Tridharma Titik Temu Tiga Ajaran (2) – Memahami Titik Temu Sam Kauw

Home » Artikel » Tridharma Titik Temu Tiga Ajaran (2) – Memahami Titik Temu Sam Kauw

Dilihat

Dilihat : 177 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 24
  • 33
  • 30,378
WhatsApp Image 2022-07-02 at 6.55.04 PM

Oleh: Jo Priastana

 

“Pertemuan dari ketiga ajaran kebenaran telah menelorkan

suatu pandanan hidup dan memupuk alam pikiran manusia Tridharma

yang toleran, penuh bakti, sederhana dan praktis dalam cara berpikir”

(Sasanaputera Satyadharma, 1930-2020; Maha Pandita Tridharma)

 

Secara implisit batiniah, penghayat Sam Kauw mengetahui bahwa ketiga ajaran Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme, merupakan suatu kesatuan ajaran yang telah menjadi pegangan hidup masyarakat Tiongkok sejak dahulu. Ketiga ajaran dimana masing-masing ajaran dapat mempertemukan sisi-sisi pandangannya; Buddhisme dan Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, serta Konfusianisme dan Taoisme.

Buddhadharma yang bersifat realistis-pragmatis bertemu dengan pandangan Konfusius yang juga bersifat humanis dan pragmatis seperti dalam ajaran tentang moralitas, susila dan bakti. Begitu pula Budhadharma dengan Taoisme yang bersifat filosofis bertemu dalam penghayatan kekosongan dari konsep Tao dan Sunyata.

Sementara Konfusianisme dengan Taoisme yang sama-sama bersumber dari peradaban dan kebudayaan Tiongkok menunjukkan apa yang diajarkan Konfusius tentang bakti, susila dan manusia Budiman juga tidak lain adalah cerminan dari jalan Tao. Penganut dan penghayat Tridharma memahami dan menemukan serta menghayati adanya titik temu ketiga ajaran itu.

 

Buddhisme dan Konfusianisme

Ajaran bakti yang ditekankan Konfusius tidak bertentangan dengan ajaran etika Sang Buddha. Begitu pula dengan upacara-upacara yang telah mentradisi, yang merupakan ungkapan perwujudan rasa bakti kepada orang tua dan kepada leluhur, meski fundamental Buddhism minimalis dalam ritual. Ajaran Konfusius tentang menjadi manusia budiman yang menekankan introspeksi ke dalam diri sendiri, dan meningkatkan pembinaan diri sendiri juga bersesuaian dengan ajaran Buddha yang menekankan pembinaan diri dengan cara meningkatkan kesucian batin melalui sila dan samadhi.

“Orang-orang budiman di jaman kuno, demikian Khong Cu lanjutkan bicaranya, lebih dahulu menjaga dirinya sendiri sebelum menjaga lain-lain orang. Jikalau selagi menjaga diri sendiri terdapat masih ada apa-apa yang belum diperoleh bagaimanakah bisa mempunyai tempo akan taruh perhatian pada kelakuan dari seorang jahat?” (Ujar Khong Hu Cu, terjemahan Kwee Tek Hoay, 1950).

Sebagaimana Buddha, ajaran Konfusius bersifat konkrit-praktis dan tidak suka pikiran-pikiran yang spekulatif. Yang penting baginya selamanya adalah tempat sini dan saat ini, suatu sifat yang sama dengan Zen Buddhisme, atau Ch’an. Konfusius pernah mengatakan:

“Jalan kewajiban kita terdapat dalam hal-hal yang dekat; padahal banyak orang mencarinya di tempat jauh. Tugas kewajiban adalah mudah; padahal, banyak orang mencarinya dalam hal-hal yang sulit.”

“Bila kita tidak bisa mengabdikan diri pada manusia, bagaimana kita bisa mengabdikan diri pada dewa-dewa? Bila kita tidak mengerti kehidupan, bagaimanakah kita akan mengerti kematian?” Kemanusiaan bagi Konfusius merupakan yang terpenting, dan filsafatnya boleh dikatakan suatu humanisme.

