Oleh: Vijjavati Anindita
Bagi umat yang taat, mengunjungi kelenteng sampai ke luar kota bukanlah urusan sesederhana urusan pergi jalan-jalan dan berfoto. Terdorong keinginan untuk ehipassiko (datang sendiri dan buktikan), saya mendedikasikan diri sepanjang 2022 – 2025 untuk pergi bersembahyang di banyak vihara dan kelenteng di pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Apa manfaatnya? Bukankah sekarang sudah zamannya mencari informasi di internet dengan mudah?
Teori pembelajaran reflektif menekankan bahwa daripada pembelajaran teoretis di kelas, pembelajaran reflektif mendorong kemampuan berpikir kritis dan belajar dari pengalaman pada pembelajarnya. Ketika bersembahyang, faktor terpenting yang mesti dihadirkan adalah ketulusan dan pengetahuan yang lengkap. Tanpa ketulusan dan pengetahuan, sembahyang belum tentu kegiatan yang mendatangkan makna dan manfaat bagi perkembangan batin pribadi – barangkali istilah tepatnya adalah tung tung cep. Lalu, apa saja yang sudah saya dapatkan?
- Tidak semua orang mengerti kelenteng itu tempat apa
Terkadang saya mendapatkan pertanyaan, “kelenteng tuh tempat ibadah apa sih, Mbak?” Ada pula penanya yang mengira kelenteng adalah tempat ibadah umat Hindu atau Kristen. Memang sesaat saya kaget dulu, tetapi lewat pertanyaan itulah saya dapat meluruskan bahwa kelenteng adalah tempat ibadah tridharma.
Umat Buddha, Konghucu, dan Tao datang bersembahyang ke kelenteng, tetapi umat agama lain pun dipersilakan datang asal mampu menjaga sikap. Beberapa kali berkunjung, terlihat sekelompok murid sekolah atau mahasiswa yang datang untuk keperluan studi mengenal tempat ibadah agama yang berbeda. Jika arsitektur kelentengnya estetik, ada pula orang-orang yang datang berwisata dan berfoto. Syaratnya satu: mampu menjaga ketertiban dan ketenangan.
- Altar lebih dari tempat meletakkan patung dan persembahan
Lingkungan kelenteng adalah tempat yang sakral, apalagi di sekitar altar. Cara orang menyembah di depan altar di kelenteng ada tata kramanya. Jumlah hio yang dibakar, urutan altar yang dituju, jenis persembahan yang boleh diberikan, serta hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan ada ketentuannya. Patung-patung di altar bukan sembarang patung. Agar dapat dihuni oleh dewa dan dijadikan sarana sembahyang, patung tersebut perlu terlebih dahulu di-kaiguang. Selesai di-kaiguang, patung diperlakukan seperti makhluk hidup yang perlu dirawat seperti dijaga kebersihannya dan diberi persembahan yang rutin diganti.
Secara tradisional, persembahan makanan dan minuman yang dibawa adalah buah (apel, jeruk, pir, kundur, angco), minuman (air, teh, arak di altar tertentu), jajan pasar (kue basah dan kue mangkuk), misoa, atau manisan (gula batu, permen, cokelat koin). Entah ini berakar dari tradisi Tionghoa atau tidak, saya pernah diberi tahu persembahannya banyak yang manis supaya hidup pemberinya menjadi “manis” dan setiap dewa ada kesukaannya masing-masing – contoh, Cai Sen Ye menyukai persembahan permen susu dan cokelat koin, Hian Tian Shang Ti menyukai manisan buah plum. Umumnya, tidak diperkenankan membawa persembahan berbahan daging, terutama di altar Guan Yin – bodhisattva welas asih.
- Gunakan fasilitas kelenteng secara bertanggung jawab
Seyogyanya kelenteng adalah sarana ibadah milik umum sehingga kebersihan dan kerapiannya tidak hanya tanggung jawab pengurus dan umat, tetapi juga semua orang yang datang berkunjung. Ada banyak benda yang diletakkan di dalam kelenteng, termasuk barang pecah belah dan barang sekali pakai. Terkadang, benda-benda itu ada yang usianya tua sehingga perlu diperlakukan dengan hati-hati.
Entah karena ketidaktahuan atau rasa tidak peduli, ada oknum yang menggunakan fasilitas kelenteng tanpa bertanggung jawab, seperti memecahkan barang atau menggunakan dupa dalam jumlah besar hingga asapnya mengepul tebal dan abunya berhamburan ke mana-mana. Barang yang rusak sudah semestinya diganti, menggunakan perlengkapan sembahyang (dupa, kertas sembahyang, lilin) cukup seperlunya saja. Jangan hanya karena kelenteng adalah tempat terbuka yang menyediakan fasilitas bagi umat, umat yang jadi menggunakannya tanpa bertanggung jawab.
