Oleh: Gifari Andika Ferisqo 方诸德
Lele Jawa (Clarias batrachus) adalah sejenis ikan lele anggota suku Clariidae. Spesies ini diduga menyebar luas mulai dari anak-benua India, Asia Tenggara, Indonesia, dan Filipina, tetapi penelitian lebih lanjut belakangan lele ini bermutasi dan membentuk takson (pengelompokan jenis) tersendiri yang menyebar terbatas menjadi ikan endemik di Jawa yang dinamai ilmiah C. batrachus. Lele Jawa dalam bahasa Inggris dikenal sebagai walking catfish, karena kemampuannya ‘berjalan’ di daratan untuk berpindah mencari tempat yang lebih banyak airnya. Lele Jawa adalah spesies yang sangat tinggi daya tahannya karena dapat bertahan hidup di berbagai jenis habitat. Lele Jawa dapat hidup di tempat yang tidak dapat dihuni oleh ikan lain, dan bisa berukuran sampai 1 meter, terkadang bisa lebih besar. Tapi pada umumnya lele jenis ini biasanya hanya bisa mencapai panjang sekitar 45-60 cm saat berada di penangkaran.
Lele Jawa juga mudah dibudidayakan hanya saja secara popularitas kalah dari lele dumbo yang lebih berat bobotnya. Namun Lele Jawa dianggap sebagai makhluk invasif di beberapa negara dan dilarang pembudidayaannya karena dianggap hama seperti di Amerika Serikat, India, Pakistan, Jepang, Sri Lanka, Taiwan, dan Filipina. Mereka mengancam habitat ikan asli di negara-negara tersebut karena menginvasi iklan endemik di negara tersebut. Lele ini sangat rakus dan mudah lapar, sehingga sering memakan telur atau anakan ikan, bahkan terkadang saling kanibal. Ikan Lele Jawa tidak hanya invasif, tetapi juga masuk dalam daftar hitam dan dilarang di negara seperti Amerika Serikat.
Bukan Tentang Lele
Ikan lele dikenal karena kemampuannya untuk tetap kuat dan bertahan dalam situasi yang sulit, seperti air yang tidak mengalir atau di dasar sungai, bahkan di air yang keruh sekalipun. Maka, tidak heran ikan lele mudah dibudidayakan termasuk sering disajikan untuk pendamping kudapan karena pasokannya yang berlimpah dan cepat berkembang biak, ikan lele termasuk sering menjadi lauk pendamping seperti tumpeng. Dalam masyarakat Jawa, kata ‘tumpeng’ ternyata merupakan singkatan dari ‘yen metu kudu mempeng’ atau ‘keluar harus sangat bersemangat’. Filsafat yang mengandung makna bahwa manusia dilahirkan untuk hidup dengan semangat. Lele dalam nasi tumpeng melambangkan sifat ulet dan tabah, karena bisa bertahan di lingkungan yang kekurangan air. Lele yang hidup di dasar sungai atau air yang tidak mengalir melambangkan kemampuan untuk bertahan dalam kondisi ekonomi dan lingkungan yang sulit.
Ikan lele umumnya mengandung Eicosapentaenoic Acid (EPA) dan Docosahexaenoic Acid (DHA), kedua asam lemak ini baik untuk menjaga kesehatan otak. Ikan Lele Jawa punya banyak kandungan yang bermanfaat bagi tubuh manusia seperti protein, vitamin, mineral, dan amino acid. Kandungan-kandungan tersebut merangsang pertumbuhan dan memperkuat daya tahan tubuh manusia. Kandungan-kandungan tersebut juga mampu mengatasi berbagai gangguan penyakit, seperti depresi penurunan kemampuan mengingat, hingga Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Lele Jawa merupakan salah satu ikan konsumsi yang penting masyarakat Jawa, terutama di wilayah pedesaan. Ikan Lele Jawa bisa dikatakan adalah ikan asli endemik Indonesia tepatnya di pulau Jawa, dan cukup umum dijadikan santapan atau sebagai lauk pendamping tumpeng pada masyarakat Jawa. Mungkin bisa juga dikatakan juga sebagai salah satu hidangan favorit masyarakat Jawa yang menjadi salah satu sumber energi dan gizi pada masyarakat Jawa untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Jika pernah mendengar ada pepatah yang berkata, “anda adalah apa yang anda makan”, itu adalah sebuah kalimat yang mengartikan bahwa setiap makanan yang dikonsumsi mempengaruhi dan mendefinisikan diri sendiri. Pentingnya untuk menjadi bijak dalam memilih asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh karena sejalan dengan penentuan perasaan, perilaku, dan daya ingat. Itu juga yang bisa mendefinisikan apa yang orang Jawa konsumsi dan mempengaruhi bagaimana orang Jawa berperilaku bahkan sampai sanggup untuk bertransmigrasi atau bertahan hidup ke daerah-daerah pedalaman yang sangat jauh dari pusat kota.
