Tridharma Titik Temu Tiga Ajaran (3) – Menyibak “Sense of Tridharma”

Home » Artikel » Tridharma Titik Temu Tiga Ajaran (3) – Menyibak “Sense of Tridharma”

Dilihat

Dilihat : 183 Kali

Pengunjung

  • 34
  • 23
  • 28
  • 31,542

Oleh: Jo Priastana

 

“Seandainya jiwa dan fisik sudah bersatu, apa masih bisa terpisahkan?

menciptakan, menumbuhkan dan memelihara makhluk hidup tanpa merasakan memiliki;

berjasa tanpa merasa punya jasa; memberi kesempatan pada semua makhluk

 tanpa tendensi memiliki dan menguasai. Mereka adalah sifat agung berbudi luhur yang terluhur,

sifat alamiah tidak berbuat apa-apa, wu-wei” 

(Lao Tze, Dao De Jing Bab X)

 

Penghayatan terhadap tiga ajaran atau Saum Kauw tidak mungkin bila tidak adanya titik temu dari tiga ajaran. Titik temu antara Konfusianisme dan Buddhisme, Buddhisme dan Taoisme, serta Konfusianisme dan Taoisme. Dari titik temu masing-masing tiga ajaran itu, tumbuhlah keyakinan bahwa tiga ajaran tersebut bukanlah sesuatu yang berbeda sama sekali.

Keyakinan yang tumbuh atas pemahaman adanya titik temu tiga ajaran sehingga melahirkan adanya perasaan kesatuan dari tiga ajaran tersebut.  Penghayatan yang terus menerus yang berada secara implisit dalam batin penghayatnya dan melahirkan implikasi terhadap tindakan dan perilaku religius pada akhirnya terbentuk komunitas penghayat dan memungkinkan gerakan Tridharma tumbuh dan berkembang.

Sekelumit melihat hubungan dari masing-masing dari ajaran tersebut dalam berbagai aspek filosofis dan keagamannya. Pemahaman terhadap adanya titik temu dari ketiga ajaran dalam berbagai aspeknya yang menumbuhkan penghayatan secara batin dan yang memperoleh pupuk perkembangannya melalui ritual dan upacara yang diselenggarakannya, yang mungkin secara eskterior tampaknya sinkretisme dari ketiga ajaran tersebut, namun satu kesatuan pemahaman secara batiniah-interior.

 

Kesatuan Titik Temu 

Konfusianisme mengemukakan tentang ajaran bakti, dan tentunya ajaran bakti ini tidak bertentangan dengan ajaran etika Sang Buddha. Begitu pula dengan upacara-upacara yang telah mentradisi, yang merupakan ungkapan perwujudan rasa bakti kepada orang tua dan kepada leluhur. Esensi rasa bakti yang terdalam juga terekspresikan melalui pelaksanaan sila atau moralitas serta kewajiban yang sifatnya normatif kepada orang tua dan leluhur yang berjasa.

Ajaran Konfusius yang bersifat praktis dan realistis, dengan menekankan kepada pelaksanaan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari, dan tanggung jawab manusia kepada lingkungan masyarakatnya, dianggap sesuai dengan ajaran Buddha yang juga bersifat realistis dan pragmatis seperti yang tercermin dalam pelaksanaan sila, dan memupuk karma baik (kausalyakarma).

Taoisme merupakan suatu ajaran yang sarat dengan filsafat yang sangat dalam. Dan memahami Taoisme dalam hubungannya dengan Buddhisme tidak bisa tanpa memasuki unsur yang terdalam itu, yakni menyangkut peninjauan dan pendekatan yang bersifat filsafat. Apalagi kita tahu, bahwa Buddhisme masuk ke Cina, dimana Cina sendiri telah memiliki kebudayaan yang tinggi dengan ajaran Taoisme yang dalam dan bersifat filosofis, yang mempertemukannya pada konsep kekosongan Tao dan Sunyata.

Buddhisme dikenal juga sebagai Jalan Tengah yang mirip dengan Taoisme Cina dan pertemuan keduanya melahirkan aliran Ch’an (Zen atau Dhyana). Istilah Cina Ch’an atau Ch’anna berasal dari kata Sansekerta Dhyana yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan kata meditation. Asal mulanya Ch’an berarti secara langsung menunjukkan budi manusia dan menjadi seorang Buddha dengan melihat kodrat Buddhanya sendiri, atau mengidentikkan budi individu dengan Budi Semesta, sebagaimana juga yang ditengarai dalam Taoisme.