Bentuk tanggung jawab umat dan pengunjung terhadap fasilitas kelenteng tidak selalu ditunjukkan melalui pemberian uang. Menjaga kebersihan, mengembalikan benda-benda yang dipakai ke tempat semula, tidak membuang sampah sembarangan, adalah bentuk tanggung jawab yang paling sederhana. Kalau mau lebih, boleh memberikan donasi berbentuk uang atau benda kepada kelenteng. Jika membawa persembahan sendiri, bawalah persembahan yang tidak merepotkan ketika dibersihkan atau sampaikan pesan kepada pengurus apakah persembahan akan diambil kembali atau ditinggalkan saja.
- Ketika memerlukan bantuan, tidak ada salahnya mencari bantuan dewa
Sosok yang diberi hormat di kelenteng adalah roh yang dianggap berjasa bagi kemanusiaan di masa lampau. Di hari-hari tertentu, hari kebesarannya diperingati. Bahkan hingga hari ini, dewa-dewa besar yang dianggap memiliki kemampuan masih dikunjungi oleh manusia yang memerlukan bantuan. Dewa berkomunikasi dengan manusia melalui ciamsi, pak poe (dua bilah kayu berbentuk ginjal), tatung, atau indigo. Media yang paling sering ditemui adalah ciamsi. Ada 2 jenis ciamsi, yaitu ciamsi pertanyaan dan ciamsi obat.
Ciamsi pertanyaan berisi nasihat atas permasalahan di kehidupan sehari-hari ibarat curhat. Ciamsi obat isinya resep obat tradisional Tiongkok kuno untuk menyembuhkan orang sakit. Ketika akan mengambil ciamsi, hendaknya datang bersiap dengan tujuan yang jelas dan memiliki kepercayaan penuh terhadap dewa yang ditanya. Ketika mengambil ciamsi, hindari memberi banyak pertanyaan dalam satu waktu atau mengulang pertanyaan yang sudah dijawab di ciamsi sebelumnya. Selesai mendapat ciamsi, hasilnya direnungkan sebagai bahan introspeksi (ciamsi nasib) atau dibawa ke toko obat China untuk ditebus sesuai petunjuk (ciamsi obat).
Hal lain yang perlu diketahui adalah ketika mencari pertolongan dewa, manusia sewajarnya perlu siap mengakui kesalahan dan memperbaiki diri. Sebanyak apapun dewa yang membantu, jika manusianya sulit diajak memperbaiki diri, bantuan yang diberikan tentu akan menjadi percuma. Tanpa inisiatif manusia untuk mengubah nasib jelek menjadi nasib baik, jalan yang ditunjukkan oleh dewa hanyalah jalan mati (tidak ada manfaatnya).
- Meskipun sudah bertahun-tahun sembahyang, belum tentu menjadi “ahli kelenteng” yang serba tahu
Orang luar Semarang yang datang meminta ciamsi pertanyaan ke Grajen, Semarang, keheranan ketika dewa rumah memberinya 2 – 4 lembar kertas dalam sekali pengambilan. Orang Bandung yang terbiasa melihat persembahan tradisional Tionghoa tercengang melihat pengurus kelenteng di Lombok mempersembahkan bunga warna-warni di dalam takir (wadah kotak dari daun pisang) yang umumnya dipersembahkan kepada ista dewata (dewa tradisional Bali). Itu baru beda kebiasaan antarkelenteng dan antardaerah, belum lagi ketika menemui dewa yang tidak umum atau belum pernah didengar namanya.
Selalu terbuka dengan suasana baru dan menahan diri dari membandingkan atau mematok segala sesuatu agar ideal adalah sikap yang baik untuk dikembangkan. Terkadang ketika sembahyang, saya sering dikritik cara ibadahnya yang menurut pengkritik tersebut tidak ideal atau keliru. Meskipun kritik tersebut mungkin saja bermanfaat, sebaiknya tidak mengomentari cara sembahyang seseorang kecuali memang kesalahan yang dibuat menyimpang dari cara sembahyang yang umum.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
Kolb, A.Y. and Kolb, D.A. (2017). Experiential learning theory as a guide for experiential educators in higher education. Experiential Learning & Teaching in Higher Education, 1(1), pp.7-44.
Gondomono. (2002). Masyarakat dan Kebudayaan Cina. Wacana, 4(1) pp.34-53.
Wenhua, Zhonghua. (2013). Sedikit Tentang Tata Cara Sembahyang Orang Tionghoa. https://www.budaya-tionghoa.net/2013/07/sedikit-tentang-tata-cara-sembahyang-orang-tionghoa/
Foto: Kelenteng Jati Dharma Bandengan tempo doeloe, koleksi KITLV Leiden University.