Oleh: Majaputera Karniawan, M.Pd. (Sia Wie Kiong 謝偉強)
John Watson (1913) mengemukakan gagasan behavioristiknya bahwa segala perilaku manusia baik itu emosi maupun aktivitas fisik sebenarnya hanya ilusi berasal stimulus serta respon terhadapnya, kemudian teori Psikologi Sosial Albert Bandura menyatakan bahwa proses perilaku bisa ditentukan oleh lingkungan sebagai konsekuensi dari kegiatan meniru; dan yang paling berpengaruh bagi seorang merupakan contoh tindakan yang di dapat dari pembelajaran sosial, baik dari keluarga, masyarakat, komunitas juga budaya sosial (Dalam Takdir, 2020: 34-37).
Dengan kata lain baik-jahat perilaku seseorang adalah murni karena bagaimana respon lingkungan dari luar terhadapnya. Ada satu teori lainnya yang berkaitan adalah teori pemerolehan pengetahuan pada manusia yang dikemukakan oleh John Locke (1692) dan biasa lebih dikenal dengan nama teori Tabula rasa. Dalam teori pendidikan ini anak ibarat kertas kosong (tabula rasa) yang akan dituliskan berbagai hal lewat proses pendidikan dan pengalaman.
Dalam filsafat Buddhisme, memandang mahluk-mahluk menjadi baik atau jahat bukan karena dia sudah demikian sejak lahir semata, namun Buddhisme juga memandang hal ini dari siklus kelahiran berulang dan dibentuk dari pengalaman batin tak terhitung masa kehidupan. Orang menjadi jahat dan menimbun 3 akar kejahatan/3 jenis racun (Lobha/keserakahan-Dosa/kebencian-Moha/delusi batin) karena konstruksi batinnya dan apabila ia mau melepaskannya, ia harus benar-benar bertekad dengan berulang-ulang melihat dengan kebijaksanaan (Panna) sehingga bisa melepaskannya (AN10.23). Di lain kesempatan Buddha juga menyatakan bahwa nafsu inderawi, niat buruk, kemalasan kelambanan, ketakutan kegelisahan, dan keragu-raguan bisa tumbuh dalam diri seseorang bila ia berkali-kali terpapar dengan memperhatikan hal-hal yang menjadi landasan bagi hal-hal yang tidak baik tersebut, baik secara internal (misalnya di dalam pikiran sendiri) dan eksternal (misalnya melalui tayangan, pengalaman pahit, dll).
Kisah Angulimala Thera yang dikenal sebagai pembegal jari manusia (Pali: Anguli – Jari; Mala – Kalung), membuktikan bahwa perilaku kelirunya karena ia berguru dan mendapat pendidikan dari orang yang salah, ia dihadapkan dengan situasi sulit, di mana ia sendiri dipaksa oleh gurunya menjadi seorang pembunuh dengan alasan demi berbakti pada gurunya. Kisah lainnya adalah Raja Ajjhatasatu yang bahkan sampai tega membunuh ayahnya sendiri raja Bimbisara karena ia bergaul bersama dengan Bhikkhu Devadatta. Dua kisah ini membuktikan bahwa pengaruh eksternal (bahidda) bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang apakah ia menjadi semakin baik ataukah semakin buruk.
Sementara dalam Taoisme (Lihat Qing Jing Jing dan Tao De Jing bab 57), menyatakan manusia memiliki 3 jenis racun (San Du三毒, yakni segala perilaku buruk yang disebabkan oleh tubuh jasmani, mulut, dan pikiran) yang merupakan rintangan dan harus disingkirkan, cara menyingkirkannya bukan dengan memaksa secara membabi buta. Melainkan dengan mengajak kesadaran asali kembali pada keheningan dan kedamaian. Taoisme melihat bahwa semakin rigidnya (rapatnya) aturan dan kekangan menandakan semakin manipulatifnya manusia, sebab manusia memiliki 3 komponen kesadaran: Kesadaran Primordial – Tai Guang (Berbentuk kebijaksanaan), Emosi/Pertimbangan diri – Shuang Ling, dan Inti godaan/nafsu – You Jing. Sekalipun seseorang sudah dikekang dengan ribuan peraturan, tetapi jika inti godaannya kuat, filsafat Taoisme Laozi berkata ‘Semakin banyak jumlah undang-undang, Semakin besar jumlah pencuri dan perampok’.
Maka yang terpenting adalah mengajak pikiran kembali tenang pada kesadaran primordialnya.
Pandangan dalam filsafat Taoisme nampaknya mirip dengan teori Psikologi klasik Sigmount Freud ‘psikoanalisis’ yang juga menyatakan manusia terdiri dari 3 rangkaian komponen kesadaran, yakni Id (Nafsu), Ego (Aku), dan Superego (Kesadaran akan etika/moral/susila). Semakin tinggi ID akan dapat menarik ego dalam nafsu tanpa batas, sebaliknya semakin bagus Superegonya akan menjadikannya manusia yang patuh.
Makanya pandangan filsafat timur yang terpenting adalah bukan memperbanyak peraturan untuk menertibkan manusia. Manusia dengan segala kelihaian dan kecerdasannya mampu mencari celah akan setiap peraturan serta sistem keamanan. Bangunlah karakter manusia menjadi manusia bajik, maka dengan sendirinya ia akan memiliki kesadaran penuh menjadi pribadi yang berintegritas dan bertanggung jawab. Pada dasarnya sangat kecil kemungkinan manusia yang akan menjadi jahat jika ia terus mendapat pendidikan dan pengaruh baik semasa hidupnya. Jika ia ditengah jalan menjadi jahat, yang terpenting BUKANLAH mencari-cari kesalahanya, melainkan MENCARI akar masalahnya. Mengapa? Karena kita sudah tau bahwa apa yang manusia lakukan semata-mata hanya respons dari rangsangan stimulus yang ia terima. Jika ia menjadi ‘Jahat’ karena dipaksa oleh unsur eksternal sistem, lingkungan, atau sosial, maka yang perlu digali dan diperbaiki ya unsur eksternal tersebut. Tetapi kebanyakan manusia gagal melihat hal ini, kecenderungan manusia lebih senang menyalahkan dan menilai. Bukankah lebih enak menilai daripada berpikir?
BAGI PARA PEMBACA YANG MAU MEMBANTU OPERASIONAL SETANGKAIDUPA.COM BISA MELALUI REK. BANK BRI KCP CIPULIR RADIO DALAM 086801018179534 AN. MAJAPUTERA KARNIAWAN. MOHON MENGIRIMKAN KONFIRMASI DANA KE WHATSAPP NOMOR 089678975279 (MAJA).
DAFTAR PUSTAKA
Takdir, Alisyahbana Pasiska. 2020. Manusia Dalam Pandangan Psikologi. Yogyakarta. Deepublish Publisher.
https://binus.ac.id/character-building/2022/09/teori-tabula-rasa-john-locke-tentang-permerolehan-pengetahuan/. Diakses 13 September 2023
https://setangkaidupa.com/artikel/tai-shang-lao-jun-shuo-chang-qingjing-jing/. Diakses 15 September 2023.
Lika, Id. 2012. Dao De Jing Kitab Suci Utama Agama Tao. Jakarta. Elex Media Komputindo.
https://spada.uns.ac.id/mod/assign/view.php?id=151595. Diakses 15 September 2023.
http://suttacentral.net. Diakses 15 September 2023.