Tridharma Titik Temu Tiga Ajaran (1) – Mengenali Titik Temu Sam Kauw

Home » Artikel » Tridharma Titik Temu Tiga Ajaran (1) – Mengenali Titik Temu Sam Kauw

Dilihat

Dilihat : 363 Kali

Pengunjung

  • 2
  • 8
  • 27
  • 31,001
WhatsApp Image 2022-07-02 at 6.51.09 PM

Oleh: Jo Priastana

 

“Itoe Sam Kauw akan mendjadi satoe philosofie agama jang paling lengkep

dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bagi bangsa Tionghoa

jang leloehornja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboen taon laloe”

(Kwee Tek Hoay,1886-1952, Bapak Tridharma Indonesia)

Sam Kauw, tiga ajaran: Taoisme, Buddhisme, dan Konfusianisme akan menjadi satu filosofi agama yang akan lengkap dan memberi faedah besar bagi manusia, terutama bagi bangsa Tionghoa yang leluhurnya sudah kenal tiga pelajaran itu sejak ribuan tahun lalu. Begitulah ungkapan yang dicetuskan oleh Kwee Tek Hoay, tokoh yang menghayati tiga ajaran sebagai satu filosofi keagamannya.

Kwee Tek Hoay disebut-sebut juga sebagai Bapak Tridharma Indonesia dan yang hari kelahirannya 31 Juli diperingati sebagai Hari Tridharma. Penghayat Tridharma telah tumbuh di Indonesia dan juga membentuk institusi dan komunitas keagamaannya sendiri. Tiga ajaran yang telah menjadi penghayatan dan pegangan hidup sejak Buddhisme masuk ke Cina bertemu dengan Taoisme dan Konfusianisme.

Mengapa sampai terjadi penghayatan terhadap tiga ajaran itu? Penghayatan itu tidak terlepas dari masuknya Buddhisme di Cina yang mewujud dalam Buddhisme Cina dan dengan begitu bisa menyelami munculnya Sam Kauw. Ketiga ajaran yang dihayati sebagai suatu kesatuan dan menjadi pegangan hidup penganutnya, dimana masing-masing ajaran mempertemukan sisi-sisi pandangannya sehingga membangun titik temu ketiga ajaran yang disebut Sam Kauw.

 

Buddhisme di Cina dan Buddhisme Cina

 Tulisan ini mencoba mengenali Tridharma, atau Sam Kauw sebagai suatu kesatuan ajaran. Topik ini akan sungguh-sungguh semakin terasakan kesatuan dan keutuhannya bila membaca dengan teliti uraian mengenai hubungan di antara ketiganya. Buddhisme dan Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme, serta Konfusianisme dan Taoisme.

Menelusuri ajaran Tridharma yang terdiri dari Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, tidak dapat tidak harus melihat sejarah masuknya Buddhisme di Cina. Masuknya Buddhisme ke Cina menjadi suatu fenomena tersendiri dalam sejarah filsafat Timur, dan penyebaran Buddhadharma sebab dengan masuknya Buddhisme ke Cina, Buddhisme mendapatkan wajah dan dandanan baru.

Patut dicatat, bahwa ada perbedaan antara “Buddhisme Cina” dan “Buddhisme di Cina” Buddhisme di Cina adalah bentuk Buddhisme yang terkait pada tradisi India. Seperti yang diwakili oleh aliran Idealisme Subyektif, yang dikenal juga dengan nama Xiang Zong atau Weishi Zong atau aliran Vijnanavada. Sedangkan “Buddhisme Cina” adalah bentuk Buddhisme yang dekat dengan pemikiran Cina yang diwakili oleh aliran Jalan Tengah atau aliran Madhyamika, (San Lun).

Buddhisme diperkirakan telah masuk ke Cina pada awal abad 1 Masehi, yaitu ketika Cina dikuasai oleh Dinasti Han. Karena itu, orang Cina menerima Buddhisme tidak lepas dari kerangka pemikirannya sendiri. Buddha diterima sebagai tokoh yang sejajar dengan Kaisar Kuning atau Lao Zi yang diyakini telah mencapai imortalitas (kekal). Para misionaris Buddhis tanggap dalam memenuhi kebutuhan orang Cina, seperti tentang obat umur panjang dan cara-cara memiliki kemampuan superhuman.

Para misionaris mengatakan bahwa apa yang mereka minta atau butuhkan itu terdapat dalam kitab suci Buddhis. Mulailah usaha menterjemahkan kitab-kitab suci Buddhis ke dalam bahasa Cina, seperti yang terdapat di kota Zhang An, di bawah pimpinan Kumarajiva (344-413).

