Universe dan Multiverse: Ruang Tak Berhingga dan Dunia Tanpa Batas

Home » Artikel » Universe dan Multiverse: Ruang Tak Berhingga dan Dunia Tanpa Batas

Dilihat

Dilihat : 272 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 68
  • 83
  • 46,208
multiverse

Oleh: Jo Priastana

 

“Wujud tidak berbeda dari kekosongan dan kekosongan tidak berbeda dari wujud.

Wujud adalah kekosongan dan kekosongan adalah wujud.”

 (Sutra Hati, Prajnaparamita-hrdaya Sutra).


Mengenai semesta yang disebut juga universe, banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ilmuwan disepanjang sejarah ilmu pengetahuan yang berkesesuaian dengan Buddhadharma. Buddhadharma dikenal sebagai agama yang tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan di dalam berbagai aspek, bidang kajian, maupun perkembangan ilmu pengetahuan tentang dunia dan alam semesta.

Beberapa kesesuaian penemuan ilmu pengetahuan dengan Buddhadharma itu misalnya: mengenai asal usul atau arkhe alam semesta, ilmu fisika, konsep ruang dan waktu, bilangan serta sifat dan ciri dari para penemu ilmu pengetahuan, prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, maupun tentang tiga kriterium kebenaran: koherensi, korespondensi dan pragmatis. (Taniputera Ivan: 2003).

Mengenai arkhe alam semesta misalnya, sebagaimana dikemukan oleh filsuf kuno Yunani, Thales yang mengawali diskusi ilmiahnya dengan mengemukakan arkhe alam semesta adalah air. Pendapat Thales ini dapat kita bandingkan dengan sabda Sang Buddha mengenai kejadian awal alam semesta atau awal kehidupan di muka bumi, di dalam Aganna Sutta, Digha Nikaya:

“Pada waktu itu semuanya merupakan suatu dunia yang terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi yang kelihatan, siang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum ada, tahun-tahun maupun musim-musim belum ada,laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja …”

Universe (semesta) biasanya hanya merujuk pada alam di mana keberadaan kita berada. Hal ini terkait dengan pemaknaan alam semesta kita yang hanya merupakan satu dari banyak “semesta” yang secara kolektif disebut multiverse. (wikipedia). Bumi tempat dimana kita manusia  tinggal atau menempati hanyalah bagian dari banyak jagad (multiverse) sebagai banyak dunia,  dalam ruang tanpa batas dan tak berhingga.

 

Dunia Tanpa Batas

Mengenai teori kosmologis, misalnya alam semesta dengan planet-planetnya yang tak berhingga, seperti kumpulan planet-planet yang dinamakan Bima Sakti dapat dibandingkan dengan keberadaan alam semesta seperti diungkap dalam Ananda Sutta , Angutara Nikaya III (Taniputera Ivan: 2003).  

“Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanikaloka-dhatu (tata surya kecil? … Ananda, sejauh matahari dan bula berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh  pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu sumeru, seribu Jambudvipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana … (Inilah Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (Sahassi culanika-lokadhatu).”

Lebih lanjut, “Ananda, seribu kali sahassi-culanika-lokadhatu dinamakan Dvisahassi-majjhimanika-lokadhatu. Ananda., seribu kali Dvisahassi-majjhimanika-lokadhatu dinamakan Tisahassi Mahasashassi-Lokadhatu. Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suaran-Nya sampai terdengar di Tihassi-mahasahassi-lokadhatu, atapaun melebihi itu lagi.” Jadi di alam Tisahassi-Mahasahassi-lokadhatu yang bisa disebut juga “Sistem Dunia Besar” (Sistem Galaxy)  terdapat 1.000.0000 X 1.000 = 1.000.0000.0000 tata surya.

Begitu pula yang menyangkut umur bumi. Pembentukan Bumi memerlukan 20 kalpa menengah, dimana satu kalpa kecil memakan waktu 139.600.000 tahun. Berdasarkan in, maka masa pembentukan planet Bumi (fase pembentukan) memerlukan waktu 2.780.0000.0000 tahun atau hampir 3 mliyar. Para ahli astrofisika dan ahli geologi setuju bahwa umur Bumi bukan ribuan tahun melaikan sudah miliaran tahun.

Setelah fase pembentukan, maka dalam fase kediaman dimana adanya makhluk hidup yang berdiam sudah berlangsung selama 11 kalpa, dan kini memasuki pertengahan kala ke 11.  Jadi total umur bumi sekarang adalah 2, 78 miliar + 11,5 X 139.600.000, atau sekitar 4,55 miliar. Angka ini ternyata sesuai dengan apa yang diperkirakan ahli geologi sekarang.

Terhadap jarak antara planet-planet di luar angkasa dengan bumi, seperti misalnya jarak antara bulan dan matahari dapat dilihat dalam Salistamba Sutra ayat 37. “Lebih jauh lagi Sariputra, hal tersebut bagaikan rembulan pada langit yang indah, yang berjarak 42.000 yojana dari bumi” Yojana adalah ukuran jarak India kuno, yakni jarak yang ditempuh oleh pasukan berkuda dalam waktu sehari (sekitar 10 km). Jadi 42.000 Yojana adalah 420.000 km. Hal ini sangat dekat dengan perhitungan jarak bumi dan bulan oleh para astronom, yakni sekiat 400..000 km.

 

Ruang Tak Berhingga

Dalam ilmu fisika, juga terlihat kesamaan Buddhadharma dengan teori-teori fisika modern, misalnya dengan rumus terkenal Albert Einstein E = Mc2. Rumus ini menunjukkan bahwa masa bisa ditransformasikan menjadi energi dan energi bisa ditranformasikan menjadi massa.