Di Indonesia yang didominasi oleh etnis Jawa sebanyak 44% (sensus 2023) dari populasi orang Indonesia dinilai mampu menciptakan ketentraman di suatu daerah. Umumnya posisi strategis seperti PNS (Pegawai Negeri Sipil) di daerah yang didominasi oleh orang non-Jawa seringkali ditempati oleh orang Jawa. Orang Jawa akan selalu diandalkan dalam pengerjaan di berbagai bidang dalam pembangunan negara baik langsung atau tidak langsung (melalui swasta) karena mereka memiliki sifat tekun, ulet, nerimo ing pandum (menerima apa adanya), serta sikap penurut yang tidak banyak dimiliki oleh etnis lain. Dengan begitu, menyebabkan orang Jawa memiliki akses sumber daya sehingga kekayaan negara dikuasai oleh banyak orang Jawa melalui jalur birokrat.
Selain itu dengan kelebihan sebagai etnis yang memiliki populasi yang banyak, betapa mudahnya orang Jawa untuk menjadi birokrat karena dengan hitungan sederhana sudah hampir mendapat setengah suara jumlah penduduk, bahkan ada yang berpendapat bahwa jika seorang calon presiden sudah menang di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta, maka sudah dipastikan menang dan tidak perlu menghitung suara dari provinsi lain.
Umumnya juga orang Jawa memiliki tiga sikap yang kerap diidentikkan sebagai karakter ‘petani Jawa’. Ketiganya, yakni ngalah, ngalih, dan ngamuk, mencerminkan reaksi atas situasi yang mereka hadapi, termasuk kebijakan pemerintah yang menyangkut hajat hidup mereka. Ngalah atau mengalah berarti pasrah terhadap apa yang diberikan kepada seseorang; ngalih atau beralih berarti pergi ke tempat lain; dan ngamuk berarti menunjukkan perlawanan atau tidak lagi kompromi. Artinya, ketika diigingatkan tidak didengar maka mengalah, lalu ketika sudah mengalah tetapi tetap tidak didengar beralih, orang bisa marah.
Filsafat Lele (Sebuah Filsafat Kritisisme)
Ikan lele yang kerap menjadi lauk hidangan tumpeng memiliki makna filsafat juga dimaknai orang Jawa dalam kehidupannya yaitu, ‘lele semakin hidup jika lingkungannya atau tempat hidupnya itu kotor; semakin lahap makan dan semakin hidup jika berada di dalam air yang kotor dan tetap bisa berkembang biak’. Begitu pun orang Jawa yang mana, ketika hidup mereka susah yang dalam perumpamaan ikan lele seperti hidup di air yang keruh, orang Jawa masih bisa tetap bertahan hidup meskipun tinggal di lingkungan yang hina sekalipun, dan berapa pun jumlah anak yang dilahirkan orang Jawa umumnya tetap yakin untuk memiliki kemampuan bahwa anaknya bisa tetap hidup. Etos kerja orang Jawa sangat baik dan sangat sabar terhadap apa pun, meskipun dicaci-maki atau kerasnya pekerjaan dan lingkungan, orang Jawa akan tetap loyal. Mungkin ini salah satu dari pandangan hidup orang Jawa yaitu ‘alon-alon waton kelakon’ (perlahan-lahan yang penting selesai).