Selanjutnya, Buddhisme diterima dengan penuh semangat oleh kaum intelektual, terutama ajaran metafisika yang ada pada Buddhisme dan tidak diketemukan dalam kitab-kitab klasik Cina. Pembicaraan mereka diwarnai oleh istilah-istilah dari Taoisme. Dapat dikatakan bahwa India sebagai asal usul Buddhisme telah terlupakan.

Tetapi perkembangan yang sebaliknya terjadi juga. Tidak sedikit rahib, baik di Utara maupun di Selatan, berusaha sungguh-sungguh untuk berpegang pada arti asli dari Buddhisme. Mereka meningkatkan usaha menterjemahkan kitab suci penting agama Buddha ke dalam bahasa Cina. Juga banyak dikirim utusan ke India untuk mempelajari sumber asli agama Buddha di tempat asalnya. Terkenallah musafir-musafir, sepeti Fa Xian (399), Xuan Zang (629-645), Yi Jing (671).

Buddhisme di Cina mencapai puncak perkembangannya pada masa Dinasti Tang (618-907), karena beberapa kaisar dinasti ini menganut agama Buddha. Tidak sedikit rakyat Cina yang menjadi rahib-rahib Buddhis. Menurut sebuah sensus, pada tahun 845 di Cina pada waktu itu terdapat seperempat juta rahib.

Hampir di setiap kota besar didirikan kuil-kuil besar dengan arsitektur yang indah dan megah. Tercatat ada 46.000 kuil dan lebih dari 40.000 tempat penjiarahan pada waktu yang sama. Setelah memasuki masa jayanya selama 1000 tahun, Buddhisme kemudian memasuki masa surutnya. Namun demikian, Buddhisme telah sedemikian merasuki dalam hati dan pikiran rakyat Cina, tidak terkecuali dalam bentuk Sam Kauw.

 

Great Tradition dan Little Tradition

Masuknya Buddhis ke Cina juga mengalami persentuhan dan akomodatifnya dengan Taoisme dan Konfusianisme. Taoisme yang lebih bersifat filosofis, dialektis, metafisik dan mistisisme serta menjauh dari masyarakat ramai dan menitikberatkan kebersamaan dengan alam.

Konfusianisme yang menitikberatkan pada tata-susila, penghormatan kepada orang tua dan pemujaan kepada leluhur, serta adat-istiadat setempat memungkinkan Buddhisme berkembang pula di kalangan “rakyat”, yang lebih berkecenderungan praktis dan devosional (pemujaan). Perkembangan di kalangan rakyat ini dimana ajarannya dihayati dalam kehidupan sehari-hari melalui tingkah laku yang baik, upacara keagamaan, doa, perbuatan amal dan sebagainya. Mereka juga mendirikan kuil-kuil dan tempat-tempat penjiarahan di seluruh Cina.

Kiranya, di Cina sendiri, kehidupan beragama bisa ditinjau dari dua aspek, “great tradition dan little tradition” (Joachim, 1986, “Chinese Religion a Cultural Perspective”, Prentice Hall Inc., New Yersey, 5).  “Great tradition” menyangkut ajaran-ajaran besar, sistem ajaran seperti Taosime, Konfusianisme dan Buddhisme, sedangkan “little tradition” berkenaan dengan tradisi keagamaan setempat, kepercayaan rakyat.

Great Tradition”, atau tradisi yang terbesar terdiri dari Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, mengingat ketiga ajaran ini memiliki tokoh pendiri, pemimpin profesional, bentuk kelembagaan, kitab suci, dan tradisi liturgi. “Little tradition” sering disebut juga sebagai “Folk religion” sebab secara sederhana menunjuk kepada kepercayaan agama yang tidak tertulis dan dipraktikkan hampir oleh semua orang Cina yang masih bersifat tradisional. Tradisi-tradisi dari budaya Cina dan kepercayaan Cina lainnya juga dapat dimasukkan dalam kelompok ini.

Dua tradisi tersebut tampaknya terdapat dalam penganut Buddha yang bercampur dengan Taoisme dan Konfusianisme. Tradisi besar yang berisikan tiga ajaran juga menyerap unsur-unsur tradisi yang kecil. Karena itu, sebagai suatu pedoman dan cara hidup, keyakinan terhadap tiga ajaran sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Buddhadharma yang pragmatis mampu beradaptasi degan falsafah, pemikiran Cina yang telah tumbuh mapan serta praktik keagamaan yang telah begitu mentradisi dan membudaya.

