oleh alam semesta.” Sedangkan Konfusius menekankan pendidikan musik karena musik memperhalus rasa, mengubah watak buruk. Guru Kung ini menyatakan, “Musik menghasilkan semacam kesenangan yang tidak bisa dilakukan oleh sifat manusia.”
Filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860), yang tepengaruh Buddhisme menyatakan: musik adalah salah satu jalan untuk manusia keluar dari dunia yang penuh dengan penderitaan, sebab manusia hanya memiliki dua jalan yaitu estetis (seni dan etis (perbuatan baik). Ungkapnya, “the effect of music is so very much more powerful and penetrating than is that of the other arts. For these others speak only of the shadow, but music of the essence.”
Pencipta lagu, dewa gitar dan penyanyi Eric Clapton (lahir 1945), mengungkapkan “musik menjadi penyembuh bagi saya”. Musik bermanfaat untuk kesehatan, seperti: meningkatkan suasana hati, mengatasi gangguan tidur, mencegah kejang pada penderita epilepsi, membantu pemulihan pasca operasi, membantu pemulihan stroke, mengatasi stress. (dr. Sienny Agustin, Alodokter, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 21/5/23).
Musisi Jimi Hendrix (1942-1970) bilang, “musik tidak pernah berbohong. Jika ada sesuatu yang harus diubah ini, maka itu hanya dapat terjadi melalui musik.” Benar kata Jimi Hendrix, konon katanya musik juga yang telah mempercepat runtuhnya Uni Soviet di awal tahun 1990-an ketika grup musik Scorpion menggetarkan anak-anak muda di Uni Soviet lewat lagunya ‘Wind of Change.”
Bagi Buddha musik justru mengubah kesadarannya mencapai pencerahan. Pencapaian pencerahannya terinspirasi dari grup musik jalanan yang menyenandungkan agar tali dawai tidak ditarik terlalu keras dan tidak terlalu kendur agar mampu menghasilkan suara yang merdu dan harmonis.
Inspirasi yang menimbulkan pencerahan dan pengalaman jalan tengah ini kemudian juga diajarkan kepada siswanya Sona. Ia menginstruksikan kepada Sona agar pelatihannya sesuai dengan keterampilannya ketika bermain kecapi. Sona segera paham bahwa senar pelatihannya tidak harus terlalu kencang dan juga tidak harus terlalu kendur, melainkan diatur pada nada yang seimbang sehingga mudah dimainkan. (Anguttara Nikaya 6.55 Sona)
A Sky Full of The Stars
Banyak fungsi dan manfaat musik dalam kehidupan masyarakat dan manusia. Begitu pula dengan musik Coldplay, yang merupakan budaya musik masa kini. Konser dan musiknya menyatukan banyak kalangan, setidaknya tujuh puluh ribu penontonnya di stadion GBK pada 15 November 2023. Dimana dalam konser itu mereka akan larut dalam kemegahan cahaya lampu, tenggelam dalam keheningan bersama nyala lilin-lilin kecil di tengah kegelapan stadion serta meresapi makna lirik lagu dalam nada irama harmoni yang memperkuat jiwa memberikan kebahagiaan dan pencerahan.
Tidak hanya dialami secara kolektif, lirik-lirik lagu Coldplay yang cenderung bersentuhan dengan alam, sejarah dan pengalaman hidup itu juga membangkitkan pencerahan secara individual. Bagi Edi Ramawijaya Putra, musik Coldplay telah berperan mencerahkan jiwanya. Itu terjadi di suatu malam ketika ia duduk seorang diri di sebuah cafe di suatu kota. Saat ia memandang kegelapan malam yang ditaburi bintang, ia berujar, “kalau kata Coldplay: “I see the sky full of stars” (facebook Edi Ramawijaya Putra, 20 Mei 2023).
“Orang-orang tidak selalu ada untuk saya, tapi musik selalu ada.” Demikian kata Taylor Swift. Setidaknya bagi Edi Rama, Dosen di STABN Sriwijaya Tangerang Serpong Banten kala sendiri ditengah kesepian dan kegelapan malam, teringat akan lirik lagu Coldplay dan merasakan datangnya pencerahan, menerangi kegelapan jiwanya. Edi Ramawijaya yang juga doktor linguistik atau ilmu bahasa ini melanjutkan: “Illuminates in the dark of night.”
Nyatanya, lagu Coldplay itu sungguh telah berperan besar dalam mencerahkan kegelapan batin, menerangi jalan hidup seseorang. “See the sky full of the star, cause light up the path.” Bumi mungkin menyimpan kesepian manusia, namun langit akan selalu penuh bintang, A Sky Full of stars: “cause you’re a sky, cause you’re a sky full of stars. I’m gonna give you my heart. cause you’re a sky, cause you’re a sky full of stars. cause you light up the path… such a heavenly view.. you’re such a heavenly view.” (JP). ***
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/A_Sky_Full_of_Stars#/media/File:A_Head_Full_of_Dreams_Tour,_Wembley_Stadium.jpg