Namun juga, jika kembali memperhatikan filsafat pada ikan lele yang meskipun sangat mampu untuk bertahan hidup di air yang keruh tetapi ada kecenderungan ikan lele juga bisa mengubah air yang jernih menjadi air yang kotor. Ikan lele cenderung stress jika hidup di air yang bersih, maka kadang di daerah Jawa sudah umum masyarakat sering membangun septic tank kemudian dimasukkan bibit-bibit ikan lele untuk selalu membersihkan kotoran yang ada di dalam agar tidak penuh. Biasanya juga ada juga yang di bawah kandang ayam untuk memakan kotorannya. Teknik ini di pergunakan untuk mengurangi biaya pembersihan kotoran ayam karena tugas lele tersebut akan memakan kotoran ayam yang terjatuh ke air atau bahkan ayam yang mati juga akan di lempar ke bawah kolam lele untuk makanan para lele.
Begitu pun sebagian orang Jawa yang memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik seperti ikan lele juga terkadang memiliki kemampuan untuk ‘mencemari’ lingkungan yang ‘bersih’ menjadi ‘kotor’. Banyak orang Jawa cenderung ignorant and tolerant terhadap praktik korupsi, contohnya adalah mengukur kelayakan seseorang dengan berdasar pada apa yang diberikan kepada mereka bukan berdasarkan pada merit system. Dengan demikian sikap tersebut dapat menular ke orang yang semula tidak berbudaya atau berniat korupsi menjadi koruptif atau minimal membiarkan meskipun tidak terlibat tindakan korupsi dengan berprinsip pada ‘ojo gumunan, ojo getunan, ojo kagetan’ atau artinya ‘jangan mudah terheran-heran, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut’ ketika melihat atau berhadapan pada situasi tersebut. Tidak jarang juga karena tidak ingin bermasalah maka terjadi pembiaran yang lama-kelamaan dijadikan budaya dengan prinsip ‘rukun agawe santosa, crah agawe bubrah’ yang sebenarnya berarti ‘rukun membuat sentosa, bertengkar membuat rusak’, yang bertujuan untuk saling menjaga keselarasan tetapi terkesan ilusi dan bisa menjadi ‘bom waktu’.
Bahkan Belanda Perlu Belajar Cara Korupsi yang Benar
Sudah menjadi sejarah umum yang diajarkan secara umum bahwa korupsi umum dilakukan oleh berbagai bangsa di dunia. Beberapa di antaranya seperti Belanda, Portugal, Spanyol, dan Inggris juga sempat menulis catatan sebagai negara kawasan Eropa yang menjajah berbagai wilayah di Nusantara. Sebagian besar peristiwa jajahan tidak jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan bangsa Barat untuk dapat menguasai wilayah dan hasil bumi pada masa itu.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) adalah lembaga dagang Belanda dengan kasus korupsi terburuk sepanjang sejarah. VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 sebelum akhirnya bangkrut dan dibubarkan pada Desember tahun 1799. Penyebabnya adalah sistem manajemen VOC yang buruk karena dijalankan oleh sumber daya manusia yang sama buruknya. Menurut M. C Ricklefs, orang Eropa yang menjadi pegawai VOC dan bersedia ditugaskan ke Hindia-Belanda saat itu, kebanyakan adalah orang yang bernasib jelek, seperti gelandangan, pengangguran, dan lain sebagainya. Namun, selain mempekerjakan orang Eropa, VOC juga mempekerjakan para Inlandsch Bestuur (pangreh praja) atau bangsawan Jawa yang dijadikan pegawai administrasi. Setelah VOC bangkrut dan diambil alih oleh Kerajaan Belanda semakin banyak bangsawan Jawa yang diangkat menjadi pegawai Kerajaan Belanda atau Inlandsch Bestuur (pangreh praja) saat itu. Mereka dipilih oleh Kerajaan Belanda karena kharisma yang mereka warisi dari para leluhur menjamin kepatuhan orang Jawa pada saat itu yang masih sangat feodal. Para Inlandsch Bestuur (pangreh praja) ini juga mendapatkan ‘privilege’, yaitu menyelewengkan hasil dari panen (korupsi), pengalihan kepemilikan tanah (kolusi), dan dapat mewariskan jabatan kepada keturunan mereka (nepotisme). Semakin banyak tanaman atau rempah-rempah dihasilkan rakyat, semakin untung pula para Inlandsch Bestuur (pangreh praja). Banyak dari Inlandsch Bestuur (pangreh praja) yang akhirnya mengambil kesempatan untuk bertindak semena-mena terhadap rakyatnya.