 

Sam Kauw

Bersama-sama dengan Konfusianisme dan Taoisme, Buddhisme kemudian melengkapi apa yang dikenal dengan “Tiga Ajaran” (sanjiao, samkauw). Setidaknya terdapat dua pemikir yang berupaya menemukan titik temu dari tiga ajaran, seperti filsuf Chu Shi dan tokoh yang dipandang sebagai kongconya Tridharma, Lin Chao En. (1517-1598). Selain terdapat juga penggagas Tridharma, melalui tokoh legendaris Acarya Fudaishi di abad ke 5.

Fritjof Capra penulis buku “Tao of Physics” (1977), menyebutkan bahwa pada abad ke-11 dan ke-12, ajaran Neoconfucian mengupayakan sebuah sintesis dari Konfusianisme, Buddhisme, dan Taoisme yang tertanam dalam filsafat Chu Shi. Chu Shi (Zhu Xi 1130-1200) adalah seorang filsuf terkemuka yang menggabungkan kependidikan Konfusius dengan seperangkat pemahaman mendasar tentang Buddhisme dan Taoisme, dan menyatukan elemen-elemen dari ketiga tradisi ini dalam sintesis filsafatnya. (Fritjof Capra: 2001:115).

Tokoh Tridharma, Marga Singgih menyebut San Jiao atau San Yi Jiao, Sam Kauw yang merupakan gabungan dari tiga ajaran yaitu Khong Hu Cu, Buddha, Tao, mulai ada secara Sekolah San Jiao formal pada Dinasti Ming 1546 M yang diajarkan / diprakarsai oleh Guru Lin Zhao En alias Long Jian alias San Yi Jiao Zhu. Lin Zhao En (1517-1598), bisa di bilang sebagai Kongco nya umat Tridharma.

Dikatakan bahwa, Lin Zhao En adalah seorang pemimpin dan pendiri Agama Tridharma (San Jiao / Sam Kauw) yang memiliki intelektual sangat tinggi. Beliau mempelopori agama dengan unsur-unsur gabungan Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Dalam pandangan Marga Singgih, (2019: 11-12), Lin Zhao En adalah salah satu pelopor paling terkenal dari sinkretisme agama dan filsafat Tridharma (San Jiao) di Dinasti Ming (1368-1644), Tiongkok. 

Dalam sinkretisme itu, ketiga ajaran telah dibentuk menjadi satu kesatuan yang koheren, namun tetap menjaga identitasnya masing-masing. Ibarat sebuah keluarga, ayah dan ibu yang menyatu juga anak-anaknya, dimana masing-masing memiliki kepribadiannya.

Fenomena sinkretisme tiga ajaran ini dimungkinkan terjadi juga dikarenakan adanya ketidak-jelasan relatif batas antar-agama di Cina, sehingga menyebabkan terjadinya pertukaran, fusi, baik dalam ranah “great tradition” maupun “little tradition”.

Dalam “great tradition” misalnya munculnya bentuk-bentuk baru yang bersifat sinkretis, gagasan kesatuan dari Filsafat Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme.  Dalam “little-tradition” terjadinya eklektisme atau campuran beragam tradisi yang terdapat dalam agama rakyat Cina atau “folk religion”. (Sumber: A. Judith Berling “The Syncretic Religion of Lin Chao, dan Ensiklopedia Buddhis). (JP) ***

Romo Marga Singgih, salah satu tokoh Tridharma yang aktif di Indonesia

 

Daftar Pustaka:

Judith Berling “The Syncretic Religion of Lin Chao, dan Ensiklopedia Buddhis

Fung Yu Lan, “A Short History of Chinese Philosophy,” 1952.

Sutradharma Tj. Sudarma, MBA., “Tiga Guru-Satu Ajaran: Kehidupan dan Ajaran Kebenaran Siddharta Gautama, Confucius, dan Lau Tzi, Yayasan Dhammadasa, Jakarta, 2000.

“Tri Dharma Seikat Bunga Rampai”, Bakti, Jakarta, 1995.

Kwee Tek Hoay, “Nan Hoa Cing”, Jilid 2, Swastika Surakarta, 1950.

Drs. I. Wibowo, (1980) “Buddhisme di Cina”, diktat Extension Course Filsafat STF Driyarkara, Jakarta.

Corneles Wowor, dkk., “Pendidikan Agama Buddha”, Materi Pokok UT, Jakarta, 1983.

Marga Singgih, 2019. “Sekilas Mengenal Tridharma (Sam Kauw/San Jiao di Nusantara,” Jakarta: Bakti.

Fritjof Capra., 1977.  “Tao of Physics,” Yogyakarta: Jalasutra (2001)

https://m.facebook.com/kisahparadewa/posts/arti-sam-kauw-tridharma-san-jiao-3-ajarantridharma-adalah-sebuah-kepercayaan-yan/1059114727493387/?locale=id_ID&_rdr

***

Butuh bantuan?