Sarjana Pendidikan = Sarjana Penuh Derita?

Home » Uncategorized » Sarjana Pendidikan = Sarjana Penuh Derita?

Dilihat

Dilihat : 25 Kali

Pengunjung

  • 0
  • 0
  • 89
  • 23,130

Oleh: Majaputera Karniawan 谢偉强

1. Introduksi

Saya pernah sharing bersama salah satu wartawan Buddhist senior, ia bercerita dahulu ia pernah menjadi guru sekolah dasar di salah satu sekolan agama non Buddhis. Di sekolah tersebut juga terdapat Taman Kanak-kanak. Ia bercerita “Dulu waktu koko jadi guru SD, koko lihat ada guru TK kena maki-maki sama orang tua murid, dan kepala sekolah juga malah membiarkan itu terjadi” Saya penasaran,kenapa kepala sekolah malah justru membiarkan salah satu anak buahnya diperlakukan seperti itu, apakah ada salahnya?

Wartawan senior itu berkata: “Sebenarnya, itu bukan kesalahan si guru TK. anda tau lah guru TK 1 harus dibantu setidaknya 2 pengasuh sewaktu mengajar anak-anak TK. Tetapi musibah tetap saja ada walau kita sudah mencegah sebaik apapun, kala itu karena guru dan pengsuh kewalahan, ada satu anak terjatuh dan menangis.

Saya pun sudah bisa menebak ending dari cerita ini, pastilah orang tua tersebut komplain. Tetapi mengapa kepala sekolah justru membiarkan guru tersebut dimaki habis-habisan dengan orang tua siswa? Ternyata itu karena adanya persaingan antar sekolah. Sang Wartawan kembali bercerita: “Karena di sekitar sekolah itu, mulai berdiri beberapa sekolah baru, baik kepala sekolah ataupun yayasan sangat tidak mau kehilangan nama baik sekolah dan kehilangan siswa, akhirnya mereka terpaksa membiarkan orang tua murid memaki-maki guru TK tersebut”

Puas terkena makian, guru tersebut juga sampai dipanggil yayasan,”Yayasan bilang: kamu sebaiknya bekerja dengan benar deh, di sekitar sini sudh banyak sekolah. nanti kalau pada pindah bagaimana? murid perguruan kita sudah sedikit, jangan sampai nanti kita tidak punya murid! Saya juga sampai tidak tega sama guru TK yang hanya bisa menunduk murung itu” cerita Wartawan senior itu pada saya.

Saya juga tidak bisa berkata apa-apa ketika mendengarnya, di satu sisi saya tau bagaimana perasaan si guru, di sisi lain, saa mengerti bagaimana perasaan si orang tua, dan di sisi lainnya lagi saya paham ketakutan daripada kepala sekolah dan pihak yayasan. seandainya saja mereka semua bisa bertoleransi dan saling menjaga emosi, mungkin saja keadaan tidak akan seburuk ini.

 

2. Penderitaan dalam proses pendidikan

Kita harus bisa menerima bahwasannya kita hidup sebagai mahluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri dan perlu berkomunikasi, bahkan kita belajar banyak hal lewat berkomunikasi baik itu lisan maupun tulisan. Perlu kita ketahui bahwa konstruksi kesadaran (sati) juga dipengaruhi dan mendapat bantuan dari luar (Milindapañha 3.6.11 Abhijānantasatipañha), salah satunya lewat guru kita. mustahil tanpa berkomunikasi kita bisa memuka wawasan diri.

Seorang ahli psikologi bernama Jalaludin Rakhmat dalam bukunya juga berkata demikian, bahwa manusia memang terbentuk lewat komunikasi, artinya konstruksi kesadaran mutlak berasal dari pembelajaran lewat komunikasi. Masih ingat bahwa anak adalah peniru yang baik? Anak meniru apapun aktivitas orang dewasa lewat 3 hal: perilaku, apa yang mereka liat, apa yang mereka dengar.

Disinilah peran sosok panutan diperlukan, dalam hal ini adalah orang tua dan guru. beban pendidikan  masa depan generasi penerus ada pada orang tua dan guru, maka tidak heran pekerjaan sebagai guru adalah tulang punggung pembentukan generasi mendatang. Tetapi jika tidak ada penderitaan, bagaimana anak memahami  bahwa harus berjuang keras untuk memperoleh kebahagiaan?