Kemudian pada tahun 1808 Kerajaan Belanda mengutus Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal di Hindia-Belanda. Beliau sangat terkenal karena terinspirasi nilai-nilai revolusi Prancis yang menganut liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan). Saat bertugas bahkan pernah menerapkan hukuman mati pada koruptor atau pihak yang merugikan keuangan negara. Korban dari penerapan hukum ini adalah Kolonel J. P. F. Filz yang dihukum mati pada tahun 1810, yang dianggap merugikan keuangan negara sebesar 3000 ringgit karena tidak bisa mempertahankan Ambon dari serangan Inggris yang berkekuatan lebih kecil. Dalam pandangan Daendels, korupsi diterjemahkan dengan sangat sederhana yaitu, apa pun yang merugikan negara dianggap sebagai korupsi. Meski demikian karena kolonialisme Hindia-Belanda adalah indirect rule, Daendels pun tetap tidak berdaya terhadap tindakan korupsi yang dilakukan para bangsawan Jawa atau Inlandsch Bestuur (pangreh praja) yang memotong gaji para pekerja jalan pos Anyer-Panarukan. Di sini, Daendels seperti ikan koi yang terbiasa hidup di kolam yang jernih kemudian mati konyol ketika dipindahkan ke kolam ikan lele karena air kolamnya keruh dan kotor atau bahkan dimangsa ikan lele yang rakus memakan apa saja di hadapannya.
Kemudian pada tahun 1812, Inggris mulai memasuki Jawa dan menguasai Yogyakarta, serta menunjuk Sir Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur jenderal. Di sela-sela kesibukannya sebagai gubernur jenderal, Raffles juga menerbitkan buku berjudul History of Java. Buku tersebut membahas tentang orang Jawa berdasarkan pengamatan Raffles. Apabila pemerintah kolonial Belanda terutama Daendels, berpendapat bahwa orang Jawa berkarakter malas, suka merajuk, dan pembohong, Raffles memiliki pendapat yang lebih luas dan terperinci. Orang Jawa digambarkan sangat ‘nrimo’ (pasrah) terhadap keadaan, namun di sisi lain, memiliki keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Kemudian Raffles menilai orang Jawa termasuk tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan senang mengambil suatu keuntungan atau kesempatan di saat orang lain tidak mengetahui atau berbuat curang. Raffles juga mengamati banyaknya bangsawan Jawa yang gemar menumpuk harta, dan memelihara abdi dalem yang pada umumnya mereka sering mencari perhatian atasannya atau para bangsawan Jawa tersebut. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka dan menyuburkan karakter opportunist.
Raffles juga meneliti di kalangan petinggi kerajaan Jawa, raja sangat suka disanjung, dihormati, dihargai, serta tidak suka menerima kritik dan saran. Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kelompok bangsawan Jawa mendominasi sumber-sumber daya yang dimiliki masyarakat. Rakyat umumnya dibiarkan miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti perkataan, kemauan atau kehendak ‘penguasa’. Budaya yang sangat tertutup dan penuh keculasan itu turut menyuburkan budaya korupsi di kalangan orang Jawa. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan tindak korupsi dalam mengambil upeti (pajak) dari rakyat.
Setelah Jawa kembali dikuasai Belanda, banyak dari para bangsawan Jawa kembali menjadi Inlandsch Bestuur (pangreh praja) dan bermutasi kelicikannya, salah satunya dengan memaksa untuk mengambil kepemilikan tanah rakyat secara paksa. Contohnya pada 1833, Bupati Gresik Utara memerintahkan agar semua surat tanda kepemilikan tanah dikumpulkan dan dibakar, sehingga berlaku kepemilikan tanah secara komunal yang bisa digunakan Bupati Gresik untuk kepentingannya. Para Inlandsch Bestuur (pangreh praja) juga terkenal akan praktik nepotismenya, pada 1872, Kerajaan Belanda berencana mendirikan sekolah untuk melahirkan calon-calon pegawai Jawa yang seharusnya kompeten berdasarkan merit system. Namun, tidak semua lulusannya direkrut begitu saja ketika lulus, tradisi politik keraton Jawa tetap dilestarikan dengan banyaknya dari para priyayi muda mesti pandai ‘mencari muka’ di hadapan para Inlandsch Bestuur (pangreh praja).