Sepanjang sejarahnya, Buddhadharma bersifat pragmatis selalu memberi tekanan pada segi praktisnya. Sang Buddha tidak menganjurkan spekulasi metafisik yang dianggapnya tidak mempunyai kegunaan atau nilai praktis bagi kesejahteraan manusia. Sang Buddha menyatakan bahwa beliau sendiri melaksanakan apa yang dikhotbahkannya, dan mengkhotbahkan apa yang telah berhasil dilaksanakannya.” (Itivuttaka, 122).

Ajaran Sang Buddha seringkali diibaratkan sebagai obat, dan Sang Buddha dijuluki sebagai “bhisaka” (dokter): “Seperti seorang dokter yang pandai dalam waktu singkat melenyapkan penyakit dari seorang pasien … demikian pula, jika seorang mendengarkan Dhamma Sang Buddha, …..maka penderitaanya, kesedihannya, keputusasaannya … lenyap seketika.” (Anguttara Nikaya, III, Hlm.238).

Buddhadharma mengandung humanisme sebagaimana pandangan Konfusius yang bersifat humanis. Humanisme mengacu pada pandangan yang menitikberatkan perhatian pada kesejahteraan manusia. Humanisme mengakui dan meletakkan harkat manusiawi pada kedudukan tertinggi. Manusia adalah ukuran terakhir, dan pembuat dunianya sendiri berdasarkan kemampuannya sendiri. Seorang humanis hanya tertarik pada kebenaran-kebenaran yang bersangkut-paut dengan manusia dan kemaslahatan manusia.

Menurut Buddhadharma, manusia terdiri atas unsur-unsur fisik (kebendaan) dan psikis (kejiwaan), yang selalu berubah dan tidak kekal. Manusia memiliki kehendak bebas untuk berpikir, berbicara dan bertindak. Sang Buddha adalah seorang manusia yang hidup di dunia sebagai salah seorang terkemuka di bidang agama dan filsafat. Beliau memandang pengembangan manusia di dunia secara tajam.

Beliau menganjurkan agar manusia berusaha mencapai cita-cita spiritualnya, dan menekankan manusia memiliki kemampuan untuk itu. Manusia memiliki kedudukan yang tertinggi: ia adalah tuan bagi dirinya sendiri, dan tidak ada makhluk lain yang berkuasa menentukan nasibnya; keberhasilan dan kegagalannya adalah hasil dari kemauan dan perbuatannya sendiri.

Sang Buddha bersabda: “Untuk bergaul dan bersahabat dengan apa yang benar …., engkau sendirilah yang harus tekun menjalankan kebaikan”. (Samyutta Nikaya I. Hl.89). “Tidak berbuat kejahatan; meningkatkan kebaikan; menyucikan batin … itulah ajaran para Buddha.” (Dhammapada 183).

Jika seseorang menghargai hidupnya sendiri, ia harus menjaganya baik-baik dan hidup secara lurus. Dan oleh karena tak ada yang lebih berharga bagi manusia daripada hidupnya sendiri, maka ia pun harus menghargai dan menghormati hidup orang lain seperti hidupnya sendiri. (Samyutta Nikaya, I. Hlm.75).

 

Taoisme dan Buddhisme

Taoisme merupakan suatu ajaran yang sarat dengan filsafat yang sangat dalam. Karenanya, untuk memahami Taoisme dalam hubungannya dengan Buddhisme tidak bisa tanpa memasuki unsur yang terdalam itu, yakni menyangkut peninjauan dan pendekatan yang bersifat filsafat. Apalagi kita tahu, bahwa Buddhisme masuk ke Cina, dimana Cina sendiri telah memiliki kebudayaan yang tinggi dengan ajaran Taoisme yang dalam dan bersifat filosofis-mistis.