Pendapat Einstein ini  mengingatkan filsafat Buddha seperti yang terungkap di dalam Sutra Hati (Prajnaparamita-hrdaya), yang berbunyi: “wujud tidak berbeda dari kekosongan dan kekosongan tidak berbeda dari wujud. Wujud adalah kekosongan dan kekosongan adalah wujud.”

 Begitu pula mengenai hukum kekekalan massa dan energi yang menyatakan bahwa massa dan energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, mirip dengan yang terungkap di dalam Avatamsaka Sutra bab 14 yang berbunyi: “Segala sesuatu tidak dilahirkan/diciptakan, segala sesuatu tidak dapat dimusnahkan.”

Hukum Sebab Akibat yang memang tidak mungkin tidak ada dalam dunia ilmu pengetahuan, sangat jelas sekali tergambar di dalam Buddhadharma.  Hukum sebab akibat yahg menjadi ciri kerja ilm pengetahuan ini tergambar dalam hukum karma atau hukum sebab akibat perbuatan.

Dalam Samyutta Nikaya 1.293 disebutkan: “Sebagaimana benih yang ditabur, itulah buah yang akan dituai; pembuat kebajikan akan menuai kebajikan, pembuat kejahatan akan menuai kejahatan.

Secara koherensi  hukum karma itu akhirnya sejalan pula dengan penjelasan mengenai sebab musabab kelahiran, penderitaan dan samsara manusia, serta lebih jauh diungkapkan dalam hukum paticca samuppada atau hukum sebab musabab yang saling bergantungan.

Hukum sebab akibat ini  sekaligus memperlihatkan bahwa kehidupan atau segala fenomena itu berlangsung secara interdependensi, intekoneksi dan intepenetrasi. Bukan ada begitu saja, namun ada karena adanya sesuatu sebagaimana yang dicetuskan oleh ahli-ahli pikir Yunani yang mengawali zaman keemasan filsafatnya.

Hukum Interdependensi itu juga menyangkut mengenai segala sesuatu di alam semesta ini.  Dikatakan dalam Avatamsaka Suta bab 37: “sebagaimana dengan miliaran planet, alam semesta tidaklah terbentuk hanya karena satu kondisi saja, tidak oleh hanya satu fenomena saja – alam semesta hanya dapat terbentuk oleh aneka sebab-musabab dan kondisi-kondisi yang tak terhitung.”

Interpendendensi, interkoneksi, interpenetrasi memperlihatkan hawa di dalam sehelai kertas terdapat segumpal awan. Kertas berasal dari pohon, pohon mendapat sinar matahari dan hujan, dan hujan sendiri datang didahului awan. Dengan begitu, teori lingkungan (ekologi) yang kini ramai dibicarakan sehubungan dengan dampak berkembangnya teknologi, dan yang kemunculannya diatas filsafat hidup saling berdampingan itu, sesungguhnya telah dikemukakan Sang Buddha 2500 tahun yang lalu.

Prinsip interkoneksi, interpenetrasi atau interdependensi yang diakui oleh fisika modern juga dikenal dalam Buddhisme,  bahwa seluruh fenomena pada dasarnya saling berkaitan. Dengan jelas Buddhadharma mengungkapkan bahwa  tidak ada satupun fenomena yang benar-benar dapat berdiri sendiri secara otonom dan memiliki status substansi mandiri.

Ruang yang tak berhingga yang terdapat di dalam ilmu pengetahuan modern, dapat dilihat padanannya di dalam Vimalakirti Nirdesa Sutra Bab 6: dengan kekuatan batin Vimalakirti, sebuah ruangan kecil menjadi dapat menampung 32.000 kursi singgasana setinggi 84.000 yojana.” 

Ruang yang tak terbatas dan  tak berhingga sepertinya menampung dunia dan segala apa saja. Dunia yang tanpa batas, segala adaan-segala sesuatu yang bersifat sunya, kosong, tiada absolut. Masalah alam semesta (universe) yang ternyata mengandung banyak jagad (multiverse) ini juga berlaku terhadap masalah fenomena waktu yang berkaitan dengan hukum anicca, ketidak-kekalan, perubahan maupun gerakan! (JP).

 

 

Bacaan:

David Kalupahana. 1982. “Filsafat Buddha: Suatu Analisis Historis.” Jakarta:  Erlangga.

Jo Priastana, 1994. “ Pokok-Pokok Dasar Mahayana.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Jo Priastana. 2017. “Cakra Peradaban: Buddhadharma dan Iptek.” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Jo Priastana,. 2005. “Ada Apa dengan AKU: Telaah Filsafat Epistemologi Nagarjuna,” Jakarta: Yasodhara Puteri.

Buddhadasa P Kirtisinghe, Ed., Alih Bahasa, Drs. R. Sugiarto, 1994.  “Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan.” Jakarta: Aryasuryachandra.

Ivan Taniputera. 2003. “Sains Modern dan Buddhisme.” Jakarta: Karaniya.

Fritjof Capra. 2001. “Tao of Physics: Menyingkap Paralalisme Fisika Modern dan Mistisisme Timur.” Yogyakarta: Jalasutra,

Randolph W Kloetzli. 1989. “Buddhist Cosmology: Science and Theology in the Images of Motion and Light.” Delhi: Motilal Banarsidass.

Garma C.C. Chang. 1992.“The Buddhist Teaching of Totality.” Delhi: Motilal Banarsidass.

***

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?