Kesempurnaan spiritual yang dialami Siddharta Gautama saat menjadi Buddha yang kemudian diperingati menjadi Hari Suci Waisak menyisakan bahan refleksi mengenai agama Buddha yang berdimensi spiritual dan sosial. Apakah agama Buddha itu hanya mementingkan sifat asketisnya yang bersifat religious individual ketimbang sebagai agama yang memiliki wajah eksterior yang peduli terhadap persoalan dunia, kemasyarakatan, dan relasi manusia di dunia ini? Pencerahan Waisak sebagai kemenangan atas penderitaan eksistensial juga bersifat kontektual, dan karenanya pengabaran di setiap peringatan di setiap tahunnya juga tidak luput dari masalah-masalah kontekstual yang tengah dihadapi manusia, masyarakat dan dunia.