Oleh: Dedi Sukamto
Edited by: Jo Priastana
“Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis kuntul-baris buat kepentingan bersama”
(Soekarno, Presiden pertama Indonesia 1901-1970)
Tradisi Nyadran umumnya dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat yang tinggal di wilayah yang bersangkutan. Orang tua, anak, dan penduduk setempat dengan latar belakang pekerjaan, status sosial dan agamanya yang beragam turut larut dalam pelaksanaan tradisi Nyadran. Begitu juga dengan umat Buddha yang menjadi masyarakat desa yang bersangkutan, karena tradisi Nyadran juga sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Buddha.
Dalam Agama Buddha sebagaimana dalam Sigalovada Sutta ada dikatakan “menghormati dan bhakti pada leluhur serta melanjutkan tradisi keluarga sebagai pewaris budaya”. Dengan berbakti kepada leluhur yang dilakukan dalam peristiwa Nyadran, generasi yang melakukannya dapat mempertahankan budaya lokal, kearifan budayanya.
Pada Tirokuḍḍa Sutta, Khuddakanikāya; Khuddakapāṭha juga dijelaskan tentang bakti kepada para leluhur yang telah meninggal. “Para mendiang datang ke rumah mereka masing-masing, berdiri di luar dinding rumah, di perempatan jalan, di pertigaan jalan dan di dekat daun pintu. Ketika makanan, minuman, camilan dan penganan yang banyak disiapkan oleh para sanak keluarga, tiada seorang pun mengingat para mendiang karena (kegelapan) perbuatannya”.
Kerukunan Antar Umat Beragama
Sebagai suatu bentuk kekayaan budaya bangsa dan kearifan lokal budaya penduduk setempat (local genius), tradisi Nyadran diikuti oleh segenap umat beragama. Sudah sejak zaman dahulu tradisi Nyadran merupakan salah satu bentuk terjalinnya kerukunan umat beragama dimana semua lapisan masyarakat suatu dusun atau desa bergotong royong melakukannya. Dalam sejarah, tradisi ini merupakan wujud dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Tradisi Nyadran menaungi kehidupan penduduk setempat untuk hidup rukun, tenteram, damai, saling tolong menolong, gotong royong, hidup harmonis sesuai makna dari kata kerukunan. Kerukunan yang berasal dari kata rukun artinya antara lain tenang dan tentram, aman (perhubungan, persahabatan), tidak bertengkar, persatuan yang bertujuan untuk bantu membantu. Kerukunan adalah perihal hidup rukun, kesepakatan, perasaan rukun (bersatu hati) (Jirhanuddin, 2010:191).
Menurut (Latif, 2018:298), kerukunan sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan konsep damai dan harmoni yang selalu menjadi impian setiap orang untuk memperoleh ketenangan hidup dan jaminan keamanan dari segala ancaman kekerasan, kejahatan, dan peperangan yang seringkali menghambat terputusnya persaudaraan dan persahabatan antara sesama manusia.
Kerukunan juga dapat artikan sebagai “posits that the focus on harmony originates from a concern for preserving harmonious relations with the universe and one another in society as a fundamental philosophy of life” (Fokus pada harmoni berasal dari keprihatinan untuk melestarikan hubungan yang harmonis dengan alam semesta dan masyarakat sebagai filosofi dasar kehidupan. (Lee dalam Tan, 2008:2)
Kehidupan yang rukun berarti menunjukkan suatu keharmonisan dalam sebuah masyarakat ataupun negara sehingga dapat berinteraksi dengan baik tanpa merasa ada gangguan dan ancaman yang datang dari siapapun. Melalui tradisi Nyadran, masyarakat di Dusun Sidorejo Wetan, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menumbuhkan kehidupan yang rukun harmonis penuh kegotong royongan.
Konteks kerukunan dalam hubungan antar agama menjadi suatu yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Kerukunan berarti suasana kehidupan umat beragama yang bersatu hati hidup berdampingan atas dasar saling menghormati, menghargai, dan bebas dari intervensi sehingga menciptakan damai lahir dan batin serta suasana hidup yang saling membantu.
Kerukunan umat beragama menciptakan ketentraman umum, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa hingga menciptakan kesejukan hati bagi kehidupan masyarakat. Kerukunan hidup adalah suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama hidup bersama–sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agama.
Gotong Royong Menjaga Indonesia
Dengan begitu tradisi Nyadran di sepanjang sejarahnya telah mampu dalam menjaga kehidupan rukun, harmoni, damai, aman dan penuh solidaritas, dan kegotong-royongan. Tradisi Nyadran mencerminkan kearifan bangsa yang mengandung nilai-nilai luhur kehidupan budaya bangsa dalam menghormati alam, leluhur dan sesamanya. Tradisi Nyadran sebagai wujud budaya perekat kerukunan antar umat beragama juga dapat menjadi medium untuk pendidikan karakter bangsa untuk semakin memperkuat Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia.
Perekat kerukunan yang menjiwai masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran sangat mendukung berkembangnya nilai-nilai Pancasila dan menjaga keutuhan Indonesia. Untuk itu, tradisi Nyadran yang berakar pada budaya dan kearifan lokal yang telah teruji memupuk kehidupan harmonis gotong royong sudah selayaknya dijaga, dirawat dan dipelihara, sebagaimana nilai gotong royong yang terdapat dalam pelaksanaan tradisi Nyadran di Dusun Sidorejo, Kecamamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang disampaikan di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai di Jakarta, menyatakan bahwa “Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan.” Dalam pandangan Bung Karno, Gotong Royong itulah yang menjadi intisari Pancasila, dimana tanggal 1 Juni pun kemudian ditetapkan menjadi Hari Kelahiran Pancasila.
Gotong Royong yang merupakan nilai karakter bangsa dan hidup dalam budaya kerukunan yang tumbuh di bumi Nusantara itulah esensi falsafah bangsa dan ideologi Negara Pancasila. Demikian diungkapkan Sang Penggali Pancasila, Bapak Proklamator negara kesatuan Republik Indonesia.
Bung Karno menegaskan bahwa nilai gotong royong Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri, seperti yang terdapat di dalam tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyarakat dan budaya di Nusantara. Dan hal ini tidak terkecuali juga terdapat dalam tradisi Nyadran! (JP)
***
(Sumber: Dedi Sukamto, “Tradisi Nyadran Sebagai Pendidikan Karakter dan Perekat Kerukunan Antar Umat Beragama: Studi Kualitatif di Dusun Sidorejo Wetan, Kecamatan Gambiran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur,” Skripsi Program Studi Pendidikan Keagamaan Buddha (S1) STAB Nalanda, Jakarta, 2022)
- REDAKSI MENYEDIAKAN RUANG SPONSOR (IKLAN) Rp 500.000,- PER 1 BULAN TAYANG. MARI BERIKLAN UNTUK MENDUKUNG OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM
- REDAKSI TURUT MEMBUKA BILA ADA PENULIS YANG BERKENAN BERKONTRIBUSI MENGIRIMKAN ARTIKEL BERTEMAKAN KEBIJAKSANAAN TIMUR (MINIMAL 800 KATA, SEMI ILMIAH)
- SILAHKAN HUBUNGI: MAJA 089678975279 (Chief Editor)
- BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA)
sumber gambar: https://www.kemenag.go.id/feature/nyadran-ikhtiar-masyarakat-getas-rawat-kerukunan-iws0il