Ketularan Rakus
Dalam budaya komunikasi Jawa ada yang disebut misuh (culture of silence) yang dihegemonisasi oleh orang Jawa untuk membuat orang lain terkesan didiamkan dan acuh yang sengaja dibuat secara sistematis untuk menunjukkan siapa yang paling lama mendiamkan. Bersuara berarti berhadapan dengan yang mendiamkan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuarakannya. Sikap ini umum dilakukan oleh orang Jawa baik sesuatu itu bersifat positif maupun negatif, entah siapa yang salah selagi merasa benar orang Jawa umum melakukan misuh. Hal ini sesuai dengan Teori Differential Association dalam perspektif ilmu sosiologi, di mana teori ini menyatakan bahwa penyimpangan perilaku dapat terjadi ketika seseorang atau individu dapat dipengaruhi untuk melakukan perilaku menyimpang jika terus menerus berinteraksi dengan individu lain yang memiliki sifat menyimpang.
Maka tidak dapat dipungkiri, pada sisi lain, secara sosiologis dapat dianalisis bahwa kecenderungan tindakan korupsi yang menyebar dan menjamur pada kalangan masyarakat Jawa apa pun kelas sosialnya, juga tidak lepas dari budaya yang dipraktikkan yang diterjemahkan dalam dua sisi, yaitu bisa digunakan untuk sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk secara bersamaan. Dalam praktik budaya misuh pun mungkin orang yang semula ingin bertindak jujur bisa jadi tertular karena dipaksa untuk berkompromi melalui praktik misuh yang mana orang tersebut terus-menerus didiamkan supaya ‘sadar’ dan mengikuti ‘arus’ dari ‘kolam jorok ikan lele’. Terkesan diam dan tidak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya ‘kolam jorok ikan lele’ tersebut. Akibatnya, budaya yang terbangun yaitu cenderung prematur, permisif, dan pragmatis.
Konklusi
Tidak dapat dipungkiri korupsi bisa dianggap sebagai ‘kebiasaan’ oleh banyak orang Jawa, keinginan dan ambisi agar bisa menjadi terpadang dari sudut kekuasaan dan kekayaan dapat dikatakan sebagai penyebab orientasi sejak dini dan membawa niat atau tujuan terpendam untuk melakukan korupsi di masa mendatang, dan warisan dari mental korupsi masih mengalir pada generasi masyarakat Jawa sekarang hingga kini.
Pergantian nama tidak serta-merta membuat sistem berjalan kondusif, hingga nama para Inlandsch Bestuur (pangreh praja) diubah menjadi supaya lebih terkesan ‘demokratis’ dari ‘bangsawan Jawa’ menjadi ‘pelayan rakyat’. Sistem nepotisme kembali berlanjut, jenjang karier tidak ditentukan dari prestasi pegawai, tetapi loyalitasnya kepada atasan.
Korupsi sudah menjadi seperti ikan Lele Jawa yang selalu memakan apa pun di hadapannya bahkan tidak segan untuk berlaku kanibal. Seperti sebuah kolam ikan yang berlumpur, kotor, bau, dan jorok, tentu sangat disukai ikan lele. Sistem pemerintahan yang tidak transparan memberikan ruang bagi praktik korupsi untuk berkembang. Dalam masyarakat Jawa pada umumnya yang ingin naik status sosialnya secara cepat, pencarian jalan pintas untuk mencapai kesejahteraan melalui korupsi sering kali dianggap sebagai solusi. Seolah-olah memiliki peta harta karun yang menunjukkan jalan singkat menuju kekayaan, yang mana prinsip moral sering kali terkikis oleh dorongan untuk bertahan hidup.
Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Kurangnya pendidikan yang memadai juga berperan dalam menciptakan siklus ini. Banyak orang Jawa yang terjebak dalam lingkaran ketidakpahaman tentang dampak negatif dari korupsi, sehingga mereka melihatnya sebagai sesuatu yang wajar—sebuah ‘norma’ yang seolah-olah melekat dalam praktik sehari-hari. Seperti ikan lele yang mencemari air kolam yang bersih, jika satu orang melakukannya orang lain yang semula tidak akrab dengan ‘budaya’ ini pun merasa terdorong untuk mengikuti.