Bila konsep Konfusianisme menekankan pada perubahan kehidupan sosial melalui prinsip moral, upacara bakti, serta kepemerintahan, maka dalam Taoisme lebih mengacu kepada kehidupan pelepasan yakni jalan kehidupan para suci dengan berusaha menghindarkan hal-hal yang duniawi. Namun demikian, pandangan Konfusius menjadi Manusia Budiman (C’un-Zi) yang akan tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari bukanlah terpisah dari Jalan Kebenaran (Tao).

Seorang Budiman (C’unZi) walaupun menyendiri ataupun sedang dalam suka dan duka, haruslah senantiasa memiliki kesadaran diri yang tinggi untuk selalu berada harmonis di Jalan Tengah (Chung), cerminan dari Tao itu sendiri. Bisa dikatakan bila Konfusius lebih menekankan sisi eksternal dari perilaku religius keagaman rakyat Tiongkok yang juga merupakan manifestasi dari sisi dalam, internal yakni esensi filosofis Taoisme dan mistisisme Tiongkok.

Apabila kegembiraan, kemarahan, kesedihan ataupun kesenangan belumlah muncul, maka dapat dinamakan Chung (seimbang, sentral, jalan tengah). Apabila telah muncul dalam tingkat yang berkesesuaian, maka dapat dinamakan harmonis. Chung merupakan suatu sumber terbesar dari semua yang berada di bawah langit ini.

Harmonis merupakan penembusan Jalan Kebenaran (Tao) dari semua yang berada di bawah langit. Apabila Jalan Tengah (Chung) dan harmonis telah diwujudkan, dan seluruh makhluk dan benda yang tak terhitung akan terpelihara.” (ChungYung, the text, 2-5). Tampaknya pada Jalan Tengah itulah titik temu Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. 

 

Tiga Guru Mencicipi Cuka

Fenomena penghayatan terhadap kesatuan atau titik temu dari tiga ajaran telah meresap ke dalam sanubari rakyat Tiongkok sebagaimana tercermin dengan adanya gambaran atau lukisan dari kesatuan ketiga tokohnya: Buddha, Lao Tzu dan Konfusius. Terdapat gambar atau lukisan dimana ketiga tokoh atau Guru Buddha, Lao Tzu dan Konfusius sedang mencicipi cuka dan kemudian masing-masing memaknainya akan rasa dari cuka yang dicicipinya itu. (Majaputera Karniawan, “Makna Lukisan Buddha, Konfusius, dan Laozi Mencicipi Cuka”, Setangkai dupa.com, published November 10, 2021).

“Tiga pemimpin agama besar di Tiongkok (Buddha, Konfusius, dan Laozi) mencicipi satu belangga cuka. Lukisan ini dikenal sebagai ‘lukisan Pencicip Cuka/The Vinegar Tasters’ San Suan Tu: Secara harfiah berarti lukisan tiga asam). Lukisan sederhana ini menjadi alegori yang menggambarkan bagaimana aliran pemikiran masing-masing guru besar tersebut”.

Bagi Konfusius, cuka terasa masam, yang bermakna perlunya aturan moral, agar “rasa” kehidupan menjadi lebih baik. Sedangkan yang merasakan cuka itu pahit, menggabarkan bahwa kehidupan ini begitu penuh penderitaan sesuai ajarannya dalam Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani). Laozi mencicipi cuka itu dengan rasa manis, berpandangan bahwa cuka itu ya begitulah adanya, kehidupan se-alaminya, ada rasa asam, pahit, dan ada manisnya juga.

Selanjutnya ada juga gambaran ketiga tokoh ini yang berkaitan dengan tokoh legendaris Tridharma lainnya, yaitu Acarya Fundaishi. Acharya Fudashi ini terkenal dengan gambarannya dan selorohnya, “topi Taois, jubah Buddha, sepatu Konfusius”.

“Terdapat kisah, dimana suatu hari Acarya Fudashi mengenakan topi Taois, jubah Buddhis, sepatu Konfusianis. Ia datang ke istana, dimana Raja bertanya: Buddhis ya? Acarya menunjuk jubahnya. Taois ya?, Acarya menunjuk topinya. Orang awam (Konfusianis)? Acarya menunjuk sepatunya”. (Sonika, S.E., S.Ag., M.Pd. 2019. “Diktat Buddha dan Bodhisattva”. Pekanbaru: STAB Maitreyawira).

Lukisan, alegori yang menggambarkan ketiga tokoh itu bersama-sama menunjukkan, bagaimana tiga ajaran itu telah meresap ke dalam sanubari rakyat Tiongkok pada masanya. Pelukisan, alegori merupakan suatu simbol, abstraksi yang hanya dimungkinkan karena sungguh-sungguh bermakna dan hidup di dalam hati dan jiwa yang melukiskannya.