Seperti kita ketahui ada perbedaan antara “Buddhisme Cina” dan “Buddhisme di Cina” Buddhisme di Cina adalah bentuk Buddhisme yang terkait pada tradisi India, seperti yang diwakili oleh aliran Idealisme Subyektif, yang dikenal juga dengan nama Xiang Zong atau Weishi Zong atau aliran Vijnanavada. Sedangkan “Buddhisme Cina” adalah bentuk Buddhisme yang dekat dengan pemikiran Cina yang diwakili oleh aliran Jalan Tengah, atau San Long Zong atau aliran Madhyamika.

Buddhisme aliran Jalan Tengah ini mirip dengan Taoisme Cina dan pertemuan keduanya melahirkan aliran Ch’an (Zen atau Dhyana). Istilah Cina Ch’an atau Ch’anna berasal dari kata Sansekerta Dhyana yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata meditation. Asal mulanya Ch’an berarti secara langsung menunjukkan budi manusia dan menjadi seorang Buddha dengan melihat kodrat Buddhanya sendiri, atau mengidentikkan budi individu dengan Budi Semesta, sebagaimana juga yang ditengarai dalam Taoisme.

Pencapaian budi individu dengan budi semesta itu melalui meditasi, sebagaimana dengan istilah Zen itu sendiri yang berarti meditasi. Ajaran Zen Buddhism tidak didasarkan atas kitab suci klasik Buddhis, tetapi atas penerangan melalui “perwujudan ketunggalan sejati individu dengan Budi Semesta.

Interpretasi atas Budi Semesta di kalangan guru Ch’an ada bermacam-macam, tapi pada umumnya dapat dikatakan bahwa mereka memaksudkannya sebagai Kekosongan. Kekosongan sebenarnya tak dapat diterangkan dengan kata-kata dan diamati dengan indera. Maka untuk mengerti Budi Semesta, para guru Ch’an mengajarkan wunian (tiadanya pikiran) atau wangjing (melupakan perasaan) atau renxin (membiarkan budi memiliki jalannya sendiri).

Dalam Taoisme, suatu gagasan pokok yang mewujudkan kekosongan itu dikenal dengan istilah wuwei, artinya “tidak bergiat”, dan “membiarkan hal-hal terjadi”, yaitu menurut hukum-hukumnya sendiri. Yang jahat itu, menurut Taoisme, ialah bila manusia berusaha untuk memaksakan kehendaknya melawan hukum-hukum tersebut.

“Tao” itu berarti “jalan”, dan Tao itu dikatakan “berupa satu”. “Tao” itu bisa dibandingkan dengan “kekosongan” (sunya) dari ajaran Buddha sebagaimana disebutkan dalam Madhyamika Shastra XV, “tidak dapat disebut kosong atau tidak kosong atau dua-duanya, atau bukan dua-duanya. Tetapi untuk mencirikannya disebut saja “Sunya”.

Jadi terlihat bahwa ajaran Ch’an sangat mirip dengan Taoisme. Hui Neng (627-713), pendiri aliran Chan Selatan, mengatakan bahwa “dia sama sekali tidak menjadi Buddhisme. Dia menjadi Tao, lain tidak”. Memang para penulis pertama tentang agama Buddha memakai terminologi Taois (seperti you, wu, you, wei, wuwei) untuk mengungkapkan gagasan Buddhis.

Penerangan mendadak, yang menghantar orang kepada ke-Buddha-an, oleh para guru Ch’an disebut “penglihatan Tao”. Dengan perkataan lain, Buddhisme yang berasal dari India, disintesiskan dalam Taoisme, lalu diubah menjadi suatu Buddhisme dalam bentuk Cina.

