Tujuan Atau Ekspektasi Kita yang Ketinggian?

Home » Artikel » Tujuan Atau Ekspektasi Kita yang Ketinggian?

Dilihat

Dilihat : 11 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 19
  • 124
  • 15,134
tujuan ketinggian pic

Oleh: Majaputera Karniawan S.Pd.

Setiap manusia memiliki tujuannya sendiri dalam kehidupannya,tetapi ada satu hal yang dikejar dan menjadi pokok dari setiap tujuan hidup. Semua Ingin Bahagia, Semua Mau Bahagia. Inillah yang menjadi tujuan bagi setiap orang. Hanya saja kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Perbedaan ini karena setiap orang memiliki kebutuhan subjektif yang berbeda-beda.

Dalam teori kebutuhan, Maslow mengemukakan 5 jenis kebutuhan manusia: (1) Kebutuan fisiologis; (2) Kebutuhan rasa aman; (3) Kebutuhan untuk dicintai & disayangi; (4) Kebutuhan untuk dihargai, dan (5) Kebutuhan untuk aktualisasi diri, kemudian ketika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, seseorang akan mengalami patologi seperti apatisme, rasa bosan, putus asa, kehilangan selera humor, merasa terasing, egosentris, dan sebagainya (Singgih, 2013: 2-7). Singkat kata anda akan bahagia jika kebutuhan terpenuhi, sebaliknya anda tidak bahagia jika kebutuhan anda tidak terpenuhi.

Kebutuhan setiap orang berbeda-beda dan tidak bisa dipukul rata, orang yang dikejar-kejar perampok akan bahagia ketika ia merasa aman dan terbebas. Orang yang kelaparan merasa bahagia saat mereka bisa makan. Inilah sebab mengapa versi kebahagiaan orang berbeda-beda, tetapi semuanya mau bahagia.

Sang Buddha memberikan empat klasifikasi kebahagiaan bagi para perumah tangga (Anguttara Nikaya 4.62): Pertama adalah Atthisukhaṁ, kebahagiaan berupa memiliki kekayaan dengan jalan yang benar. Ketika seseorang mengingat kekayaan yang ia miliki dengan jalan yang benar, ia merasakan kebahagiaan jenis ini. Kedua adalah Bhogasukhaṁ yakni kebahagiaan berupa dapat menikmati dan berbuat jasa dengan kekayaan yang ada.

Ketiga adalah Ānaṇyasukhaṁ, kebahagiaan bebas dari hutang. Terakhir Anavajjasukhaṁ, kebahagiaan karena perilakunya (baik perbuatan, ucapan, dan pikiran) bebas dari cela. Perlu diketahui kebahagiaan yang ditekankan Buddhisme bukan sekedar bahagia karena memperoleh kekayaan saja, tetapi kebahagiaan karena memiliki perilaku yang baik, maka dalam sutta ini, Sang Buddha berkata bahwa kebahagiaan bebas dari cela mengungguli, bahkan kebahagiaan yang lainnya tidak lebih dari 1/16 kebahagiaan jenis ini, karena kebahagiaan ini memerlukan modal besar, yaitu kebijaksanaan seseorang.

Dalam upaya mengejar kebahagiaan, Sang Buddha tidak mengajarkan dengan cara-cara yang merugikan pihak lain. Dikatakan siapapun yang sewaktu mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dengan mencelakai makhluk-makhluk lain yang menginginkan kebahagiaan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan setelah meninggal dunia (Udana 2.3). Kita perlu mengingat bahwa lawan dari kebahagiaan adalah penderitaan. Sebab dari penderitaan adalah nafsu keinginan (Tanha, Samyutta Nikaya 56.11).

Karena jeratan nafsu, seseorang bisa saja melakukan segala cara demi memuaskan nafsunya. Bahkan menjadi pribadi yang toxic. Toxic (Beracun, maksudnya merugikan dan menyesatkan orang lain) bisa jadi karena kita terbelenggu dengan kekotoran batin, makhluk dalam samsara rentan terhadap jerat nafsu. Terlalu serakah (Lobha) dan diliputi tendensi kebencian (Dosa) jika apa yang diharapkan tidak terwujud menjadikan batin kita terdelusi (Moha) (Karniawan, 2021).

Pertanyaannya adalah “Kenapa sih harus sampai toxic untuk mencapai kebahagiaan?” Seperti dibahas sebelumnya bahwa jika nafsu keinginan merajalela, tidak menutup kemungkinan seseorang rela melakukan apapun. Apalagi bagi mereka yang diikat keserakahan, kebencian, dan delusi batin. Seseorang dapat saja gelap mata merugikan dan menyesatkan orang lain karena ekspektasinya terlalu tinggi. Dikatakan terlalu tinggi karena orientasinya bukan pada tujuan alamiah berupa pemenuhan kebutuhan, tetapi terlalu menuruti nafsu keinginannya.