Sebuah ekspresi religius, spiritual terhadap penghayatan ajaran terhadap tiga tokoh besar: Buddha, Lao Tze, Konfusius yang sungguh bersumber dari hati yang dalam yang telah menyentuh esensi dari ketiga ajaran itu, dan merasakan kesatuan Tridharma. Pelukisan ketiga tokoh besar secara bersamaan yang memperlihatkan terdapatnya “sense of Tridharma” dari para penghayatnya yakni para Tridharmais.

 

Sense of Tridharma

Terlihat bahwa adanya titik temu dari masing-masing tiga ajaran Buddha, Taoisme dan Konfusianisme. Penghayat Sam Kauw melihat dan merasakan adanya titik temu dari tiga ajaran, Budhisme dengan Konfusianisme, Buddhisme dengan Taoisme, dan Konfusiasnisme dan Taoisme. Dari titik temu masing-masing tiga ajaran itu, tumbuhlah keyakinan bahwa tiga ajaran tersebut bukanlah sesuatu yang berbeda sama sekali, terjalin sebagai suatu filosofi Tridharma.

Suatu filosofi Tridharma yang memunculkan penghayatan terhadap Tridharma atau Sam Kauw telah terjadi dalam sejarah filsafat dan keagamaan di Tiongkok. Filosofi Tridharma yang muncul dalam perkembangan sejarah filsafat Tiongkok, seperti dalam tokoh Lin Chao En, maupun aliran Neo-Konfusianisme bersama dengan tumbuhnya perasaan ketridharmaan secara religius, “sense of Tridharma” pada akhirnya juga sampai ke Indonesia, memunculkan gerakan Tridharma Indonesia yang tetap eksis hingga saat ini,

Menemukan titik temu sehingga melahirkan adanya perasaan kesatuan dari filosofi tiga ajaran tersebut, “sense of Tridharma”, rasa ketridharmaan secara religius. “Sense of Tridharma” inilah yang mungkin berada secara implisit dalam batin masing-masing penghayatnya dan memungkinkan tumbuhnya dan berkembangnya pergerakan Tridharma. Penghayatannya secara spiritual-batiniah yang juga dapat dipahami dan diangkat secara intelektual-filosofis.

“Itoe Sam Kauw akan mendjadi satoe philosofie agama jang paling lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bagi bangsa Tionghoa jang leloehornja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboen taon laloe”, demikian ujar Kwee Tek Hoay.

Kwee Tek Hoay yang lahir pada 31 Juli 1886 dan wafat pada 4 Juli 1952, dimana hari lahirnya, 31 Juli selalu diperingati sebagai hari Tridharma Indonesia. Sepantasnya para Tridharmais Indonesia mengenang jasa perjuangan dan pengabdian Kwee Tek Hoay yang didudukkan sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Mari menghayati kesatuan Tridharma, dan selamat Merayakan Hari Tridharma! (JP) ***

 

 

Daftar Pustaka:

Judith Berling “The Syncretic Religion of Lin Chao, dan Ensiklopedia Buddhis

Fung Yu Lan, “A Short History of Chinese Philosophy,” 1952.

Sutradharma Tj. Sudarma, MBA., “Tiga Guru-Satu Ajaran: Kehidupan dan Ajaran Kebenaran Siddharta Gautama, Confucius, dan Lau Tzi, Yayasan Dhammadasa, Jakarta, 2000.

“Tri Dharma Seikat Bunga Rampai”, Bakti, Jakarta, 1995.

Kwee Tek Hoay, “Nan Hoa Cing”, Jilid 2, Swastika Surakarta, 1950.

Drs. I. Wibowo, (1980) “Buddhisme di Cina”, diktat Extension Course Filsafat STF Driyarkara, Jakarta.

Marga Singgih, 2019. “Sekilas Mengenal Tridharma (Sam Kauw/San Jiao di Nusantara,” Jakarta: Bakti.

Fritjof Capra., 1977.  “Tao of Physics,” Yogyakarta: Jalasutra (2001)

Sonika, S.E., S.Ag., M.Pd. 2019. “Diktat Buddha dan Bodhisattva”. Pekanbaru: STAB Maitreyawira).

Majaputera Karniawan, “Makna Lukisan Buddha, Konfusous, dan Laozi Mencicipi Cuka”, Setanngkai dupa.com, published November 10, 2021.

***

Butuh bantuan?