 

Konfusianisme dan Taoisme

Bila konsep Konfusianisme menekankan pada perubahan kehidupan sosial melalui prinsip moral, upacara bakti, serta kepemerintahan, maka dalam Taoisme lebih mengacu kepada kehidupan pelepasan yakni jalan kehidupan para suci dengan berusaha menghindarkan hal-hal yang bersifat keduniawian.

Lao Zu mengungkapkan, “wujudkanlah dalam kesederhanaan, hiduplah secara alami, kurangilah sifat ke-aku-an, kurangilah nafsu keinginan duniawi”.

Begitu pula, kalau para Konfusius bertujuan untuk mencapai kehidupan sebagai seorang Budiman (C’un Zi) dimana lebih memperhatikan sisi moralitas atau kesusilaan, maka para Taois lebih memperhatikan sisi pendalaman diri (neisheng), yang dapat mewujudkan sisi kehidupan ke Jalan Kebenaran dengan cara Tiada Berbuat (wuwei), pengolahan diri sejati (neiyeh), ataupun pencerminan apresiasi seni yang bernafaskan unsur kejiwaan dan pikiran (hsinshu).

Seorang Taois harus dapat selalu menyatukan diri atau bersatu (paoi) dengan Tao dalam suatu tingkat kesadaran diri yang tak tergoyahkan. Menyatukan diri dapat juga berarti senantiasa menjaga keseimbangan Yin dan Yang dalam dirinya dan penyatuan antara roh (hun) dan jiwa (p’o). Ia mengolah dirinya dalam suatu tingkat kebatinan yang bersifat kosong tapi berisi. Dengan kosong dari segala bentuk kekotoran batin, maka seorang Taois dipenuhi oleh energi murni (yuanchi).

Namun demikian, menjadi Manusia Budiman (C’un-Zi) yang akan tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari bukanlah terpisah dari Jalan Kebenaran (Tao). Seorang Budiman (C’unZi) walaupun menyendiri ataupun sedang dalam suka dan duka, haruslah senantiasa memiliki kesadaran diri yang tinggi untuk selalu berada harmonis di Jalan Tengah (Chung).

“Apa yang disebut dengan Jalan Kebenaran (Tao) tidaklah dapat dipisahkan sedetikpun. Apa yang dipisahkan bukanlah Tao. Sehingga seorang Budiman senantiasa waspada di tempat dimana dia tidak kelihatan, dan tetap waspada di tempat dimana dia tidak kedengaran. Tidak ada yang lebih nyata dari yang tersembunyi, dan tidak ada yang lebih jelas dari yang gaib. Sehingga seorang Budiman haruslah senantiasa waspada pada saat dia menyendiri.” (JP).

 

Romo Pdt Madya Khantidammo, salah satu tokoh Tridharma

Daftar Pustaka:

Judith Berling “The Syncretic Religion of Lin Chao, dan Ensiklopedia Buddhis

Fung Yu Lan, “A Short History of Chinese Philosophy,” 1952.

Sutradharma Tj. Sudarma, MBA., “Tiga Guru-Satu Ajaran: Kehidupan dan Ajaran Kebenaran Siddharta Gautama, Confucius, dan Lau Tzi, Yayasan Dhammadasa, Jakarta, 2000.

“Tri Dharma Seikat Bunga Rampai”, Bakti, Jakarta, 1995.

Kwee Tek Hoay, “Nan Hoa Cing”, Jilid 2, Swastika Surakarta, 1950.

Drs. I. Wibowo, (1980) “Buddhisme di Cina”, diktat Extension Course Filsafat STF Driyarkara, Jakarta.

Corneles Wowor, dkk., “Pendidikan Agama Buddha”, Materi Pokok UT, Jakarta, 1983.

Marga Singgih, 2019. “Sekilas Mengenal Tridharma (Sam Kauw/San Jiao di Nusantara,” Jakarta: Bakti.

Fritjof Capra., 1977.  “Tao of Physics,” Yogyakarta: Jalasutra (2001)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Vinegar_tasters

***

Butuh bantuan?