Wajah Organisasi Buddhis di Tengah Minoritas: Antara Teori dan Praktik

Home » Artikel » Wajah Organisasi Buddhis di Tengah Minoritas: Antara Teori dan Praktik

Dilihat

Dilihat : 39 Kali

Pengunjung

  • 1
  • 16
  • 271
  • 82,519
Pic 8 Wajah Organisasi

Oleh: Rahula Hananuraga

Di Indonesia, jumlah umat Buddha tergolong minoritas bila dibandingkan dengan agama-agama lain. Persentase umat Buddha tidak lebih dari 1% dari total populasi. Kondisi ini seharusnya memunculkan kesadaran bahwa persatuan dan kolaborasi menjadi kebutuhan mendesak demi memperkuat keberadaan dan kontribusi umat Buddha di tengah masyarakat plural. Namun, kenyataannya, banyaknya organisasi Buddhis yang tumbuh justru melahirkan sekat-sekat internal yang kontraproduktif.

Pada tingkat teori, ajaran Buddha jelas mengajarkan keterbukaan, toleransi, serta kesadaran untuk tidak melekat pada sekat identitas yang sempit. Prinsip mettā (cinta kasih), karuṇā (welas asih, empati), mudita (simpati) serta upekkhā (keseimbangan batin) menjadi landasan moral yang seharusnya membimbing umat Buddha dalam menjalin relasi, baik ke dalam maupun keluar. Idealnya demikian, namun dalam praktiknya, wajah agama Buddha di Indonesia kerap menampilkan ironi. Organisasi-organisasi Buddhis sering kali terjebak dalam sikap eksklusif yang membatasi ruang gerak umat.

Salah satu fenomena yang mencolok adalah adanya larangan bagi seorang pembicara atau Dhammaduta dari organisasi tertentu untuk memberikan ceramah di vihara yang berada di bawah naungan organisasi lain. Praktik ini membatasi akses umat terhadap pembelajaran Dhamma. Padahal Dhamma bersifat universal, tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu. Vihara seharusnya menjadi rumah bersama, bukan benteng eksklusif.

Analisis Kritis Permasalahan

  1. Fragmentasi Umat Buddhis: Banyaknya organisasi Buddhis justru melahirkan persaingan ketimbang sinergi. Padahal dengan persentase umat Buddha tidak lebih dari 1% dari total populasi, sinergi adalah keharusan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar. Sudah sedikit tidak saling bersinergi maka hasilnya semakin merosot, ironis memang.
  2. Eksklusivitas Vihara: Vihara dipandang milik organisasi, bukan milik umat secara luas.
  3. Ekslusivitas Pengurus: Di beberapa tempat, pengurus merasa sebagai tuan rumah yang harus dilayani oleh para umatnya. Padahal seharusnya sebagai pengurus (pelaksana urusan yang mengurus keperluan Vihara), mereka hadir untuk melayani bukan dilayani.
  4. Kepentingan Organisasi vs. Kepentingan Umat: Aturan organisasi sering lebih menonjol daripada kebutuhan dan kepentingan umat.
  5. Citra Negatif bagi Generasi Muda: Anak muda merasa kecewa melihat praktik yang terjadi dilapangan tidak sesuai dengan ajaran Buddha.
  6. Kehilangan Potensi Persatuan: Energi umat habis untuk mempertahankan sekat internal, bukan membangun kekuatan eksternal.

Solusi Praktis

  1. Membentuk forum komunikasi antarorganisasi secara reguler.
  2. Membuka vihara sebagai rumah bersama, bukan sekadar milik organisasi tertentu.
  3. Pematangan kaderisasi, calon pengurus harus memiliki komitmen melayani yang selalu dievaluasi oleh dewan pengawas baik internal maupun masukan umat.
  4. Mengutamakan kepentingan umat dalam kebijakan organisasi.
  5. Melibatkan generasi muda sebagai agen persatuan.
  6. Meningkatkan literasi umat mengenai pluralitas dalam Dhamma.
  7. Mengembangkan proyek kolaboratif nyata: perayaan Waisak bersama, penerbitan buku, bakti sosial, pendidikan Buddhis.

Tabel Masalah dan Solusi

Masalah

Analisis

Solusi Praktis

Fragmentasi umat Buddhis

Banyak organisasi berdiri, tetapi justru menimbulkan sekat dan kompetisi.

Membentuk forum komunikasi antarorganisasi secara reguler.

Eksklusivitas vihara

Vihara dianggap milik organisasi, bukan rumah bersama umat.

Membuka vihara sebagai pusat pembelajaran lintas organisasi.

Ekslusivitas Pengurus

Pengurus merasa sebagai tuan rumah yang harus dilayani oleh umatnya.

Pematangan kaderisasi, calon pengurus harus memiliki komitmen melayani yang selalu dievaluasi oleh dewan pengawas baik internal maupun masukan umat.

Kepentingan organisasi vs kepentingan umat

Aturan lebih mementingkan organisasi daripada kebutuhan umat.

Menjadikan kepentingan umat sebagai pertimbangan utama kebijakan.

Citra negatif bagi generasi muda

Anak muda kecewa melihat realitas yang tidak sesuai dengan teori Dhamma.

Mengajak generasi muda sebagai agen persatuan lintas organisasi.

Lemahnya pengaruh umat Buddha

Energi habis untuk konflik internal, bukan kontribusi eksternal.

Membangun proyek kolaboratif lintas organisasi.

Kurang literasi pluralitas

Umat kurang memahami bahwa Dhamma bersifat universal.

Mengajarkan pluralitas melalui kelas Dhamma dan pendidikan formal.

 

BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).

 

Sumber Pustaka

Analayo, Bhikkhu. (2012). Compassion and Emptiness in Early Buddhist Meditation. Cambridge: Windhorse Publications.
Gethin, Rupert. (1998). The Foundations of Buddhism. Oxford: Oxford University Press.
Keown, Damien. (2005). Buddhism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press.
Pancasila Buddhis Indonesia. (2018). AD/ART dan Visi Misi Organisasi Buddhis. Jakarta: Dirjen Bimas Buddha, Kemenag RI.
Rahula, Walpola. (1974). What the Buddha Taught. New York: Grove Press.
Sutta Nipāta & Dīgha Nikāya. Terjemahan dalam Tipiṭaka Indonesia. (2007). Jakarta: Sangha Theravāda Indonesia.
Wijaya, Pandita Dhammika. (2015). Buddhisme di Indonesia: Tantangan dan Harapan. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.

error: Content is protected !!
Butuh bantuan?