Kebahagiaan memang tujuan setiap orang dan cara mencapai kebahagiaan harus tanpa merugikan orang lain yang juga mengharapkan kebahagiaan. Ingatlah bahwa manusia juga mahluk sosial dan terikat dengan kontrol sosial. Dalam pandangan Buddhisme, wujud kontrol sosial adalah rasa malu berbuat salah dan takut akibat berbuat salah (Hiri dan Ottapa), bila seseorang tidak memiliki ini, maka seseorang tidak bisa memiliki pengendalian diri, apalagi memiliki perilaku yang bermoral (Anguttara Nikaya 7.65). Memiliki rasa malu dan rasa takut akibat perbuatan salah menjadi satu modal untuk menjadi bahagia.

Sekarang bagaimana caranya menjadi bahagia? Jadilah orang baik dan berguna yang memiliki pengendalian diri! Dengan menjadi orang baik, kita sebenarna telah mengusahakan kebahagiaan bukan untuk diri sendiri saja, juga untuk kebahagiaan orang lainnya: ibu dan ayah, istri dan anak-anak, para pekerja dan pelayan, teman-teman dan kerabat, para leluhur yang telah meninggal dunia, pemerintah/raja, para dewata, dan para petapa, sebab itulah dikatakan kehadiran orang baik yang bijaksana meskipun berdiam di rumah, sesungguhnya ia hidup demi kebaikan banyak orang (Anguttara Nikaya 8.38). Ketika seseorang menjadi orang baik, ia benar-benar menjadi sosok yang berguna bagi pemerintah, para dewa, sanak-saudara, teman-teman, dan berguna bagi semuanya. Dunia tidak akan kekurangan kebahagiaan selama tidak kekurangan orang baik dan bijaksana, terlebih lagi kebaikan itu menyebar dan menular, perilaku baiknya dapat menjadi suri tauladan bagi orang lain.

Ada sebuah pepatah kuno yang berkata: Jangan mencari orang baik, jadilah baik. maka orang baik akan datang mencarimu. Hal ini nampaknya bukan isapan jempol belaka. Sang Buddha berkata bahwa mereka yang berwatak baik berkumpul dan bersatu dengan mereka yang berwatak baik. Di masa lalu mereka demikian, di masa depan mereka demikian, dan sekarang di masa kini mereka juga demikian (Samyutta Nikaya 14.16). Satu kebahagiaan dan berkah bagi kita dapat berkumpul dengan orang-orang baik, karena kita bisa menjadi bahagia, dan apapun versi kebahagiaan anda, akan terpenuhi berkat dukungan orang-orang baik. Setidaknya, walaupun mereka tidak bisa membantu banyak, tetapi anda tidak merasa sendirian dan kekurangan orang baik disekitar anda. Inilah manfaat menjadi orang baik.

Boleh-boleh saja memiliki tujuan tinggi, cita-cita setinggi apapun sah-sah saja. Tetapi ingat, semakin tinggi prosesnya semakin curam. Sebaliknya terlalu bersantai-santai nanti masa depan mau makan apa? Maka kembali ke kunci saja, tujuan hidup kuncinya mengejar kebahagiaan, kebahagiaan sesuai dengan kebutuhan kita, cara mencapainya bagaimana? Selain bekerja keras, jangan merugikan orang lain, juga jadilah orang baik. Dengan menjadi orang baik, selain anda menambah kebijaksanaan sendiri, kehadiran anda memberikan cerita, manfaat, dan makna bagi mahluk lain disekitar anda. Cepat atau lambat circle anda akan berisi orang-orang baik yang mendukung anda mencapai tujuan hidup anda. Sangat simpel bukan?

Terima kasih sudah bertujuan menjadi orang baik.

***

Daftar Pustaka

Singgih, Marga. 2013. Bimbingan Konseling. Jakarta. Perkumpulan Tridharma (Sam Kauw / San Jiao).

Karniawan, Majaputera. 2021. Menjadi-super-tanpa-menindas. https://setangkaidupa.com/artikel/menjadi-super-tanpa-menindas/ diakses Desember 2021.

Suttacentral.net (Legacy Version). 2015. Samyutta Nikaya. https://legacy.suttacentral.net/sn. Diakses Desember 2021.

Suttacentral.net (Legacy Version). 2015. Anguttara Nikaya. https://legacy.suttacentral.net/an. Diakses Desember 2021.

Suttacentral.net (Legacy Version). 2015. Udana. https://legacy.suttacentral.net/ud. Diakses Desember 2021.

Butuh bantuan?