Penderitaan yang dimaksud adalah penderitaan otoriter kah? Bukan, penderitaan yang dimaksud adalah penderitaan untuk terus bertumbuh dan belajar demi masa depan yang lebih baik. Sifat ideal seorang guru adalah seperti Konfusius, yang mana ia senantiasa belajar tanpa merasa jemu (wujud kebijaksanaan seorang guru) dan mendidik tanpa merasa capai (wujud cinta kasih seorang guru), tetapi meski begitu, ia tidak mengakui dirinya sendiri sebagai guru besar (Bingcu, II A : 2). Semangat inilah yang ditorehkan para pendidik kepada murid-muridnya.

Mengalami penderitaan dan kecelakaan adalah satu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri, namun meski begitu bisa diminimalisir. Dewasa ini pendidikan lebih menyenangkan dan tidak seperti generasi 90an yang mana masih menerapkan pembelajaran otoriter yang bahkan guru menggunakan rotan atau penghapus kayu tidak masalah berkat pembaruan undang-undang,  namun jangan karena hal ini kita membuat guru menjadi menderita dengan berlaku tidak adil padanya atas kesalahan anak kita, ataupun kecelakaan yang tidak bisa dihindari.

 

3. Gaji Tidak Sebanding Dengan Beban Tugas

Biasanya gaji guru honorer di tingkat Sekolah dasar dihitung dari jumlah jam mengajar, semua guru honorer akan dibatasi waktu mengajar dalam 24 jam. per jamnya hanya dibayar Rp50 ribu atau Rp100 ribu, maka tinggal mengalikan antara jumlah jam mengajar dengan gaji perjam tersebut. rata-rata guru honorer digaji dengan kisaran antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulannya. Bahkan, ada juga beberapa daerah yang kekurangan dana, maka akan membayar guru honorer sebesar Rp300 ribu saja, walau ada di kota besar yang sudah bergaji 1.5 sampai 2 juta rupiah, yang biasanya sudah dibantu oleh pemerintah (Halidi, 2022).

Tugas seorang guru dikenal sebagai pengabdian, tetapi jangan eksploitasi guru atas nama pengabdian. ingatlah bahwa guru juga manusia biasa dengan segala macam kelebihan dan kekurangan masing-masing setiap individu guru. Kesejahteraan ekonomi mutlak untuk terpenuhi sebelum dapat mengajar dengan baik. Kita harus ingat bahwa semua manusia sama-sama membutuhkan cinta kasih, lagipula kita hidup di atas bumi dan di bawah langit yang sama (Di Zi Gui弟子规, Fan Ai Zhong). Demikian juga guru, mereka perlu cinta kasih dan perlakuan yang baik.

Ingatlah bahwa guru juga manusia, susah payah menyelesaikan pendidikan sebagai Sarjana Pendidikan (S.Pd) selama 8 semester, menempuh skripsi sampai tidak tidur, bahkan di sekolah masih harus dibebankan dengan tugas dan tanggung jawab pembelajaran dan administrasi, mengurus RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang terkadang justru lebih menyita waktu ketimbang membuat soal ujian adalah salah satu bukti bahwa lelahnya guru bukan hanya di kelas, tetapi juga di rumah. Sudah sepatutnya mereka mendapatkan kesejahteraan dan perlakuan yang pantas.

 

Daftar Pustaka

Halidi, Risna. 2022. Besaran Gaji Guru SD Honorer dan PNS Tahun 2022. https://jabar.suara.com/read/2022/02/08/101310/besaran-gaji-guru-sd-honorer-dan-pns-tahun-2022. Diakses Juni 2022.

Tanpa Nama. 2015. Budi Pekerti Di Zi Gui 弟子规. Jakarta. 中华传统文化促进会.

Adegunawan, Suyena. 2018. Kompilasi Si Shu Empat Kitab Klasik The Classic of Four Books. Bandung. Penerbit TSA.

Karniawan, Majaputera. 2021. Kumpulan Petikan Dhamma (Dhammaquote) Seri Cariyapitaka, Buddhavamsa, Milindapanha. jakarta. Yayasan Yasodhara Puteri.

Butuh bantuan?