Jika merujuk pada Konfusianisme (儒家), Guru Agung Konfusius (孔子) menekankan supaya setiap manusia berkewajiban mengembangkan sumber daya kemanusiaannya untuk bersama-sama membentuk masyarakat yang penuh cinta kasih, kebenaran, susila, bijaksana dan dapat dipercaya sebagai nilai tertinggi jika masih ingin dianggap sebagai manusia. Dalam Lún Gì (倫紀), 14 : 23, sangat menekankan etika, karena dalam Konfusianisme (儒家) etika menempati posisi yang sangat sentral dalam semua aspek kehidupan manusia serta harus mencapai keselarasan dengan sesama manusia. Perikeadilan/keluhuran atau yì (义) merupakan hakikat formal kewajiban manusia dalam masyarakat, yaitu perbuatan yang seharusnya dilakukan. Kewajibannya adalah segala sesuatu yang harus dilakukannya dalam masyarakat. Sedangkan perikemanusiaan merupakan hakikat material dan bersifat lebih konkret, maka itu dalam Konfusianisme (儒家) sangat menentang tindakan korupsi dan menganggap sangat hina perbuatan tersebut.
Lima hubungan inti dalam Konfusianisme (儒家) sangat berdasarkan personalitas dan saling mengasah melalui kebaikan-kebaikan setia, kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab, yang membentuk ‘kontrak sosial’ yang tidak tertulis dan natural. Menurut model hubungan dalam Konfusianisme (儒家), tiga hubungan keluarga diapit oleh dua hubungan yang berasal dari luar keluarga. Ini berarti bahwa hubungan di dalam keluarga adalah yang paling penting dan berdampak pada hubungan di luar keluarga, karena keluarga adalah bagian penting dari masyarakat.
Guru Agung Konfusius (孔子) berpendapat bahwa ketahanan keluarga memiliki kemampuan untuk menggerakkan perubahan sosial terhadap relasi luar keluarga dan lingkungannya. Penguasa dan pegawai—termasuk masyarakat yang dipimpinnya—adalah hubungan yang paling penting. Dalam masyarakat, pemimpin memainkan peran paling penting sebagai penggerak, pemikir, dan pelindung, dan mereka bergantung pada pemimpin yang bijaksana dan bersih untuk menetapkan kebijakan dan perencanaan yang adil dan merata. Sehingga segala sesuatu yang bersifat kemanusiawian menjadi serat penyambung hubungan-hubungan tersebut. Loyalitas, kejujuran, keadilan serta tanggung-jawab yang mencegah tindakkan korupsi dapat tercegah dan tentunya berjalan dua arah secara natural.
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
Daftar Pustaka
• Nature Serve. 2015. “Clarias batrachus”. IUCN Red List of Threatened Species. Version 4.1 (4.1). International Union for Conservation of Nature.
• Robins, Robert H. 2008. “Florida Museum of Natural History Ichthyology Department: Walking Catfish”. Florida Museum of Natural History Ichthyology Department.
• Garcia Franco, M. 1993. Intra- and interspecific relationships of the Clariid catfish Clarias batrachus. Graduate School of Fisheries, Tokyo University of Fisheries, Tokyo.
• Raffles, Sir Thomas Stamford. 1830. The History of Java Volume 2. Inggris: J Murray.
• Tjay Ing, Hs. Tjhie (ed). 2006. Serial Khotbah: Menuju Masyarakat Anti Korupsi Perspektif Agama Khonghucu, Cet 1. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.
• Lan, Nio Joe. 1961. Peradaban Tionghoa: Selayang Pandang. Jakarta: Keng Po.
• Day, Clive. 1972. The Policy and Administration the Dutch In Java. London: The Macmillan Company.
• Buamona, S. S. 2022. Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Analisis Ekonomi. Al-Mizan: Jurnal kajian Hukum dan Ekonomi.
• Semma, Mansyur.DR. 2008. Negara Dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
• Andrew dan Aris. 2024. Penyimpangan Sosial: Bentuk, Contoh, Penyebab dan Dampaknya. https://www.gramedia.com/literasi/penyimpangan-sosial/?srsltid=AfmBOoo0CpedQ5KBhyCJ89YrloD2qQp8xYWjbMl7L5KG8SS9rkh9bchF#4_Teori_Anomie. Diakses 1 April 2025.
• Foto Oleh Wibowo Djatmiko (Wie146) – Karya sendiri, CC BY-SA 3.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=32188726